Menuju konten utama

Suntikan Dana Rotary Club Perkuat Program Vaksinasi Polio Orde Baru

Eradikasi polio berhasil digeber setelah penemuan vaksinnya pada 1953. Target Indonesia bebas polio tercapai pada 2014.

Suntikan Dana Rotary Club Perkuat Program Vaksinasi Polio Orde Baru
Ilustrasi Vaksinasi Polio. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Setelah melalui serangkaian polemik, pemerintah akhirnya menggratiskan vaksin COVID-19 untuk semua kalangan. Vaksin adalah salah satu cara memutus rantai penularan virus korona yang sudah ditunggu-tunggu. Beberapa puluh tahun yang lalu, vaksin pernah pula berjasa memutus rantai penyebaran penyakit polio.

Poliomyelitis atau lazim disebut penyakit polio disebabkan oleh inveksi virus. Ia menular melalui makanan, air, atau sentuhan seseorang yang telah terkontaminasi virus. Lalat diketahui juga bisa memindahkan virus polio dari feses seseorang ke makanan.

Virus polio menyerang otot dan saraf sehingga membuat penderitanya mengalami kelumpuhan. Pada kasus yang parah, penderitanya bisa mengalami kelumpuhan permanen atau bahkan kematian. Polio bisa berjangkit pada usia berapa pun, tapi yang paling rentan adalah balita.

“Pada awal abad ke-20, polio adalah salah satu penyakit yang paling ditakuti di negara-negara industri, melumpuhkan ratusan ribu anak setiap tahun,” tulis laman Infeksi Emerging.

Virus penyebab polio berhasil dideteksi oleh tim pimpinan ahli imunologi Austria Karl Landsteiner pada 1908. Namun begitu, obat atau pengendalian penyebarannya tidak serta merta dapat diusahakan. Seturut Ensiklopedia Britannica, polio justru mulai menjadi wabah tahunan sejak 1920-an.

Polio menjadi epidemi musim panas yang meneror warga Amerika Utara dan Eropa Barat sepanjang 1940-an hingga awal 1950-an. Sekitar 25.000 hingga 50.000 ribu kasus infeksi bermunculan setiap tahunnya. Wabah besar tercatat di Amerika Serikat pada 1952, saat sekitar 21.000 orang dilaporkan terjangkit polio paralisis.

Ensiklopedia Britannica menulis, “Wabah terkonsentrasi pada musim panas dan awal musim gugur. Saat itu, anak-anak dijauhkan dari kolam renang, bioskop, dan tempat ramai lain yang memungkinkan mereka terpapar virus yang ditakuti.”

Perkembangan Vaksin

Pada musim panas 1947, terjadi sebuah kasus mencurigakan di Pennsylvania, Amerika Serikat. Sepuluh anak-anak yang mengikuti perkemahan musim panas dilaporkan mengalami gejala penyakit yang diduga polio. Mereka sama-sama mengalami demam, sakit perut, sakit tenggorokan, dan lemah otot.

Khawatir keadaan bakal memburuk, National Foundation lantas mengirim peneliti polio Thomas Francis Jr. untuk melihat keadaan dan mencari cara-cara penanganan yang tepat. Sesampainya di perkemahan, Francis kaget mendapati fasilitas sanitasi di sana dalam kondisi yang baik. Makanan untuk peserta kemah pun dipersiapkan dengan cermat dan kolam renang telah diklorinasi.

Dengan kata lain, lingkungan perkemahan ini dalam kondisi steril dan kecil kemungkinan polio bisa menular di lingkungan itu. Oleh karena itu, Francis tidak bisa memberikan suatu kesimpulan final atas insiden itu.

Kebingungan Francis bisa dipahami karena pada saat itu belum banyak yang bisa disingkap dari virus polio. Serotipe virus polio sebenarnya telah berhasil diidentifikasi oleh Frank Macfarlane Burnet dan Jean Macnamara pada 1931. Meski begitu, belum ada kemajuan berarti dalam proses eradikasi polio.

Keadaan itu membuat para ahli medis di Amerika frustrasi. Burnet menangkap kesan itu kala melakukan kunjungan ke Amerika.

“Ketika saya di Amerika baru-baru ini, saya mendapatkan kesempatan yang baik untuk bertemu dengan orang-orang yang paling aktif terlibat dan meneliti soal polio. Harapan besar saya untuk berdiskusi dan menggali pengetahuan. Tapi, yang saya dapatkan adalah rasa frustasi yang sangat nyata”, kata ahli virologi asal Australia itu sebagaimana dikutip David M. Oshinsky dalam Polio: An American Story (2005, hlm. 93).

Kemajuan penting dalam usaha pengembangan vaksin polio terjadi pada 1948. Kala itu, tiga ilmuwan Harvard Medical School—yaitu John Enders, Thomas Weller, dan Frederick Robbins—berhasil mengetahui cara mengembangbiakkan virus polio dalam kultur jaringan.

Lalu, pada 1953, Jonas Salk dari University of Pittsburgh mengumumkan bahwa dia telah berhasil menciptakan vaksin dari virus polio yang dilemahkan. Setahun kemudian, vaksin buatan Salk mulai diujicobakan secara massal kepada 1,8 juta anak di Amerika. Thomas Francis Jr. juga terlibat mengarahkan uji coba itu.

“Uji coba tersebut dinyatakan berhasil pada 12 April 1955. Lebih dari 450 juta dosis vaksin Salk didistribusikan selama empat tahun kemudian. Selama waktu itu, kasus polio paralisis di Amerika Serikat turun dari 18 kasus per 100.000 populasi menjadi kurang dari 2 per 100.000 populasi,” tulis Ensiklopedia Britannica.

Berkat vaksin temuannya, Salk mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan nasional. Pada awal 1960-an, Albert Sabin dari University of Cincinnati berhasil mengembangkan vaksin polio oral. Vaksin oral itu lantas jadi vaksin standar di Amerika Serikat dan diekspor pula ke luar negeri.

Infografik Vaksinasi Polio

Infografik Vaksinasi Polio. tirto.id/Quita

Orde Baru Melawan Polio

Penemuan vaksin polio yang efektif itu jadi tonggak gemilang dalam sejarah eradikasi polio secara global. Skala wabah polio menurun drastis dengan cukup cepat ke level endemik pada akhir 1960-an.

Terbukti ampuh, strategi vaksinasi itu juga diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Indonesia bahkan termasuk salah satu negara yang sukses menjalankan program eradikasi polio.

Pada 1987, Pimpinan Rotary Club International Mateo T. Caparas berkunjung ke Indonesia dan menyempatkan diri bertandang ke rumah Presiden Soeharto. Rotary Club International adalah perhimpunan sosial yang memiliki lebih dari sejuta anggota di 160 negara. Di Indonesia kala itu, sudah ada 27 perkumpulan Rotary dengan 850 anggota. Ketua Humas Rotary Club Indonesia dijabat oleh Jaya Suprana.

Kepada orang kuat Orde Baru itu, Caparas berjanji organisasi yang dipimpinnya akan menyumbang vaksin polio kepada Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, Rotary Club International menyalurkan bantuan dana sebesar US$6.115.000—setara lebih dari Rp10 miliar dalam kurs saat itu.

Bantuan itupun dikonversi menjadi 122 juta dosis vaksin polio. Jumlah itu diperkirakan cukup untuk memvaksinasi 33 juta anak Indonesia dan memenuhi kebutuhan vaksin untuk lima tahun.

Program vaksinasi polio di Indonesia juga menarik perhatian World Health Organisation (WHO). Pada 1989, Direktur Jenderal WHO Dr. Hiroshi Nakajima berkunjung ke Indonesia dan diterima oleh presiden Soeharto di Bina Graha. Keduanya secara khusus membahas kemungkinan perluasan ruang lingkup Biofarma di Bandung agar dapat menghasilkan vaksin polio dan campak.

Buku Jejak Langkah Pak Harto jilid 6 (2003, hlm. 127) mencatat tentang ide besar WHO mendukung produksi vaksin di Indonesia dan memasukkannya dalam program imunisasi global. WHO juga mengamati secara khusus perkembangan dan capaian pembangunan bidang kesehatan di Indonesia.

Proyek produksi vaksin itu dipertegas lagi oleh Soeharto dalam pidato peresmian sarana produksi dan pengawasan mutu vaksin polio dan campak pada 1992. Dr. Hiroshi Nakajima juga turut hadir dalam peresmian itu dan menyatakan dukungan WHO. Secara khusus, pidato itu menegaskan kembali pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan bidang kesehatan.

“Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pada umumnya memang harus terus kita kembangkan di masa-masa yang akan datang karena pembangunan nasional kita hanya akan berhasil jika keikutsertaan masyarakat berkembang makin luas,” kata Soeharto.

Rencana kerja jangka panjang yang lebih terstruktur lalu diwujudkan dengan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) pada 1995. Mantan Menteri Kesehatan Soewardjono Soerjaningrat pernah menyatakan, kualitas vaksin polio buatan Indonesia juga diakui oleh UNICEF.

Kala itu, vaksin polio diberikan kepada semua anak Indonesia tanpa mempertimbangkan apakah sudah pernah mendapatkan vaksin sebelumnya. Hal itu bisa dilakukan karena vaksinnya diklaim tidak akan menimbulkan efek samping. Oleh karena itu, anak-anak yang mendapatkan dua kali vaksin akan memiliki ketahanan tubuh yang lebih baik lagi.

Program PIN dihentikan kala Indonesia diterpa krisis moneter pada 1997. Hasilnya, target Indonesia bebas polio pada 2000 gagal tercapai. PIN lantas dijalankan kembali pada 2002. Target Indonesia bebas polio akhirnya tercapai pada 2014.

Baca juga artikel terkait VAKSIN POLIO atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Fadrik Aziz Firdausi