Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sungai Citarum dan Banjir Jakarta dalam Sejarah Kerajaan Sunda

Sejarah Sungai Citarum kerap terkait dengan banjir, termasuk yang melanda Jakarta, bahkan sejak era Kerajaan Tarumanegara dalam peradaban Sunda.

Sungai Citarum dan Banjir Jakarta dalam Sejarah Kerajaan Sunda
Foto udara Sungai Citarum di Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.

tirto.id - Sejarah Sungai Citarum kerap terkait dengan banjir, termasuk yang pernah melanda Jakarta, bahkan sejak era Kerajaan Tarumanegara dalam peradaban masyarakat Sunda.

Pada era Maharaja Purnawarman, raja ke-3 Tarumanegara yang memerintah tahun 317-356 Saka atau 395-434 Masehi, pengerukan Sungai Citarum sudah dilakukan dalam upaya mengantisipasi banjir. Kala itu, kawasan yang saat ini dikenal sebagai Jakarta termasuk wilayah kekuasaan Tarumanegara.

Tak hanya Citarum, Purnawarman kerap menerapkan gebrakan terkait sungai. Yoseph Iskandar dalam Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa (1997) memaparkan, proyek besar sungai pertama yang dilakukan Purnawarman adalah perbaikan alur Sungai Gangga atau Setu Gangga di Cirebon pada 410 Masehi.

Dua warsa kemudian atau 412 Masehi, tulis H.M. Joesoef Effendi dan ‎Tata Ahmad Subrata Wiriamihardja dalam Laporan Diskusi Panel Menggali Kembali Sejarah Kerajaan Tarumanegara (1991), giliran tanggul Sungai Cupu di wilayah Mandala Cupunagara (Subang) yang diperkuat oleh Purnawarman.

Selanjutnya adalah Sungai Cimanuk pada 413 M. Sungai sepanjang 130 kilometer yang membentang dari Garut hingga pesisir utara Laut Jawa di Indramayu ini alurnya diperbaiki dan tanggulnya diperkokoh.

Selain itu, dikutip dari Kasepuhan: Yang Tumbuh di Atas yang Luruh (1992) karya Kunaka Adimihardja, Maharaja Purnawarman juga memerintahkan pengadaan petak-petak sawah di sekitar aliran Sungai Cimanuk.

Dan salah satu yang paling melegenda adalah pembangunan kanal di aliran Sungai Gomati dan Sungai Candrabhaga pada 417 Masehi. Sungai Gomati kini dikenal dengan nama Kali Cakung, sedangkan Sungai Candrabhaga diketahui sebagai Kali Bekasi.

Sungai Citarum dalam Peradaban Sunda

Ekspedisi Citarum dalam Laporan Jurnalistik Kompas: Sejuta Pesona dan Persoalan (2011) suntingan Jannes Eudes Wawa menyinggung mengenai asal-usul penamaan Sungai Citarum.

Citarum disusun dari dua kata, yaitu Ci yang artinya “sungai” atau “air”, dan tarum yakni jenis tumbuhan penghasil warna nila yang dulu banyak tumbuh di sekitar aliran sungai tersebut.

Riwayat perjalanan sejarah Sunda mencatat Sungai Citarum terkait erat dengan Kerajaan Tarumanegara, salah satu kerajaan tertua di Jawa yang eksis dari abad ke-5 hingga keruntuhannya pada abad ke-7 Masehi.

Bahkan, nama Kerajaan Tarumanegara diduga terinspirasi dari Sungai Citarum. Nama kerajaan bercorak Hindu ini terdiri dari kata Taruma dan Nagara. Nagara artinya “kerajaan” atau “negara” sedangkan taruma berasal dari kata tarum yang merupakan nama sungai terpanjang dan terbesar di tanah Sunda yaitu Sungai Citarum.

Dikutip dari buku Kompleks Percandian Batujaya Tempat Lahirnya Peradaban di Tatar Sunda (2006) terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, di muara Sungai Citarum ditemukan percandian yang luas.

Dua percandian yang menjadi bagian dalam sejarah telatah Sunda ini adalah Situs Batujaya dan Situs Cibuaya yang diperkirakan merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Tarumanegara.

Di kompleks bangunan kuno yang diduga berasal dari abad ke-4 Masehi itu menunjukkan pernah adanya aktivitas permukiman di hilir Sungai Citarum. Tak hanya itu, sisa-sisa peradaban pra-Hindu di Sunda dari abad ke-1 juga ditemukan di kawasan ini.

Gebrakan yang dilakukan Maharaja Purnawarman pada 419 Masehi yakni pengerukan Sungai Citarum untuk mengatasi banjir juga menjadi bukti bahwa sungai sepanjang 300 kilometer ini amat penting artinya bagi Kerajaan Tarumanegara.

Bahkan, setelah Tarumanegara runtuh pada sekitar 650 Masehi, sungai yang melewati wilayah Bandung, Bandung Barat, Kota Bandung, Cianjur, Purwakarta, Karawang, hingga Bekasi ini tetap sakral di fase peradaban Sunda selanjutnya.

Aliran Sungai Citarum menjadi batas alami dua kerajaan kembar pecahan Tarumanegara, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh atau yang nantinya dikenal sebagai Kerajaan Pajajaran setelah kembali bersatu.

Baca juga artikel terkait SUNGAI CITARUM atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH