Menuju konten utama

Surplus Perwira Tinggi: Kegagapan TNI Mengantisipasi Reformasi

Gagap merespons Reformasi, TNI gagal memberi pemahaman kepada para perwira bahwa peluang jadi jenderal kini tak sebesar yang disediakan Orde Baru.

Surplus Perwira Tinggi: Kegagapan TNI Mengantisipasi Reformasi
Avatar Aris Santoso. tirto.id/Sabit

tirto.id - Akhir September lalu, sebuah acara sertijab (serah terima jabatan) diselenggarakan pada waktu yang kurang lazim: pada hari libur, Minggu malam, 30 September 2018. Mungkin baru kali ini sebuah upacara resmi di lingkungan TNI diadakan di luar hari kerja dan di atas jam kantor. Adakah sesuatu yang sangat mendesak?

Awalnya saya menduga ini cuma soal keterbatasan waktu Panglima TNI pada hari-hari itu. Mengingat dua hari sebelumnya telah terjadi bencana tsunami di Palu dan sekitarnya yang membuat sumber daya TNI langsung dikerahkan ke lokasi. Namun, soal upacara yang tak lazim tetap menyisakan sejumlah pertanyaan, mengingat pos yang dialihkan masuk ke dalam kategori pos yang umum.

Kita pernah memiliki pengalaman ketika upacara sertijab Pangkostrad terpaksa dilaksanakan malam hari pada Mei 1998, dari Prabowo ke Johny Lumintang. Saat itu suasana politik memang genting dan ada kepentingan untuk segera menyingkirkan sosok Prabowo.

Sertijab yang sedang kita bicarakan ini terkait jabatan yang tidak sekuat Pangkostrad.

Sertijab malam itu menyangkut dua posisi. Pertama Asops Panglima TNI, dari Mayjen Lodewijk Pusung (Akmil 1985) kepada Mayjen Ganip Warsito (Akmil 1986). Kedua adalah Koordinator Staf Ahli Panglima TNI, dari Mayjen Imam Edy Mulyono (Akmil 1984) kepada Mayjen Nono Suharsono (Akmil 1984). Dua posisi ini termasuk jabatan moderat dalam struktur TNI, yang sulit diasosiasikan dengan sebuah kegentingan politik—yang tentu jauh berbeda dari jabatan Pangkostrad atau KSAD, misalnya.

Fenomena Ediwan Prabowo

Mayjen Lodewijk Pusung telah memasuki masa pensiun, sementara Mayjen Imam Edy Mulyono dikembalikan ke Mabes TNI AD sebagai staf khusus KSAD.

Mutasi Imam Edy ibarat puncak gunung es dari fenomena surplus staf khusus KSAD. Mutasi Imam Edy sebagai staf khusus bisa dipandang degradasi (turun kelas) karena kedudukan staf khusus adalah posisi “transit” untuk penugasan berikut, yang dalam istilah populer dikenal non-job.

Bila Imam Edy terkesan “diambangkan” oleh pimpinan TNI (khususnya AD), tentu pimpinan memiliki alasan tersendiri. Sebab, sudah menjadi kewenangan prerogatif pimpinan AD untuk mengatur rotasi personelnya. Masalahnya, pati (perwira tinggi) yang statusnya mirip-mirip dengan Imam Edy bukan cuma satu-dua orang. Ada puluhan pati—dalam hitungan kasar sekitar 50 jenderal—yang salah satunya adalah Letjen Ediwan Prabowo selaku staf khusus dengan pangkat tertinggi.

Baik bagi lembaga maupun perwira yang bersangkutan, kondisi semacam itu adalah kesia-siaan. Bagaimana tidak? Jika seorang perwira mampu mencapai derajat pati, itu artinya dia memiliki kompetensi di bidangnya. Sungguh sayang bila kemampuannya tidak dimanfaatkan secara optimal oleh institusi.

Apa yang terjadi pada Ediwan sudah pantas disebut absurd: Bagaimana mungkin seorang jenderal bintang tiga tidak masuk formasi struktural?

Di lingkungan TNI memang ada ungkapan bahwa selain prestasi kerja, faktor keberuntungan menentukan kenaikan pangkat dari kolonel ke brigjen. Tak heran, kisah seorang kolonel yang dianggap sangat berprestasi tapi tak kunjung masuk posisi brigjen sudah sering kita dengar. Biasanya, ia baru diangkat sebagai brigjen sekitar tiga atau empat bulan menjelang pensiun.

Untuk kasus Ediwan, faktor keberuntungan menjadi sangat sumir karena menyangkut perwira tinggi bintang tiga. Dengan kata lain, tampaknya memang ada kesengajaan dari institusi TNI untuk tidak menempatkan Ediwan dalam posisi strategis. Jika memang ada niat, tentu Ediwan bisa ditempatkan pada lembaga negara yang masih memiliki ruang bagi perwira bintang tiga, seperti Kepala BNPT, Gubernur Lemhanas, Sekretaris Menkopolhukam, dan seterusnya.

Jika pati bintang tiga seperti Ediwan bisa diperlakukan seperti itu, tentu kita bisa membayangkan staf khusus lain—dengan pangkat yang lebih rendah dari Ediwan—akan menghadapi kompleksitas yang hampir sama. Salah satunya soal kesabaran dalam meniti waktu.

Dalam benak selalu tersimpan pertanyaan soal peluang untuk disalurkan kembali ke jabatan struktural, atau cukup duduk manis di ruang kerja staf khusus KSAD sampai surat penetapan pensiun tiba. Ruang kerja staf khusus KSAD sendiri kabarnya terbatas, sehingga kehadiran mereka diatur secara bergiliran. Sebab, bila datang secara bersamaan, ruangan tidak akan cukup.

Birokrasi Sipil dan Perpanjangan Masa Dinas

Situasi kompleks yang dihadapi staf khusus ini sejatinya adalah “bom waktu” sejak Reformasi 1998. Perubahan politik itu berdampak pada TNI karena jumlah personel tentara dalam birokrasi sipil berkurang secara signifikan.

Pada masa Orde Baru, penempatan perwira dalam birokrasi sipil adalah bagian dari pembinaan personel. Artinya, pangkat yang bersangkutan masih berpeluang untuk terus naik. Posisi gubernur, misalnya, diisi oleh pos jenderal bintang dua, menteri dijatah untuk bintang tiga, dirjen kementerian untuk bintang satu atau dua, dan seterusnya. Bahkan figur seperti Soehardiman (MA Yogya), pangkatnya tetap bisa naik sampai jenderal bintang dua, meski sejak pangkat mayor sudah ditugaskan di luar struktur TNI sebagai pimpinan ormas Soksi, ormas di bawah Golkar yang kiprahnya kini sudah jarang terdengar.

Harus diakui jika Reformasi datang secara mendadak dan di luar dugaan institusi TNI, sehingga mereka tak sempat melakukan antisipasi. Beban pembinaan personel pun akhirnya semakin berat ketika masa dinas aktif perwira diperpanjang, dari pensiun pada usia 55 tahun menjadi 58 tahun.

Salah satu antisipasi yang sebetulnya perlu dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada para perwira bahwa zaman telah berubah, sehingga peluang menjadi jenderal tidak sebesar pada era Orde Baru. Antisipasi juga bisa dilakukan dengan menyediakan opsi bagi anggota yang ingin mencoba mengembangkan karier atau talenta di luar institusi TNI, khususnya jika karier di militer dirasa buntu.

Mental lulusan Akmil tahun 2000 dan seterusnya (baca: generasi yang lulus pasca-Reformasi) tampak lebih siap ketimbang generasi sebelumnya jika pada suatu saat nanti mereka tidak berkesempatan menjadi jenderal. Sebaliknya, para perwira yang lulus pada masa Orde Baru, yakni lulusan 1983 (generasi paling senior yang masih aktif) sampai lulusan 1987, secara psikologis masih sulit menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, karena memang tidak pernah disiapkan.

Semua Ingin Jadi Jenderal

Masalah utamanya memang terletak pada aspirasi perwira itu sendiri: semua lulusan Akmil (termasuk AAU dan AAL) ingin jadi jenderal. Dengan kata lain, berapapun pos yang disiapkan bagi pati, jumlahnya tetap tidak akan mencukupi, mengingat Akmil meluluskan sekitar 200 orang per tahun.

Selain pertimbangan strategis, pemekaran sejumlah Kodam dan Korem harus kita baca pula sebagai salah satu solusi untuk mengakomodasi aspirasi perwira yang ingin jadi jenderal.

Kini ada sekitar 15 Korem “tipe A”, yaitu Korem yang dipimpin seorang brigjen. Pos-pos lain pun diperbanyak, misalnya staf ahli Panglima TNI dan KSAD, Kepala BIN Daerah, dan pimpinan lembaga kedinasan lain yang semuanya adalah pos untuk jenderal.

Selama masih aktif berdinas, setiap perwira berpangkat kolonel tidak pernah berhenti berangan-angan untuk menjadi brigjen, entah bagaimana caranya, seraya menanti faktor keberuntungan. Mereka baru akan berhenti bermimpi sebagai jenderal ketika mendapati dirinya tidak pernah mengikuti pendidikan setara sesko angkatan (Seskoad, misalnya) dan Sesko TNI.

Bila pernah mengikuti pendidikan, setidaknya Seskoad, harapan menjadi jenderal masih terus hidup. Namun, seorang kolonel yang baru lulus Sesko TNI pun masih harus menunggu sekian bulan untuk bisa segera ditempatkan pada pos yang sesuai kompetensinya, mengingat jumlah kolonel juga sangat berlebih.

Di masa lalu, perwira yang tidak sempat mengikuti Seskoad masih bisa disalurkan ke birokrasi sipil—paling sering menjadi Kepala Satpol PP atau Kepala DLLAJR di pemerintahan tingkat provinsi.

Contohnya adalah Kol. Inf. Hadi Utomo (Akmil 1970, almarhum), yang dikenal sempat menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Selepas menjabat Dandim Jakarta Utara, Hadi Utomo cukup lama menduduki posisi Kepala Tramtib DKI merangkap Kepala Satpol PP. Bagi Hadi Utomo, disalurkan ke Pemprov DKI, adalah pilihan terbaik. Sebab, bila tetap “dipaksakan” berkarier di TNI AD, dia sudah pasti kalah oleh para juniornya yang baru saja lulus Seskoad atau Sesko TNI.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.