Menuju konten utama

Surat Kapolri 'Offside' Sembunyikan Kekerasan dari Peliputan Media

Sebuah surat telegram dari Kapolri dikrtik karena dianggap mengekang pers. Surat tersebut hanya berusia satu hari.

Surat Kapolri 'Offside' Sembunyikan Kekerasan dari Peliputan Media
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo melambaikan tangan kepada awak media usai menjalani pertemuan dengan Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis), di Bandung, Jawa Barat, Selasa (16/3/2021). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp.

tirto.id - Sebuah surat dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia ramai dibicarakan pada Selasa (6/5/2021) kemarin. Setelah dikecam beramai-ramai bahkan dicibir oleh warganet, surat tersebut dicabut.

Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/750/Aiv/HUM.3.4.5/2021 tertanggal 5 April 2021, ditandatangani oleh Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, melarang media menyiarkan tindakan arogan dan kekerasan yang dilakukan kepolisian. Redaksional lengkapnya: "Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis."

Surat instruksi tersebut ditujukan untuk semua jajaran humas di kepolisian daerah.

Selain poin tersebut, ada 10 poin lain yang mesti dilaksanakan oleh semua jajaran Polri. Termasuk "tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana," "tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian," dan "tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan."

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim mengatakan lewat surat itu kepolisian sama saja membatasi kerja-kerja jurnalistik. Surat tersebut tampak berupaya menyembunyikan kekerasan dari media--dan dengan demikian publik--padahal "polisi selama ini menjadi aktor dominan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis, termasuk kekerasan yang dialami warga sipil di sektor-sektor lainnya," ujar Sasmito kepada reporter Tirto, Selasa.

Data yang dihimpun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan AJI Indonesia menyebutkan kasus kekerasan terhadap wartawan pada 2020 meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya. Pada 2020 terjadi 117 kasus kekerasan terhadap wartawan dan media, sementara pada 2019 79 kasus atau meningkat 32 persen. Dari 117 kasus tersebut, sebanyak 99 kasus terjadi pada wartawan, 12 kasus pada pers mahasiswa, dan 6 kasus pada media, terutama media siber.

Sementara AJI Indonesia mencatat pada 2020 terjadi 84 kasus kekerasan terhadap wartawan atau bertambah 31 kasus dibandingkan pada 2019 (53 kasus). Pelaku kekerasan paling banyak adalah aparat. "Terbaru kasus Jurnalis Tempo Nurhadi di Surabaya," katanya.

Alih-alih melarang "menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan," menurutnya semestinya Kapolri memastikan para anggotanya untuk tidak melakukan kekerasan dan tegas memproses mereka yang melakukan kekerasan, kata Sasmito. "Bukan sebaliknya, 'memoles' kegiatan polisi menjadi humanis," tandas Sasmito.

Menurut Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar, STR tersebut akan memperburuk tingkat kepuasan publik terhadap Polri. Sebab instruksi Kapolri membahayakan kebebasan pers dan seolah memaksa publik untuk "percaya pada narasi tunggal negara sementara polisi minim evaluasi dan audit."

"Publik mengharapkan polisi yang humanis, bukan yang suka kekerasan dengan dalih ketegasan," ujar Rivan dalam keterangan tertulis, Selasa.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti sepakat dengan poin-poin yang bertujuan untuk menjaga prinsip praduga tak bersalah; semisal melindungi korban kasus kekerasan seksual, melindungi anak yang menjadi pelaku kejahatan, dan melindungi materi penyidikan agar tidak terganggu dengan potensi trial by the press. Namun tidak dengan poin pertama.

Menurutnya, poin tersebut tidak hanya berupaya membatasi kebebasan pers, melainkan juga menjauhkan Polri dari prinsip akuntabilitas dan transparansi.

"Kami berharap STR ini direvisi, khususnya poin-poin yang kontroversial membatasi kebebasan pers serta yang menutup akuntabilitas dan transparansi Polri kepada publik agar dicabut," ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa.

Batasan dalam kerja-kerja pers sebenarnya telah diatur dalam kode etik jurnalistik dan UU pers. Tak ada larangan untuk "menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan." Pasal 1 kode etik bahkan menegaskan bahwa wartawan haruslah bersikap independen, dalam arti memberitakan peristiwa tanpa campur tangan pihak lain.

Karena itu anggota Dewan Pers Agus Sudibyo juga tak sepakat dengan surat telegram. "Liputan media sudah diatur dalam kode etik jurnalistik dan UU Pers, semestinya polisi merujuk pada keduanya, sudah cukup," ujar Agus kepada reporter Tirto, Selasa.

Agus mengatakan dalam waktu dekat akan segera berdialog bersama KPI dan Polri untuk mendiskusikan surat telegram tersebut.

Dicabut

Namun, rencana Agus nampaknya tinggal rencana. Peraturan ini resmi dicabut pada Selasa sore.

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono mengatakan sebenarnya "surat telegram itu hanya menyangkut [media] internal saja, tidak menyangkut pihak di luar Polri." Dia juga mengatakan "Polri sangat menghargai tugas-tugas yang dilakukan oleh rekan-rekan di bidang jurnalistik."

Namun, karena menurutnya surat tersebut "menimbulkan penafsiran yang berbeda", Polri memutuskan untuk mencabutnya. Pencabutan dilakukan lewat surat ST/759/IV/HUM.3.4.5/2021. "Mabes Polri telah mengeluarkan Surat Telegram 759 yang isinya Surat Telegram 750 dibatalkan," ujar dia di Mabes Polri.

Kapolri Listyo Sigit, dalam keterangan pers yang diterima reporter Tirto malam hari mengatakan tak ada sama sekali niat mengekang kebebasan pers.

"Saya luruskan, anggotanya yang saya minta untuk memperbaiki diri untuk tidak tampil arogan namun memperbaiki diri sehingga tampil tegas, namun tetap terlihat humanis. Bukan melarang media untuk tidak boleh merekam atau mengambil gambar anggota yang arogan atau melakukan pelanggaran," ujar Sigit.

Ia juga memastikan tetap Polri "memerlukan kritik dan saran dari seluruh elemen masyarakat." Oleh karena itu "peran media sebagai salah satu pilar demokrasi akan tetap dihormati."

"Dan sekali lagi mohon maaf atas terjadinya salah penafsiran yang membuat ketidaknyamanan teman-teman media," Sigit mengakhiri.

Poengky Indarti mengapresiasi keputusan yang ia sebut "sigap" ini. Meski begitu dia berharap hal serupa tak terulang. Surat telegram apa pun di masa depan diharapkan "maknanya tidak multitafsir."

Ia juga meminta Polri tidak gegabah. "Untuk masalah-masalah krusial yang berpotensi menjadi pro kontra, serta masalah yang bersentuhan dengan kewenangan institusi lain, perlu dibicarakan dengan perwakilan institusi tersebut, misalnya jika terkait pers bisa dengan Dewan Pers."

Baca juga artikel terkait KEKERASAN POLISI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino