Menuju konten utama

Supeni: "Irian Lady" di Balik Operasi Pengambilalihan Papua

Selain operasi militer, pengambilalihan Papua dari Belanda juga dilalui dengan sejumlah langkah diplomasi. Supeni menjadi tokoh sentral dalam kerja-kerja diplomatik tersebut.

Supeni:
Supeni Pudjobuntoro. FOTO/wikipedia

tirto.id - Supeni, anggota Dewan Partai Nasional Indonesia (PNI) mengingat-ingat kembali pidato Presiden Sukarno di Istana Negara pada 27 Desember 1950. Seingatnya, Sukarno berseru, “Sebelum ayam jantan berkokok menyongsong terbitnya fajar tahun 1951, Irian Barat sudah harus kembali ke pangkuan ibu pertiwi.”

Menurutnya, seperti dituturkan dalam biografi Supeni: Wanita Utusan Negara (1989: hlm. 129), pidato Sukarno tersebut justru dijadikan amunisi oleh pers oposisi untuk mengungkit kegagalan pemerintah Indonesia mengambilalih Papua. Akibatnya, Sukarno sempat mutung dengan mempersilakan rakyat Indonesia memilih presiden baru yang mampu merebut Papua dari Belanda dalam waktu singkat.

Namun, kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Sekitar bulan September 1954, Sukarno mengumpulkan orang-orang pemerintahan untuk mulai merencanakan perebutan Papua. Pertemuan ini menghasilkan pembentukan badan koordinasi perjuangan rakyat Papua bernama Biro Papua pada 5 Oktober 1954 di Jakarta.

Biro Papua terbagi menjadi tujuh anggota dewan pimpinan yang diketuai Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Di bawahnya terdapat tujuh anggota badan penasehat yang diisi oleh para profesional. Supeni diangkat menjadi anggota badan pengurus yang beranggotakan 16 orang bersama dua perempuan lain, yaitu Rangkajo Rasuda Said dan Sri Mangunsarkoro.

Biro Irian dalam KAA

Sejak 1949, pemerintah Indonesia sudah menunjukan ketidakpuasan terhadap keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Menurut Siswanto Ahmed dalam makalah “Diplomasi Belanda dan Indonesia dalam Sengketa Irian Barat, 1949-1950”, KMB dianggap memperkeruh sengketa Papua yang tak kunjung surut kendati sebuah Badan Perjuangan Irian telah dibentuk pada Oktober 1949 di Yogyakarta.

P. J. Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (2010: hlm. 233) menyebutkan, Badan Perjuangan Irian kemudian bereinkarnasi menjadi Biro Irian pada 1954. Keduanya sama-sama bertujuan merangsang minat masyarakat terhadap aksi pengambilalihan Papua dari Belanda melalui pelbagai bentuk aksi massa.

“Aksi-aksi Biro Irian mengakibatkan demonstrasi-demonstrasi di kota-kota dan pembentukan lebih lanjut kelompok-kelompok paramiliter,” tulis Drooglever.

Argumen Drooglever dibuktikan melalui tulisan Onnie Lumintang dan kawan-kawan dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare (1997: hlm. 89), yang menyatakan bahwa Biro Irian merupakan embrio pemerintahan di Papua Barat.

Badan ini disahkan melalui Keputusan Presiden RI tahun 1954. Hal ini dijadikan kesempatan untuk mengangkat kembali aksi pejuang Papua bernama Silas Papare dalam usaha pengambilalihan Papua ke dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia.

Akan tetapi, perjuangan Silas Papare belum dianggap cukup. Daratan Papua masih tetap diduduki Belanda dan tidak mungkin direbut tanpa memakan korban jiwa. Satu-satunya jalan damai yang bisa ditempuh ialah membawa masalah ini ke PBB.

Dalam pemungutan suara di Sidang Umum PBB, Indonesia ternyata tidak cukup mendapat dukungan. Amerika dan negara-negara Eropa yang mendominasi PBB kala itu sangat memihak kepada Belanda. Kondisi ini membuat Indonesia mulai melakukan pendekatan secara halus. Untuk memperbanyak jumlah suara anggota PBB yang pro Indonesia, maka dikirim orang-orang yang piawai melakukan lobi melalui Biro Irian.

Menurut Supeni, atas pertimbangan itu pula Ali Sastroamidjojo memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18-24 April 1955. Usulan ini disetujui sepenuhnya oleh Sukarno dengan harapan perhatian negara-negara Asia dan Afrika terhadap masalah Papua dapat meningkat.

Masalah muncul karena ternyata sebagian besar anggota konferensi, terutama negara-negara Afrika, dianggap belum memahami alasan tuntutan Indonesia terhadap Papua. Kondisi ini menyebabkan Ali Sastroamidjojo dan Supeni harus bekerja ekstra keras untuk mendekati para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika.

Selama enam hari dalam konferensi yang dilangsungkan di Bandung, Supeni giat berkeliling mendekati para pemimpin negara.

“Semua delegasi yang masih meragukan sikapnya mengenai Irian Barat, didekati agar mendapatkan support,” kata Supeni.

Berkat aksinya ini, ia berulang kali dipanggil dengan julukan "Irian Lady".

Diplomasi "Irian Lady"

Berkat keberhasilannya melobi sejumlah pemimpin dunia, Supeni sempat menjadi bahan pembicaraan. Ia dianggap sebagai salah satu pemimpin perempuan Indonesia yang cukup populer. Polling yang diselenggarakan surat kabar Berita Minggu (1965) menempatkan namanya di posisi pertama, di atas Fatmawati dan Maria Ulfah.

Supeni lahir pada 17 Agustus 1917 di Tuban, Jawa Timur. Ia termasuk anak gadis beruntung karena bisa mengenyam bangku sekolah hingga tingkat menengah. Ketertarikannya pada politik telah ia tunjukkan sedari remaja.

Sejak bersekolah di Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK), ia telah berkawan dekat dengan tokoh proklamasi kemerdekaan, Sukarni Kartodiwirjo. Bersama kawannya itu, ia sempat menjadi pengurus gerakan Pemuda Nasional Indonesia Muda cabang Blitar. Sukarni menjabat ketua, sementara Supeni mendampinginya sebagai wakil ketua.

Namun, perkenalan Supeni dengan tokoh-tokoh pergerakan membuatnya harus menelan pil pahit. Kepada Irna Hadi Soewito dalam Wanita Pejuang (2005: hlm. 350), ia mengaku bahwa dirinya dikeluarkan dari sekolah saat tengah menempuh ujian kelas tiga di HIK, lantaran kedapatan berpartisipasi dalam kegiatan politik.

Infografik Supeni

Infografik Supeni, tirto.id/Quita

Pada masa pendudukan Jepang, Supeni melanjutkan kegiatan pergerakan bersama Fujinkai--organisasi perempuan bentukan Jepang--Madiun. Selama dua tahun usia Fujinkai, Supeni berulang kali menangani masalah kemanusiaan. Kegiatan ini dilanjutkannya dengan membantu korban perang selama periode Perang Revolusi melalui organisasi Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia).

Karir Supeni dalam pergerakan kemudian mendapat perhatian Sukarno. Pada 1949, ia diangkat menjadi anggota Dewan PNI. Jabatannya ini membuatnya harus melakukan tugas-tugas diplomatik. Lawatan pertama Supeni keluar negeri dimulai ketika dirinya diminta mempelajari jalannya pemilu di India pada 1951, sebagai bentuk persiapan penyelenggaraan Pemilu di Indonesia pada 1955.

“Mengapa dipilih India? Karena kondisi masyarakat Indonesia dengan India hampir sama, yaitu termasuk dunia ketiga dan sebagian penduduknya masih buta huruf,” tutur Supeni seperti dikutip oleh Irna Hadi Soewito.

Dari sini karir diplomatik Supeni kian menanjak. Ia menjadi perempuan pertama yang didaulat menjadi utusan penting pemerintah Indonesia di beberapa negara Asia dan Afrika. Berkat kecemerlangannya pula Ali Sastroamidjojo memercayakan tugas khusus Biro Irian kepada Supeni.

Namun, sampai Biro Irian dibubarkan pada 9 Juni 1956, dukungan kepada Indonesia dalam masalah Papua dari delegasi negara-negara Asia dan Afrika belum mencapai suara mayoritas dalam sidang-sidang PBB. Artinya tugas Supeni belum usai. Maka setiap ada sidang umum PBB, Supeni selaku Duta Besar Keliling konsisten melakukan lobi terkait isu Papua sampai tahun 1962.

Pada 2 Januari 1962, Presiden Sukarno membentuk Komando Mandala yang bertugas merebut Papua melalui operasi militer yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto.

Untuk menjamin kelangsungan operasi tersebut, Supeni kembali mendapat tugas khusus untuk menghalangi kekuatan Amerika di Filipina, agar tidak mengirimkan pesawat pengebom ke atas perairan Papua. Supeni melakukan pertemuan rahasia dengan Wakil Presiden Filipina, Emmanuel Palaez, dan meyakinkannya untuk mengawasi operasi angkatan udara Amerika di Pangkalan Udara Clark Field di Pulau Luzon.

“Saya akan cegah jangan ada satu pun pesawat terbang yang beroperasi dari Clark Field untuk berbuat sesuatu di Irian Barat,” kata Palaez kepada Supeni.

Perjalanan diplomatik Supeni terus berlanjut. Sampai 1965, Supeni telah mengunjungi 22 negara terkait konflik antara Indonesia dan Belanda di Papua.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Humaniora
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh