Menuju konten utama

Sumber Protein Berkelanjutan & Ramah Lingkungan dari Serangga

Ketergantungan manusia pada protein hewani, membawa bumi semakin dekat pada kehancuran. Serangga dihadirkan sebagai sumber protein alternatif.

Sumber Protein Berkelanjutan & Ramah Lingkungan dari Serangga
Ilustrasi superfood dari serangga

tirto.id - Sepiring makanan yang tersaji untuk santapan kita turut berkontribusi pada pemanasan global, terutama protein dari daging ruminansia. Beragam alternatif sumber protein kemudian muncul sebagai subtitusinya, tapi belum ada yang bisa mengalahkan tingginya protein sapi. Hingga, kecoa maju menawarkan solusi.

Di masa depan nanti, ketika dunia mencapai titik kritis pemanasan global, kita mungkin akan mengambil langkah ekstrem menyelamatkan bumi sampai di level piring makan. Konsumsi daging ternak, terutama sapi, bisa jadi diharamkan karena—saat ini saja—terlalu bertanggung jawab atas lebih dari 60 persen gas rumah kaca.

Tingkat pertumbuhan ternak ruminansia (kambing, sapi, domba, kerbau) setiap tahunnya meningkat hingga 5,5 persen. Food and Agriculture Organization (FAO) menyebut peternakan telah melahap 26 persen bagian lahan di bumi. Sementara itu, 33 persen dari seluruh lahan pertanian diperuntukkan khusus pakan ternak.

Gambaran tersebut baru menghitung soal lahan saja. Nyatanya, peternakan juga menguras 20 persen sumber daya air di bumi hanya untuk pakan saja. Coba bayangkan Anda tinggal dalam lingkungan planet yang mengalami perubahan iklim ekstrem, kelangkaan air, keterbatasan ruang lahan, dan tanah tandus.

Menjadi karnivora dengan tetap mengonsumsi daging merah tak lagi relevan ketika bumi tengah berjuang lolos dari “kiamat”. Manusia memang telah mencari alternatif pangan tinggi protein selain daging sapi, termasuk dari tumbuhan atau serangga.

Namun sampai sekarang, ego untuk menyantap steak, susu, es krim, keju, rendang yang memuaskan perut masih mengambil porsi besar dari ternak. Artinya, protein dari daging ternak masih paling tinggi proporsinya dibanding sumber protein alternatif.

Sebuah laporan FAO menyebut, “Saat ini secara global, 25 persen asupan protein dan 15 persen kalori berasal dari ternak.”

Hingga saat ini, serangga masih duduk di jajaran pertama sebagai alternatif sumber protein selain mamalia. Sebuah artikel ilmiah di Journal of Agriculture and Food Chemistry (2016) memaparkan beberapa serangga yang potensial sebagai sumber pangan alternatif karena mengandung vitamin dan mineral penting. Belalang, jangkrik, dan ulat sagu disebut mengandung Ca, Cu, Mg, Mn, dan Zn yang secara kimiawi kadarnya jauh lebih tinggi daripada daging sirloin.

Laporan FAO lainnya yang terbit pada 2013 juga menyebut ada lebih dari 1.900 spesies serangga yang sudah menjadi sumber makanan di berbagai budaya dunia. Pertanyaannya sekarang, apakah sepadan meninggalkan sepotong daging dan beralih ke makanan yang rasanya belum tentu enak?

Dari Camilan, Susu, hingga Es Krim Serangga

Thailand sudah lama populer memiliki camilan dari serangga yang disebut hon mhai. Camilan yang terbuat dari lebah, ulat, atau belalang goreng ini dijajakan dalam kemasan kedap udara untuk menjaga teksturnya tetap renyah. Di Indonesia bagian timur, ulat sagu juga sudah lama menjadi bahan pangan lokal.

Pengolahan makanan berbahan serangga tak cuma berhenti pada bentuk aslinya. Sebuah toko grosir di Kanada, misalnya, menjual tepung protein dari jangkrik. Ada juga upaya membikin es krim dari lalat dan yang paling tak lazim adalah memerah susu dari kecoa.

Gourmet Grubb, sebuah perusahaan dari Afrika Selatan, menjual es krim dari larva lalat tentara hitam yang dinamai EntoMilk. Merek tersebut diambil dari istilah entomophagy, yakni praktik memakan serangga.

Kandungan proteinnya lebih tinggi daripada susu biasa, setara dengan daging merah. Profil asam amino (EntoMilk) lebih sesuai dengan kebutuhan manusia daripada daging merah,” demikian klaim Gourmet dalam laman resmi mereka.

Terobosan Gourmet membikin es krim menjadi cara baru menikmati serangga tanpa harus melihat bentuk aslinya. Untuk rasa, mereka membikin es krim varian kacang, cokelat, dan chai—persis seperti lazimnya rasa es krim lain di pasaran.

Bayangan tentang lalat—serangga kecil yang menjijikkan—seketika lenyap saat mencicipi EntoMilk. Setidaknya begitulah kata Leah Bessa, salah satu pendiri Gourmet Grubb setelah mendengar respon orang-orang yang mencicip produknya.

Rasa dan teksturnya normal-normal saja,” tulis Design Indaba menjawab kekhawatiran orang terhadap rasa es krim ini. “Mereka bahkan tidak percaya bahwa es krim ini terbuat dari serangga.”

Bessa membayangkan EntoMilk sebagai alternatif susu masa depan yang berkelanjutan, ramah lingkungan, bergizi, bebas laktosa, lezat, dan sehat karena tidak mengandung gula dan karbohidrat. Saat ini, Gourmet juga tengah membikin produk lain berupa yogurt dan keju.

infografik mild superfood dari serangga.

infografik mild superfood dari serangga. (tirto.id/Fuad)

Makanan Super yang jadi Solusi Masalah Lingkungan

Di Bangalore, India, tim periset pimpinan pakar kimia Subramaniam Ramaswammy juga memulai terobosan susu serangga tinggi protein. Susu kerbau yang saat ini memegang rekor sebagai susu dengan kalori tertinggi dalam penelitian ini kalah oleh susu kecoa.

Susu ini diperoleh dari hewan hidup, jadi prinsipnya ini termasuk makanan sehat, kata Ramaswammy.

Studi yang diterbitkan dalam Journal of the International Union of Crystallography ini mengatakan bahwa susu kecoa mengandung kalori tiga kali lebih banyak daripada susu kerbau, atau empat kali lebih bergizi daripada susu sapi.

Yang dimaksud “susu” sebetulnya merupakan cairan kekuningan yang mengeras menjadi kristal, terletak di saluran pencernaan kecoa (Diploptera punctate). Kandungannya terdiri dari protein lengkap karena menyediakan sembilan asam amino esensial, karbohidrat, dan lemak baik.

Peneliti yang menjajal produk susu ini juga mengatakan bahwa rasanya “biasa saja”. Dari segi kesehatan, susu kecoa merupakan solusi bagi orang dengan intoleransi laktosa dan kelompok vegan. Tapi, produksi susu kecoa dalam skala industri akan menjadi tantangan sulit karena kecoa secara alami hanya memiliki sedikit cairan ini.

Solusi yang ditawarkan saat ini adalah melakukan rekayasa genetika. Gen kecoak dicampur dalam kultur ragi agar menghasilkan cairan “susu” yang sama pada skala komersial. Baik ternak kecoa maupun lalat untuk menghasilkan alternatif protein modern, sama-sama ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Serangga-serangga itu tidak membutuhkan banyak ruang fisik seperti ternak mamalia, begitu pula masalah pakan. Pada poin ini, kita sudah bisa menghemat banyak hal seperti lahan dan air. Tentunya juga menghambat pembentukan gas rumah kaca.

Meski sekarang terdengar menjijikkan, gagasan protein dari serangga berpeluang menjadi sumber makanan super yang digemari di masa mendatang. Ingat saja bagaimana lobster—makanan mewah—bermula sebagai kecoa laut dan hanya diberikan kepada budak serta tahanan. Di masa depan, tren ini mungkin akan menghampiri susu kecoa, eskrim, atau pun yoghurt lalat.

Baca juga artikel terkait SUPERFOOD atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi