Menuju konten utama

'Superbugs' yang Mengancam Dunia dalam Diam

Wabah Candida auris yang mematikan dan yang serupa tengah mengintai dunia.

Candida auris fungi, jamur yang muncul multidrug, ilustrasi 3D. iStockphoto/Getty Images

tirto.id - Apa yang lebih menakutkan dibandingkan menderita sakit yang tak bisa disembuhkan? Kematian seakan ada di depan mata. Pada masa kini, hal yang menakutkan itu semakin nyata. Penyebabnya adalah superbugs. Dan kasus-kasus superbugs ini terjadi dalam senyap.

Pada Sabtu (6/4) lalu, New York Times melaporkan kisah yang mampu membuat manusia bergidik seram. Pasalnya, terdapat sebuah kuman yang secara diam-diam menyebar ke seluruh dunia dan mengincar sistem imun manusia yang lemah dalam lima tahun terakhir. Kuman itu adalah sebuah jamur (fungus) yang bernama Candida auris.

Ada sejumlah negara yang tercatat telah terdampak: Venezuela, Spanyol, Inggris, India, Pakistan, dan Afrika Selatan. Di Venezuela, C. auris telah menyerang sebuah unit neonatal, tempat bayi-bayi prematur yang baru lahir dirawat. Di Spanyol, kuman ini menyerang sebuah rumah sakit. Di Inggris, unit perawatan intensif harus ditutup karenanya. Di India, Pakistan dan Afrika Selatan, kuman ini pun mulai menancapkan akarnya.

Dalam setahun terakhir, sejumlah kota di Amerika Serikat juga mulai terdampak. Pada Mei tahun lalu, seorang kakek yang menjalani operasi di Rumah Sakit Mount Sinai di Brooklyn dilaporkan terkena infeksi C. auris. Baru-baru ini, jamur itu mulai menyebar ke kota-kota lain seperti New York, New Jersey dan Illionis. Lembaga pemerintahan federal AS Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC) pun segera menambahkan jamur itu dalam daftar bakteri yang masuk kategori ‘ancaman mendesak’.

Yang lebih mengerikan, ancaman ini sangat dekat dengan Indonesia. Dari tahun 2012 hingga 2019, dilaporkan terdapat 11 kasus infeksi oleh C.auris di negara tetangga dekat Indonesia, Singapura, seperti dilansir Channel News Asia. Angka tersebut merupakan data resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan (Ministry of Health) Singapura pada Selasa (9/4) lalu.

Seorang pasien RS Mount Sinai yang terpapar C. auris dilaporkan meninggal dunia setelah 90 hari menjalani perawatan di RS itu. Yang membuat bulu kuduk berdiri, C. auris ternyata tidak ikut mati bersamanya, akan tetapi malah ditemukan di seluruh sudut ruangan tempat ia dirawat. C. auris ini sangat invasif sehingga membuat RS tersebut harus membersihkan ruangan tersebut dengan alat pembersih khusus, bahkan hingga mencabut langit-langit dan lantai untuk membasminya.

“Semuanya positif - dinding, tempat tidur, pintu, tirai, telepon, wastafel, papan tulis, tiang, pompa, kasur, pegangan tempat tidur, lubang tabung, tirai jendela, langit-langit, semua yang ada di ruangan itu positif,” kata Dr. Scott Lorin, presiden rumah sakit Mount Sinai, masi dari New York Times.

Semakin Sulit Sembuh

Dilansir Halodoc, jamur C. auris ini memang masuk dalam kategori berbahaya. Sering ditemukan pada tempat yang lembab, jamur ini dapat menyebabkan tidak hanya infeksi kulit, akan tetapi juga dapat menimbulkan kondisi serius pada darah dan luka. Jamur ini memang dapat menginfeksi seluruh anggota tubuh, namun kerap ditemukan pada vagina bercampur dengan jamur lainnya.

C. auris ini sangat sulit untuk dibasmi, sebagian penyebabnya karena bakteri itu tahan terhadap obat-obat antijamur utama. Ini menjadikannya contoh baru dari salah satu ancaman kesehatan paling sulit ditangani di dunia: Superbugs.

Vox dalam laporannya menyebut bahwa superbugs adalah ancaman serius yang mengancam eksistensi manusia, yang hingga kini belum mendapat perhatian yang cukup besar. Pada dasarnya, superbugs adalah sebutan bagi kuman yang resisten terhadap obat antimikroba seperti antibiotik dan antijamur.

Mengapa resistensi itu tercipta? Seiring dengan aksi para dokter dan petani yang tanpa pandang bulu membagikan obat antimikroba, mekanisme pertahanan bakteri-bakteri dan jamur berbahaya ini berevolusi terhadap obat-obatan modern. Bakteri yang mampu mengungguli obat antimikroba ini kemudian berkembang biak.

Superbugs ini, masih dari New York Times, akan sangat mematikan pada orang dengan sistem imun tubuh yang masih belum matang atau sedang dalam keadaan yang terganggu. Ini berarti bayi-bayi yang baru lahir, orang tua, perokok, orang yang memiliki sakit diabetes dan orang-orang dengan gangguan imun tubuh yang menggunakan steroid untuk menekan sistem imun tubuh menjadi orang yang paling berisiko terhadap superbugs.

Menurut para ilmuwan, risiko akan menyebar ke populasi yang lebih sehat kecuali jika ada pengembangan pada obat-obatan baru yang lebih efektif serta penggunaan penghentian penggunaan obat antimikroba yang tidak perlu secara drastis.

Masih dari Vox, superbugs tidak hanya mengancam obat-obatan modern, akan tetapi juga keamanan dari sistem makanan manusia. Hal ini karena antibiotik juga digunakan dalam bahan makan manusia, seperti pada ayam.

Sebuah studi yang didanai oleh Pemerintah Inggris memperkirakan bahwa jika tidak ada atau tidak ditemukan adanya penyelesaian pada masalah infeksi yang resisten terhadap obat ini, maka diperkirakan pada tahun 2050 masalah ini “akan mengancam sebanyak 10 juta jiwa dalam setahun dan adanya output ekonomi kumulatif sebesar 100 triliun dolar AS” (hlm.4, PDF).

Saat ini, lanjut studi berjudul “Tackling Drug-Resistant Infection Globally” itu, terdapat sekitar 700.000 orang meninggal dunia karena infeksi resistan setiap tahunnya. Utamanya pada antibiotik, jika obat tersebut kehilangan efektivitasnya, maka sejumlah prosedur medis vital seperti operasi caesar dan proses kemoterapi untuk pasien leukimia, menjadi sangat berisiko untuk dilakukan.

Infografik HL Indepth Zoonosis

undefined

Hingga kini, pemerintah di berbagai negara lebih banyak diam dalam kasus-kasus superbugs ini. Para petugas dan pejabat kesehatan memang mengalami dilema. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk bersikap terbuka kepada publik terkait penyebaran kuman resisten tersebut. Di sisi lain, mereka tidak ingin membuat orang yang sakit, atau pasien yang sedang dirawat di rumah sakit menjadi takut dan urung berobat.

“Pertama, kapan waktu yang tepat untuk membuka kasus ini kepada publik itu hal yang menantang. Haruskah satu kasus mengamanatkan pelaporan kepada publik?” sebut spesialis penyakit infeksi dari Washington University School of Medicine, Jason Burham, masih dari Vox.

“Pada satu kasus, ada kemungkinan bahwa tidak ada pasien lain yang akan terpengaruh. Jadi, apakah sebaiknya menunggu dua kasus? Atau tiga? Jika melaporkan terlalu cepat dan ternyata tidak menjadi wabah, maka masyarakat menjadi takut tanpa adanya alasan yang jelas.”

Ini masih ditambah peliknya menjaga reputasi rumah sakit yang terdampak wabah tersebut. Padahal bisa jadi rumah sakit itu terdampak karena kesalahan rumah sakit lain yang gagal mengidentifikasi superbugs, sebut seorang petugas CDC.

Terlepas dari dilema yang ada, Burnham menegaskan bahwa pasien, dalam kondisi apapun itu, tetap berhak untuk mengetahui tentang risiko kesehatan yang dapat mendera mereka di RS yang terdampak.

“Kita hanya harus mengetahui siapa yang harus diberi tahun dan memberi tahu apa, kapan, untuk menghindari kepanikan yang tidak semestinya sekaligus melindungi pasien,” kata Burnham.

Baca juga artikel terkait OBAT-OBATAN atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
-->