Menuju konten utama

Surat Sakit Palsu, Sungguh Sakti bagi Si Kerah Putih & Biru

Mulai dari membeli surat dokter palsu hingga memindai surat sakit dilakukan demi mendapat izin libur.

Surat Sakit Palsu, Sungguh Sakti bagi Si Kerah Putih & Biru
Ilustrasi cuti sakit. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Di Indonesia jasa pembuatan dokumen-dokumen palsu laris manis dicari. Mulai dari jasa pembuatan skripsi, tesis, ijazah, hingga yang masih hangat dibicarakan, jasa pembuatan surat dokter. Bisnis ini sanggup mendatangkan keuntungan hingga mencapai jutaan rupiah per harinya.

Pekan lalu, berdasarkan laporan dari Kementerian Kesehatan, polisi berhasil meringkus sindikat penjual surat dokter palsu. Komplotan ini memasarkan jasanya lewat jejaring medis sosial seperti blog, Instagram, Facebook, dan Twitter. Sudah sejak 2012 mereka beroperasi dengan menggunakan blog jasasuratsakit.blogspot.com. Pemasaran lewat akun Instagram @suratsakitjkt dilakukan mulai akhir tahun 2016.

Komplotan tersebut menjual beragam surat dokter seperti surat sakit, surat keterangan sehat, bahkan resep dan kuitansi pemeriksaan. Lengkap dengan nama dokter, tanda tangan, dan stempel klinik, atau rumah sakitnya. Dalam kasus ini, murni tak ada keterlibatan tenaga medis di dalamnya. Pelaku, mencatut nama-nama dokter yang terpampang di plang-plang jalan secara random. Sementara stempel klinik atau rumah sakit mereka palsukan.

Tarif yang dibanderol pelaku berkisar antara Rp25-50 ribu per lembar surat. Dalam sehari, mereka bisa menerima pesanan mencapai 100-500 surat. Sedikitnya mereka dapat mengantongi Rp2,5 juta per hari.

Jika ditelusuri dengan kata kunci “surat sakit” di Instagram, muncul delapan akun yang menyediakan jasa pembuatan surat dokter. Sementara di Facebook, hanya ada enam akun yang terlihat aktif menjalankan bisnis serupa. Kebanyakan dari mereka beroperasi di kawasan Jabodetabek.

“Ingin berlibur atau berhalangan dengan alasan sakit? Izin ke atasan belum tentu di-approve. Lebih baik beli surat keterangan dokter,” begitu keterangan di salah satu unggahan akun Instagram @suratsakitjkt.

Ragam Cara Minta Izin Sakit

Raka (21), pegawai perusahaan provider komunikasi di Indonesia, adalah salah satu konsumen yang pernah menjajal jasa ini. Satu waktu, ia merasa lelah karena telah lembur selama tiga hari berturut-turut. Raka butuh sekadar istirahat atau liburan sejenak. Namun, apa daya, cuti tahunannya telah habis. Ia tak lagi bisa meliburkan diri.

“Mau [minta surat keterangan] izin sakit juga enggak enak ke dokternya, karena cuma butuh istirahat,” tutur Raka.

Selain itu, menurutnya, untuk memeriksakan diri ke dokter butuh biaya yang tidak sedikit. Sekurang-kurangnya, ia harus merogoh kocek ratusan ribu rupiah. Padahal, izin sakit yang diberikan paling-aling hanya sehari.

“Kalau beli, kita bisa minta berapa [saja] hari izinnya,” katanya sambil menunjukkan chat transaksi di akhir tahun lalu.

Dari percakapan yang diperlihatkan Raka, mulanya penjual meminta uang sebesar Rp150 ribu sebagai bayaran jasanya. Namun, Raka menawar hingga Rp75 ribu, plus ongkos kirim sebesar Rp8 ribu. Setelah itu, penjual mengirimkan form berisi nama, jabatan, lama izin sakit, dan alamat pengiriman yang harus diisi pembeli.

“Setelah transfer, nanti suratnya dikirim ke rumah. Bagus, enggak ada beda sama surat asli, enggak mencurigakan.”

Selain membeli dari penyedia jasa dokumen ilegal seperti Raka, ada trik lain yang dilakukan orang untuk membuat surat dokter palsu. Cara ini diceritakan oleh Bolang (23), bukan nama sebenarnya, mahasiswa salah satu universitas di Jakarta. Ia memaparkan cara membuat surat sakit palsu dengan memindai surat sakit asli dan mengeditnya menggunakan aplikasi edit foto.

Baginya, cara ini dianggap lebih simpel dibandingkan harus membeli surat sakit. Sesuai untuk kantong mahasiswa, katanya. Cukup mengeluarkan biaya untuk memindai dan mencetak hasil edit surat sakit. Namun, sebelumnya ia terlebih dulu harus memiliki dokumen surat asli dari pemeriksaan dokter untuk dipindai.

“Supaya pas di-scan, tinta tanda tangannya kelihatan.”

Meski begitu, Bolang hanya memakai surat sakit palsu untuk kepentingan pribadi, tak pernah diperjualbelikan. Ia pun hanya menggunakannya saat kondisi benar-benar sakit. Masalahnya, untuk kantong mahasiswa, pergi ke dokter merupakan pilihan terakhir saat sakit tak kunjung sembuh. Biaya mahal membuat mereka memilih mengonsumsi obat warung yang lebih murah.

“Daripada uangnya buat ke dokter, mending buat makan,” ujarnya.

Infografik Surat Sakit

Kurang Liburan?

Raka mungkin hanya salah satu contoh pekerja yang butuh istirahat dan berlibur karena terlampau lelah bekerja. Namun, keinginan itu harus terbentur masalah perizinan. Jamaknya, perusahaan baru memperbolehkan karyawannya mengambil cuti sakit dengan melampirkan surat dokter. Selain itu, ada cuti tahunan sebanyak 12 hari yang bisa diambil setelah satu tahun bekerja.

Jika jual-beli surat keterangan sakit bisa punya banyak konsumen, rasanya perlu juga diperiksa, apakah rata-rata pekerja di negeri ini kekurangan waktu libur. Bisa jadi, slot cuti itu tak cukup banyak memberi waktu rehat bagi para pekerja.

Di Indonesia, pegawai mempunyai hak cuti sebanyak 12 hari (apabila sudah setahun bekerja) plus hari libur merah. Memang, ada cuti bersama saat hari raya, tapi cuti bersama itu biasanya mengurangi jatah cuti tahunan.

Bagaimana dengan negara lain? Ada data Center for Economic and Policy Research (CEPR) (2013) menunjukkan data liburan dan cuti negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Menurut data tersebut, Austria, Portugal, dan Spanyol, punya paling banyak hari libur nasional dan cuti. Masing-masing 35, 35, dan 34 hari. Angka-angka itu termasuk jatah cuti yang sama, yakni 22 hari. Sisanya adalah hari libur nasional, yakni 13 hari untuk Austria dan Portugal, sedangkan Spanyol 12 hari.

Jika dibandingkan angka-angka total libur di negara-negara itu, Indonesia tak buruk-buruk amat. Libur nasional di Indonesia cukup berlimpah, 16 hari, plus regulasi masih mengharuskan perusahaan memberi cuti. Dijumlahkan, total libur dan jatah cuti adalah 28 hari. Sudah cukup atau masih kurang?

Baca juga artikel terkait SAKIT atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani