Menuju konten utama

Sumatera Timur Tanah Kucinta, Sumatera Timur Indonesia

Sumatera Timur pernah berdaulat sebagai sebuah negara. Tetapi, kedaulatan itu tak bertahan lama. Kelompok republiken mengalahkan suara kelompok federalis. Yang federalis ini kemudian dicap antek Belanda.

Sumatera Timur Tanah Kucinta, Sumatera Timur Indonesia
Barisan Pengawal Negara Sumatera Timur memberi hormat untuk wali negara di rumahnya. 1948. [Foto/www.lenteratimur.com]

tirto.id - Suatu hari di awal bulan Maret 1946, terjadi percakapan antara Mad Drail dan Tengkoe Mansoer.

“Mad, kau jangan pulang ke Tanjung Balai, revolusi sedang berjalan,” kata Mansoer. Kala itu, Mansoer adalah seorang dokter yang bekerja di Medan. Ia juga bagian keluarga dari Kesultanan Asahan. Kelak, Mansoer akan memimpin Sumatera Timur yang berdaulat sebagai sebuah negara.

Mansoer bertemu Mad Drail di Medan, saat lelaki itu sedang membeli obat untuk istrinya. Istri Mad Drail tinggal di Tanjung Balai.

“Cemanalah [bagaimana lagi] Tok, istri awak [saya] lagi hamil,” jawab Mad Drail. Istri Mad Drail bernama Tengku Haniah. Ia juga masih keluarga Kesultanan Asahan. Saat itu, Haniah sedang hamil tujuh bulan. Tak hirau akan nasihat Mansoer, Mad Drail kembali ke Tanjung Balai naik kereta.

Benar kata Mansoer, di Tanjung Balai, pembantaian sedang berlangsung. Semua laki-laki bernama depan Tengku atau Wan atau OK pasti ditangkap dan dibunuh. Mereka yang bukan Melayu tetapi dekat dengan kesultanan pun ikut jadi korban.

Haniah tengah menunggu kepulangan Mad Drail ketika sekelompok orang membawanya ke rumah tahanan. Ia tak dibunuh karena ia perempuan. Haniah sempat menolak dibawa dan mengatakan sedang mengandung tujuh bulan. Namun, sekelompok orang itu tak peduli. Haniah dan beberapa keluarganya yang perempuan, ditahan di sebuah rumah.

Bersama Haniah, ikut juga sepupunya, Tengku Yasir. Yasir awalnya sudah dibawa untuk dibunuh. Tetapi kakinya yang sakit membuatnya kesulitan berjalan. Para pembunuh enggan membawanya dan membiarkannya tinggal.

Rumah tempat mereka ditahan diisi ratusan orang. Jumlah penghuni dan luas rumah yang tak sebanding membuat rumah sempit dan sesak. Perempuan dan anak-anak dimasukkan dalam satu bilik yang sama, termasuk ibu dan dua kakak Haniah. Perhiasan mereka dilucuti, tak tersisa.

Untuk makan sehari-hari, mereka diberi beras dan ikan asin. Kalau lapar, harus masak sendiri. Haniah melahirkan di rumah tahanan. Tak didampingi suami tentu saja. Mad Drail dibunuh dalam perjalanannya kembali ke tanjung Balai. Obat yang dibelinya tak pernah sampai ke Haniah.

Sampai cerita ini dituliskan pun, Haniah tak pernah tahu pasti kabar suaminya. Tak pernah juga melihat jasadnya. Ia hanya mendengar kabar simpang siur. Ada yang bilang Mad Drail diculik saat keretanya berhenti di Kisaran.

Haniah dan Yasir kini masih hidup. Kisah itu diceritakan keduanya dengan suara bergetar. Haniah bahkan sempat menitikkan air mata. Tragedi berdarah itu masih lekat di ingatan meski usia mereka sudah senja.

Pembantaian itu tak hanya terjadi di Kesultanan Asahan, tetapi juga terjadi setidaknya di Langkat, Kualuh, dan Kerajaan Simalungun.

Pada 1 September 1947, Tengkoe Mochtar Aziz, adik dari Sultan Langkat menyampaikan pidato di Pusat Radio Resmi Indonesia. “Di sini, bukan maksud saya hendak membuat propaganda, melainkan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi. Supaya seluruh rakyat di Kepulauan Indonesia dapat mengetahui dan menimbangnya dengan sebaiknya,” ujar Mochtar Aziz membuka pidatonya.

Pidato Mochtar Aziz ini dimuat di harian Pandji Ra'jat pada 2 September 1947. Koran ini, dan koran-koran lama lainnya dikumpulkan oleh sebuah lembaga bernama Institute for War, Holocaust and Genocide Studies di Belanda.

Bagian awal pidato Mochtar Aziz berisi penjelasan tentang kesediaan kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur bekerja sama dengan pemerintah republik di Yogyakarta. Dia menerangkan, sebulan sebelum pembantaian dilakukan, raja-raja dan Komite Nasional Pusat Sumatera Timur mengadakan pertemuan di Kota Medan. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk membentuk daerah Sumatera Timur dengan demokrasi.

Para raja menargetkan pemerintahan yang baru bisa berjalan mulai Mei tahun itu. Sayangnya, pembantaian membuat apa yang mereka sepakati tak pernah terjadi.

“Saya pertama kali diambil dari rumah saya dengan janji akan diperiksa sebentar di markas, walaupun waktu itu jam 2 malam, saya lalu juga [ikut saja] karena saya percaya saya tidak akan dapat kesusahan oleh karena saya adalah anggota dari komite nasional. Sayang, perikemanusiaan tidak ada lagi. Saya sampai di markas, terus di bawa ke satu tempat, 40 kilometer dari tempat saya, dengan tidak sempat hendak memberi kabar pada istri dan anak saya ke mana saya dibawa. Dari sana, saya dibawa ke Berastagi. Waktu itu, pada istri dan keluarga saya yang tinggal, dikatakan saya telah dibunuh. Inilah yang kami tanggungkan selama 17 bulan, dengan tidak tahu pada siapa kami mengadukan hal yang kami deritai,” cerita Mochtar dalam pidatonya.

“Selama di tahanan, tidak sedikit penghinaan diberikan pada kami. Kami orang tahanan diberi gelar kambing, dari itu, kami tak bisa bergaul dengan manusia biasa. Buat makan, kami dilainkan. Buat mandi seminggu sekali, mesti dengan hewan,” lanjut Mochtar.

Dibentuknya Negara Sumatera Timur

Sebulan sebelum pidato Mochtar Aziz, 1 Agustus 1947, Suratkabar Deli Courant—koran berbahasa Belanda—menyebutkan adanya demonstrasi massa dalam berita berjudul Bevolking van der Oostkust Sumatera wenst zelfstandigheid. Dalam Bahasa Melayu, judul itu berarti Penduduk Sumatera Timur Menginginkan Kemerdekaan.

Lalu dibentuklah sebuah komite untuk melindungi pribumi negeri itu dan kepentingan-kepentingannya. Nama-nama yang tercatat membentuk komite ini adalah Tengkoe Mansoer, Tengkoe Hafas, Tengkoe Zulkarnain, Datuk Hafiz Haberham, Djomat Poerba, Raja Sembiring Meliala, Tengkoe Malaikoel Bahar, Djaidim Poerba, Raja Silimahoeta, Raja Kaliamsyah Sinaga, Madja Poerba, Anak Raja Panai, dan OK Ramli. Djomat Poerba ditunjuk sebagai juru bicara.

Keinginan mereka satu, terwujudnya Daerah Istimewa Sumatera Timur. Pada 25 Desember 1947, keinginan itu tercapai. Catatan sejarah tentang pembentukan Negara Sumatera Timur ini dituliskan oleh T. Mansoer Adil Mansoer, cucu dari T. Mansoer. Ia lahir di Medan pada 1948. Pada 1962, karena situasi politik ia melarikan diri ke Belanda dan menetap hingga kini. Ia menuliskan dalam Bahasa Inggris dari kumpulan catatan berbahasa Belanda. Tulisan itu kemudian dipublikasikan di Lentera Timur dalam Bahasa Melayu Indonesia.

“Kondisi kaum bangsawan dan masyarakat Simalungun yang mengenaskan, kecemasan orang-orang Cina dan India, serta orang-orang Indonesia yang kelaparan dan merasa kecewa akibat republik, bisa jadi menjadi jawaban untuk pertanyaan mengapa Negara Sumatera Timur didirikan,” tulisnya. Setelah pembantaian para anggota keluarga kerajaan, Sumatera Timur memang diduduki kaum republiken.

Laskar-laskar tanpa terkendali terus membunuh dan membuat onar. Sementara Republik tidak mampu menghentikannya. Lebih buruk lagi, mereka mendorong revolusi. Ini mengapa komite bentukan beberapa cerdik pandai yang tersisa menginginkan lebih dari sekadar daerah istimewa, tetapi negara.

Januari 1948, sebuah negara bernama Negara Sumatera Timur berhasil dibentuk. Tengkoe Mansoer didaulat sebagai Wali Negara. Untuk pertama kalinya, bendera Sumatera Timur yang berwarna kuning-putih-hijau secara resmi dikibarkan. Negeri itu juga punya lagu nasional sendiri.

Sumatera Timur tanah kucinta, Sumatera Timur Indonesia. Demikian penggalan lagu kebangsaan Sumatera Timur yang terekam dalam video kunjungan Letnan Gubernur Jenderal Van Mook ke Medan, 1 Februari 1948. Lagu utuhnya seperti apa, tak ada yang tahu. Di Indonesia, arsipnya sulit dilacak.

Usia Sumatera Timur sebagai negara bagian dalan Republik Indonesia Serikat tak berlangsung lama. Tetapi dibandingkan negara-negara bagian lain, usianya termasuk yang paling lama, bersama denga Negara Indonesia Timur.

Selain dua negara ini, ada empat negara bagian lain dalam RIS. Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, dan Negara Jawa Timur. Dalam buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, RIS ini dituding negara boneka Belanda.

Konsep negara federal memang digagas oleh Van Mook. Namun, di Belanda sendiri, ia dihina dan dianggap sebagai seorang yang pro Indonesia, termasuk pada Negara Republik Indonesia. Parlemen Belanda pernah mengusulkan untuk memecat Van Mook sebagai Letnan Gubernur Jenderal dari Netherland Indie. Sementara di Indonesia, ia kerap dianggap sebagai anti-Indonesia.

Republik Indonesia Serikat berdiri dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Tetapi kemudian, negara-negara di dalamnya dibubarkan satu demi satu dan dilebur ke dalam Negara Republik Indonesia yang sebelumnya adalah salah satu negara bagian.

Usai menjabat sebagai Wali Negara, T. Mansoer berhenti dalam dunia politik. Ia mengabdikan dirinya sebagai dokter. Tahun demi tahun, ketika sejarah diajarkan ke sekolah-sekolah, orang-orang federalis seperti Mansoer ini dicap antek Belanda. Penamaan Jalan dr. Mansoer di depan Universitas Sumatera Utara pun sempat menimbulkan perdebatan, hanya karena ia tak pro pada republik.

Baca juga artikel terkait PERINGATAN HARI KEMERDEKAAN RI atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Politik
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti