Menuju konten utama

Suntik Massal Vaksin: Retorika Menutupi Kegagalan Menangani Pandemi

Jokowi kerapkali bicara soal vaksinasi Corona pada akhir tahun atau awal tahun depan. Para pakar menilai ini berlebihan dan hanya sekadar retorika.

Suntik Massal Vaksin: Retorika Menutupi Kegagalan Menangani Pandemi
Presiden Joko Widodo bersiap menyampaikan pidato untuk ditayangkan dalam Sidang Majelis Umum ke-75 PBB secara virtual di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (23/9/2020). ANTARA FOTO/HO/Setpres-Lukas/wpa/aww.

tirto.id - Optimisme Presiden Jokowi Widodo soal vaksin Coronavirus Disease (COVID-19) bakal siap disuntikkan ke masyarakat pada akhir 2020 atau awal 2021 jadi tanda tanya besar, terutama di kalangan ilmuwan.

Jokowi menyampaikan suntik vaksin saat membagikan bantuan modal kerja bagi masyarakat akhir September lalu. “Vaksin bisa segera disuntikkan. Insya Allah Desember atau Januari,” kata Jokowi di Istana Presiden, dikutip dari dari Youtube Sekretariat Presiden, Rabu (30/9/2020).

Jokowi bilang ketika vaksinasi dimulai maka saat itu pula kondisi akan berangsur normal, meski ia juga mengakui tak semua masyarakat langsung bisa mendapatkan vaksin. Yang disuntik kurang lebih 170-180 juta orang dulu.

Ia menjanjikan hal yang sama ke masyarakat di Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur saat memberikan bantuan modal kerja, 1 Oktober. “Semoga di awal tahun depan kita sudah mulai vaksinasi sehingga kembali normal.”

Para ilmuwan menilai rencana Jokowi menyuntikkan vaksin pada Desember 2020 atau Januari 2021 tak realistis jika melihat progres pengembangan vaksin buatan Sinovac Life Sciences, perusahaan asal Cina yang bekerja sama dengan Bio Farma dan Universitas Padjajaran. Uji klinis memang sudah tahap tiga, namun diperkirakan studi pengembangannya baru rampung pada September 2021.

Salah satu yang menyatakan demikian adalah ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo. Kepada reporter Tirto, Kamis (1/10/2020), ia bilang berdasarkan data saat ini paling cepat vaksin bisa dipakai “pertengahan tahun depan karena kita harus melihat datanya.”

Ia mempersilakan jika pemerintah ngotot memberikan vaksin--yang belum final--kepada masyarakat akhir tahun atau awal tahun nanti. “Nanti ditanggung sendiri kalau ada apa-apa. Ilmuwan hanya bisa ngomong, yang membuat keputusan otoritas.”

Ahmad menilai pemerintah terlalu percaya diri dengan vaksin dan itu tak berdasar. Ia menegaskan vaksin yang efektif butuh penelitian panjang dan mendetail. “Makanya saya setuju supaya masyarakat jangan jadi terlalu berharap kepada vaksin,” ujarnya.

Ia lantas menjelaskan apa persisnya yang perlu ditelaah lebih jauh oleh para ilmuwan.

Virus Corona menyerang rongga nafas atas dan rongga nafas bawah. Berdasarkan data, kata Ahmad, hampir semua sepakat bahwa vaksin ini nantinya bisa memproteksi orang dari gejala berat, minimal paru-paru bisa terlindungi. Masalahnya vaksin ini belum tentu dapat melindungi rongga nafas atas.

Bisa jadi orang yang diberi vaksin tidak sesak nafas. Dia aman dan tidak perlu masuk rumah sakit. Tapi belum tentu kebal terhadap virus “dan bisa jadi dia masih bisa menularkan ke yang lain.”

Karena virus ini juga menyerang melalui udara, maka harus ada antibodi yang dapat bekerja di kelenjar saluran atasan seperti di ludah. Antibodi di ludah ini berbeda dengan yang ada di darah. Masalahnya, belum diketahui apakah vaksin itu dapat juga menimbulkan antibodi di ludah.

Kalau tidak dapat membentuk antibodi di ludah, maka meskipun sudah diberi vaksin akan tetap dapat terinfeksi dan menularkan virus melalui saluran atas.

“Jadi dari uji klinis itu nanti harus detail sekali dan diukur tidak hanya antibodi tetapi juga apa yang disebut sitotoksik pada sel,” ujarnya. Hal itu untuk mengetahui sel mana yang terinfeksi virus.

Selain itu, harus diukur juga seberapa berat gejala yang dialami untuk mengetahui penanda biologis. Dengan demikian dapat dipastikan seberapa efektif vaksin ini untuk mereka yang bergejala hingga tak bergejala.

Intinya, Ahmad mengatakan masih sangat banyak yang harus diteliti dan dipastikan. Oleh karenanya pemerintah “harus sabar”. “Ngapain harus buru-buru? Harus kasih contoh enggak usah grusa-grusu.”

Ada banyak konsekuensi apabila waktu penelitian pengembangan vaksin itu dipangkas hanya agar dapat segera disuntikkan. Salah satunya adalah kepercayaan terhadap pemerintah itu sendiri. “Hanya satu saja orang yang terbukti terkena Covid, ini dampaknya kepercayaan kepada pemerintah akan langsung tidak terkendali. Masyarakat yang sudah diiming-imingi ini (vaksin) menjadi senjata pamungkas langsung tidak percaya lagi.”

Target pemerintah bahkan tak disanggupi oleh Tim Riset Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran sendiri. Ini dinyatakan Ketua Tim Riset Kusnandi Rusmil pada akhir Juli 2020, ketika diundang Jokowi ke Istana. Saat itu Presiden minta pengembangan vaksin dipercepat hanya tiga bulan.

“Kami bilang enggak bisa karena harus melakukan dengan hati-hati dan dengan benar,” kata Kusnandi kala itu.

Ia lalu menegaskan pengembangan vaksin itu ada tata caranya, “yang sudah diatur oleh WHO.” Dalam proses itu semuanya “enggak boleh dicepetin", sebab “nanti hasilnya tidak baik dan malah tidak terpantau efek sampingnya dan kemudian manfaatnya.”

Retorika

Oleh karena tak sesuai dengan pendapat para pakar, pernyataan Jokowi dianggap sekadar “retorika untuk menutupi kegagalan pemerintah menangani pandemi,” oleh Sosiolog bencana dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura Sulfikar Amir.

Kepada reporter Tirto, Kamis (1/10/2020), Sulfikar bilang vaksinasi massal akan “konyol” tanpa memperhitungkan risiko dan tanpa mengetahui seberapa efektif vaksin tersebut, apalagi jika latar belakangnya “hanya karena nafsu politik dan ekonomi.” Ia juga mengatakan pernyataan Jokowi “bukan saja terlalu ambisius tapi juga berisiko tinggi.”

“Saya tidak yakin jika itu dilakukan akan dapat persetujuan dari WHO,” tambahnya.

Ia mengatakan janji vaksinasi sekadar retorika karena saat ini sebenarnya “ada hal-hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi laju penularan COVID-19 tapi tidak dilakukan.”

Rumus paling jitu yang mesti dilakukan pemerintah sebelum vaksin ditemukan adalah 3T atau testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (pengobatan)--sementara kewajiban masyarakat adalah menegakkan 3M, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Tapi berdasarkan data yang ada, pemeriksaan dan pelacakan masih di bawah standar.

Sulfikar menyimpulkan pendekatan penanganan tidak berbasis sains, tetapi kepentingan ekonomi-politik saja. Hitung-hitungannya juga konyol, kata Sulfikar, sebab sudah ratusan triliun dianggarkan untuk Corona tetapi testing masih rendah dan ekonomi ternyata tetap di ambang resesi.

Baca juga artikel terkait VAKSIN CORONA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino