Menuju konten utama

Suramnya Pemberantasan Korupsi: Tren Vonis Ringan & Obral Remisi

Tren vonis ringan kasus korupsi dan obral remisi dinilai semakin membuat pemberantasan korupsi di Indonesia suram.

Suramnya Pemberantasan Korupsi: Tren Vonis Ringan & Obral Remisi
Terdakwa kasus dugaan pemberian suap kepada penegak hukum dan pemufakatan jahat Djoko Tjandra bersiap menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (5/4/2021). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Hukuman eks Jaksa Pinangki Sirna Malasari mendapat diskon, sanksinya dipotong 60 persen oleh majelis hakim Tipikor Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, 14 Juni 2021. Itu hanya berselang sekitar empat bulan dari vonis pertamanya yaitu 10 tahun penjara. Padahal Pinangki terbukti melakukan kejahatan luar biasa tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pemufakatan jahat.

Pinangki, yang berprofesi sebagai jaksa, mendekam di penjara sejak 11 Agustus 2020. Dia kemungkinan bebas dari penjara sekitar Juli 2023 mendatang, itu jika tak dipotong remisi. Tren vonis ringan koruptor juga tercermin di tahun-tahun sebelumnya. Mahkamah Agung dinilai ‘masuk angin’ lantaran kerap mengorting hukuman para terpidana korupsi dalam tingkat Peninjauan Kembali (PK).

KPK mencatat 20 koruptor mendapatkan keringanan hukuman selama periode 2019-2020. Keringanan beragam, ada yang satu tahun, ada pula yang mencapai tiga tahun. Beberapa di antaranya: (1) Billy Sindoro dalam kasus korupsi pembangunan Meikarta, divonis 2 tahun dari sebelumnya 3 tahun 6 bulan; (2) Hadi Setiawan dalam kasus suap hakim ad hoc Pengadilan Negeri Tipikor Medan, divonis 3 tahun dari 4 tahun; (3) Pengacara OC Kaligis dalam kasus suap PTUN Medan, divonis 7 tahun dari 10 tahun.

Lalu (4) Eks Panitera Pengganti PN Medan Helpandi dalam kasus gratifikasi, divonis 6 tahun dari 7 tahun; (5) Tamin Sukardi dalam kasus suap hakim PN Medan, divonis 5 tahun dari 6 tahun; (6) Eks Panitera Pengganti PN Bengkulu Badaruddin Bachsin dalam kasus suap penanganan perkara, divonis 5 tahun dari 8 tahun; (7) Mantan Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dalam kasus suap pembangunan, divonis 4 tahun dari 5,5 tahun; (8) Mantan Calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun--ayah Adriatma Dwi Putra--dalam kasus yang sama dengan anaknya, divonis 4 tahun dari 5,5 tahun.

Aktivis antikorupsi cum pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari berkata sejak Hakim Agung legendaris yang dikenal karena vonis-vonisnya terhadap terdakwa kasus korupsi, Artidjo Alkostar, pensiun dari Mahkamah Agung pada 22 Mei 2018, gejala vonis ringan terpidana korupsi mulai bermunculan. Banyak yang mengajukan PK agar hukuman menjadi lebih ringan.

“Hasilnya, nilai-nilai Artidjo tidak ‘tinggal’ di Mahkamah Agung,” ujar dia kepada reporter Tirto, Rabu (3/11/2021).

Ia mencontohkan soal Djoko Soegiarto Tjandra, terpidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terkait pengalihan hak tagih Bank Bali. Aparat penegak hukum malah meringankan hukumannya. Hakim memvonis 8 tahun penjara, padahal sebelumnya ia dihukum setahun lebih lama.

Hukuman Djoko Tjandra yang dikorting seperti vonis kasus suap ke Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo terkait pengurusan DPO di Imigrasi serta memberi suap ke Pinangki Sirna Malasari selaku jaksa di Kejaksaan Agung berkaitan dengan upaya permohonan fatwa Mahkamah Agung agar Djoko Tjandra tidak dieksekusi jika pulang ke Indonesia. Semula dari 4,5 tahun penjara, pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jakarta, hukumannya menjadi 3,5 tahun.

“Ia (Djoko Tjandra) telah dianggap (jadi) terpidana berulang. Malah pemidanaan dalam kasus BLBI dianggap hal yang meringankan, dari perspektif itu sangat mencurigakan. Mahkamah Agung menilai bahwa koruptor yang telah menjalani hukuman dalam kasus lain adalah sesuatu yang meringankan. Residivis kasus berulang (mestinya) diperberat, bukan memperingan,” terang Feri.

Kasus-kasus peringanan hukuman ialah kejanggalan, apalagi ketika Mahkamah Agung mengabulkan judicial review atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Inti dari Pasal 34 ayat (1) huruf a PP Nomor 99 Tahun 2012 menyebutkan pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan: bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.

Namun Mahkamah Agung mencabut dan membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012. Padahal dalam regulasi tersebut, koruptor bisa mendapatkan remisi dengan syarat lebih ketat dibandingkan dengan narapidana lainnya. Dalam perkara-perkara luar biasa, metode pembatasan seperti itu memang diperlukan, karena kalau tidak ada justice collaborator, maka kejahatan luar biasa tak terungkap sepenuhnya.

“Aneh kalau Mahkamah Agung melihat pembatasan hak seperti itu adalah pembatasan hak asasi manusia. Tidak (seperti itu). (Aturan) itu untuk melindungi hak orang lain agar kasus-kasus korupsi terbongkar. Agak aneh kalau Mahkamah Agung menilai seperti itu,” tutur Feri.

Lantas, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin membuka kemungkinan penerapan hukuman mati bagi koruptor. Peluang hukuman ini tengah dikaji untuk kasus seperti Asabri dan Jiwasraya, karena kedua kasus megakorupsi ini tidak hanya menimbulkan kerugian negara, tapi juga berdampak luas kepada masyarakat maupun prajurit.

Kasus korupsi PT Jiwasraya menimbulkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun, sedangkan korupsi PT Asabri (Persero) sekitar Rp22,78 triliun. Burhanuddin tengah mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud, dan tetap memperhatikan hukum positif serta nilai-nilai hak asasi manusia.

Feri berpendapat semestinya upaya pemberantasan korupsi lebih efektif. Perihal hukuman mati tak perlu penggembar-gemboran, sebab dalam Pasal 2 (ayat) 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pidana mati dapat diterapkan. Hal terpenting adalah memastikan proses pemberangusan rasuah berjalan efektif dan bukan slogan semata.

Ia khawatir dengan rencana Jaksa Agung, padahal koruptor dapat dijadikan justice collaborator untuk mengungkap pihak lain yang berkelindan dalam perkara tersebut. “Pemberian hukuman mati malah menghilangkan duduk persoalan dalam kasus tertentu.”

Reformasi di tubuh aparat penegak hukum juga perlu dilakukan agar tak ada tebang-pilih hukuman dan menghilangkan tren vonis ringan koruptor, kata dia.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Zaenur Rohman menyatakan tren ‘suram’ dalam pembabatan rasuah di Indonesia terjadi karena tidak adanya politik hukum pembasmian rasuah.

“Pemberantasan korupsi bukan agenda penting pemerintah saat ini, maka tidak ada upaya sungguh-sungguh dari negara mempercepat pemberantasan korupsi,” ucap dia kepada reporter Tirto, Rabu (3/11/2021).

Memang kewenangan pemerintah terbatas, hanya bisa mengubah pemerintahan atau lembaga pemberantas korupsi yang bernaung di bawahnya, seperti kepolisian dan kejaksaan, kata Zaenur.

Namun dalam kekuasaan itu saling berkaitan, nihil kekuasaan yang tak saling berikatan. Misalnya, kata dia, ada tuntutan rendah dari kejaksaan, maka vonis yang dijatuhkan oleh badan peradilan pun mengekor alias tak jauh dari tuntutan.

Bahkan praktik penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi bertautan di dalam kasus Djoko Tjandra, Pinangki, Napoleon-Prasetijo. Ini membuktikan kebobrokan instansi-instansi pemberantas korupsi. Mereka berjejaring menjadi mafia: jual-beli hukum.

Perihal diskon vonis di tingkat Peninjauan Kembali membuktikan semangat antikorupsi belum melembaga. “Masih sangat tergantung kepada personal,” imbuh Zaenur.

Sementara, di tubuh KPK gamblang perubahannya, apalagi usai revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan ketika di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.

“KPK, kejaksaan, kepolisian, Mahkamah Agung, sama-sama tidak memiliki keberpihakan dan agenda yang jelas dalam pemberantasan korupsi. Akibatnya ke depan, korupsi akan semakin merebak. Indeks Persepsi Korupsi turun terus,” kata dia.

Jika presiden, sebagai chief executive, mempunyai agenda pemberantasan korupsi yang terencana dan terukur, kata dia, maka dapat menentukan pelayaran pemberangusan korupsi di negara ini.

Misalnya, presiden dapat mereformasi institusi kepolisian dan kejaksaan yang berada di bawahnya. Jika berhasil, maka kedua lembaga itu dapat melenyapkan rasuah di seluruh cabang lembaga negara.

“Saat ini justru kepolisian dan kejaksaan dirundung banyak kasus korupsi. Ini (dapat) sangat bergantung di (Pemilu) 2024, bagaimana situasi politik. Apakah akan ada tuntutan masyarakat menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda penting negara? Apakah ada calon pemimpin yang menawarkan program pemberantasan korupsi, kemudian merealisasikannya?” kata dia.

Segera Reformasi Lembaga Penegak Hukum

Transparency International Indonesia pernah merilis Corruption Perception Index (CPI) yang ke-25 untuk tahun pengukuran 2020. CPI 2020 bersumber pada 13 survei global dan penilaian ahli serta para pelaku usaha terkemuka untuk mengukur korupsi di sektor publik di 180 negara dan teritori. Penilaian CPI didasarkan pada skor. Skor dari 0 berarti sangat korup dan skor 100 sangat bersih.

CPI Indonesia pada 2020 berada di skor 37/100 dan berada di peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun 3 poin dari 2019 yang berada pada skor 40/100. Pada 2019 adalah pencapaian tertinggi dalam perolehan skor CPI Indonesia sepanjang 25 tahun terakhir.

Turunnya skor CPI Indonesia membuktikan sejumlah kebijakan yang bertumpu pada kacamata ekonomi dan investasi tanpa mengindahkan faktor integritas, hanya akan memicu terjadinya korupsi.

Peneliti Transparency International Indonesia Alvin Nicola berpendapat tren vonis ringan bagi koruptor menunjukkan praktik rasuah dalam sistem peradilan pidana Indonesia bersifat sistemis, sehingga sangat sulit saat ini mengharapkan aparatur penegak hukum berkomitmen memberantas korupsi.

“Lambatnya reformasi internal di tubuh lembaga penegak hukum Indonesia merupakan akibat dari budaya patronasi institusional yang masih mengakar. Tren indeks negara hukum dalam beberapa tahun terakhir juga menguatkan jika reformasi di institusi penyidikan, penuntutan, hingga pembinaan berjalan lambat, karena kuatnya cengkraman eksekutif sehingga rentan intervensi politik,” jelas Alvin kepada Tirto.

Sedangkan lembaga yudikatif yang publik harapkan independen, ternyata mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kontroversial, kata Alvin. Dus, wajar bila keberpihakan penegak hukum dan sistem peradilan pidana secara umum terhadap pemberantasan korupsi semakin tidak terlihat.

Agar peran penegak hukum dan sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan korupsi maksimal, kata dia, maka diperlukan reformasi institusi.

“Reformasi harus terfokus pada akar masalah korupsi, yaitu persoalan independensi, akuntabilitas, dan transparansi,” lanjut dia.

Konkretnya, pemerintah perlu fokus memprioritaskan pembenahan terutama pada aspek-aspek sistemis, seperti mengurangi berkembangnya jaringan patronasi yang berorientasi klien. Dalam hal ini dibutuhkan upaya yang lebih kuat untuk mengatur konflik kepentingan, penegakan pelaporan gratifikasi, penguatan kepatuhan pelaporan harta kekayaan, dan manajemen anti-suap, kata Alvin.

Baca juga artikel terkait TREN VONIS RINGAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz