Menuju konten utama
14 Februari 1945

Supriyadi Memberontak di Hari Valentine

Sebilah keris.
Menghunus fasis dengan
nyali berlapis.

Supriyadi Memberontak di Hari Valentine
Ilustrasi Shodancho Supriyadi. tirto.id/Gery

tirto.id - Jauh sebelum "Genjer-Genjer" diasosiasikan sebagai lagu PKI, ribuan orang harus menderita di bawah tekanan serdadu Jepang. Masa itu adalah masa penuh kelaparan. Kesulitan mengakses beras membuat banyak orang Indonesia harus memakan apapun, termasuk tikus dan tanaman liar macam genjer.

Sebagai saudara muda, orang-orang Indonesia harus ikut apa kata Jepang yang mendaku sebagai saudara tua. Apapun yang dimau saudara tua haruslah dituruti. Jika saudara tua minta padi murah, radio, kuli gratis atau apapun, maka saudara muda harus memberikan. Bila saudara muda tak manut, siksa pedih menanti.

Pakaian dan makanan bagi bagi rakyat kecil adalah barang mewah. Anak-anak telanjang dan kurus, orang-orang memakai baju karung goni yang berkutu dan orang-orang lapar dalam pikiran kaum fasis nan militeristik adalah sebuah pengorbanan untuk Asia Timur Raya.

Menurut Kemal Idris dalam autobiografinya, Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi (1997), yang ditulis Rosihan Anwar, banyak anggota tentara sukarela buatan Jepang, Pembela Tanah Air (PETA), mendengar kisah militer Jepang yang memaksa rakyat menjual beras kepada Kumiai (organisasi pembelian beras) dengan harga murah. Padi yang disediakan untuk bibit dipaksa dijemur dan dijual kepada mereka, sehingga benih menjadi langka.

Orang-orang Indonesia juga dipekerjakan sebagai romusha. Tanpa dibayar. Dalam kondisi kurang gizi, mereka dipaksa terus bekerja sampai kurus kurang gizi.

Supriyadi Prihatin dengan Kesengsaraan Rakyat

Dari sekian banyak prajurit PETA yang merasakan derita rakyat yang lapar itu, salah satunya adalah Supriyadi. Dia bukan prajurit bawahan, melainkan perwira PETA keturunan priyayi. Bersama Kemal Idris dan Zulkifli Lubis, Supriyadi sempat bersekolah di Jogja saat Jepang baru mengalahkan Belanda.

Setelah Jepang berkuasa, mereka bertiga tidak sekolah. Mereka ikut pelatihan bernama Seinen Dojo di Tangerang, sebuah tempat latihan militer bagi pemuda pilihan. Pemuda-pemuda ini kemudian menjadi calon komandan peleton di PETA. Mereka mendapat latihan paling intensif dan jauh lebih memadai ketimbang anggota PETA lainnya.

Selain Zulkifli Lubis yang kelak menjadi komandan intel pertama Republik Indonesia dan Kemal Idris yang kemudian menjadi jenderal pemimpin Kostrad, kawan-kawan Supriyadi yang sohor lainnya adalah Daan Mogot yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta Barat dan Umar Wirahadikusumah yang jadi wakil presiden.

Dalam masa-masa pelatihan Seinen Dojo, Supriyadi pernah membikin kasus. Dia dihukum karena diam-diam keluar asrama untuk makan.

“Apapun yang diperlakukan Jepang kepada kita, harus kita hadapi. Suatu saat pasti berguna untuk kita,” kata Supriyadi.

Kemal mengamini: “Kalau Jepang kalah, kita bisa memanfaatkan pengalaman kita untuk melawan Belanda, jika mereka kembali.”

Menurut catatan Joyce Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang (1989), Daan Mogot, Lubis, dan Kemal pernah dikirim untuk melatih pasukan sukarela lokal di Bali. Setelahnya, Lubis dikirim ke Singapura untuk magang dan banyak belajar di kantor intel Jepang. Sementara itu, Supriyadi ditempatkan di Batalyon PETA Blitar.