Menuju konten utama
30 Maret 1978

Sultan Hamid II: Perancang Garuda Pancasila, Pernah Dituduh Makar

Sultan Hamid II dua kali dituduh terlibat gerakan subversif hingga harus jadi tahanan politik. Kasus subversinya lebih mencuat ketimbang jasanya merancang Garuda Pancasila.

Sultan Hamid II: Perancang Garuda Pancasila, Pernah Dituduh Makar
Sultan Hamid II. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Sejak Februari 1950, Polisi Republik Indonesia sudah mendata siapa saja orang-orang yang dekat dengan Westerling, yang memimpin gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung dan Jakarta. Sebagai mantan Menteri Negara tanpa Portofolio, Hamid tak duduk di kursi empuk di kabinet Republik Indonesia Serikat.

Pada 5 April 1950 Hamid diciduk di Jakarta. Ia menjadi tahanan dan harus duduk di kursi pesakitan. Sejak 25 Februari 1953, Hamid mulai menjalani beberapa persidangan yang menyudutkan dirinya. Jaksa penuntutnya bukan Jaksa sembarangan. Hamid langsung berhadapan dengan Jaksa Agung Republik Indonesia, R Soeprapto.

Konon, belum ada pesakitan yang digugat dalam pengadilan Indonesia langsung oleh Jaksa Agung Republik Indonesia. Sultan Hamid II, yang berusia 40 tahun saat itu, dituduh terlibat konspirasi dengan bekas Kapten Raymod Westerling yang sudah berhasil kabur ke Belanda. Hamid kena tuduh merencanakan penyerangan ke Gedung Pejambon untuk membunuh tiga orang pejabat pertahanan RI.

Baru Sebatas Niat

Raymond Westerling mendatangi Hamid setelah gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpinnya di Bandung gagal. Westerling, bekas kapten pasukan khusus Belanda itu sering nongkrong di sebuah bar bernama Black Cat Noir di Jalan Veteran I, Jakarta. Tempat itu adalah lokasi hiburan malam tentara Belanda di masa Revolusi.

Kala itu Hamid sering menginap di Hotel Des Indes. Sementara Westerling sering kelayapan bersama bekas inspektur polisi Frans Najoan. Sampai akhirnya Westerling dan Najoan pun dapat perintah untuk menyerang sidang menteri kabinet RIS di Pejambon.

“Perintah penyerbuan itu timbul pada ketika pembicaraan dengan Westerling pada tanggal 24 Januari 1950 siang. Sebelumnya sama sekali tak ada maksud untuk melakukan penyerbuan itu,” kata Hamid dalam pleidoinya pada 25 Maret 1953.

Rencana penyerangan itu tak lama kemudian dibatalkan oleh Hamid sendiri. Baik Westerling dan Frans Najoan sendiri sebetulnya tak siap untuk menyerang Gedung Pejambon. Mereka tak punya pasukan andalan lagi setelah gerakan APRA digulung TNI.

“Syukur Alhamdulillah, serenta saya agak tenang, ialah sesudah mandi, insyaflah saya akan perbuatan saya yang tidak patut itu,” lanjut Hamid.

Hamid merasa pengadilan Republik Indonesia berlaku tidak adil. Termasuk kepada orang-orang yang telah ikut mengacau negara. Dirinya diperlakukan lebih buruk ketimbang pelaku Peristiwa 3 Juli 1946.

“Perbuatan para terdakwa dalam peristiwa 3 Juli 1946 jauh lebih berat daripada perbuatan saya. Akan tetapi dalam di dalam perkara itu, kepada hoofddaders (pelaku utama) hanya dijatuhi hukuman empat tahun penjara dengan dipotong waktu dalam tahanan,” kata Hamid.

Hamid alias Max alias Syarif Hamid Al-Qadrie alias Sultan Hamid II akhirnya dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara dipotong masa tahanan. Nama Sultan Hamid II pun jadi sosok antagonis dalam sejarah Indonesia. Segelintir orang saja yang tahu jika Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara Garuda Pancasila.

Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengeluarkan keputusan pada 8 April 1955. Sultan Hamid II kemudian dinyatakan tidak bersalah dan tidak terbukti terlibat dalam aksi Westerling dan pasukan APRA di Bandung pada 23 Januari 1950. Putusan MA ini mungkin akan dijadikan bahan untuk mendukung Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional atas jasanya merancang Lambang Negara Garuda Pancasila.

Dijerat Lagi Gara-Gara VOC

Hamid hanya menjalani hukuman 8 tahun penjara. Pada 1958 Hamid bebas dari penjara. Dia menghirup udara bebas dan memilih untuk tidak lagi berpolitik. Selama dipenjara, Hamid tetaplah Sultan Pontianak dan istri beserta anak-anaknya hidup di Belanda.

Hamid masih sering bergaul dengan tokoh-tokoh politik dan pemerintahan. Hamid juga masih berhubungan baik dengan tokoh Bijeenkomst Federaal Overleg (BFO) lain. Begitu juga dengan Ide Anak Agung Gde Agung, yang pernah dikalahkan Hamid dalam pemilihan Ketua BFO, setelah kematian Ketua BFO Mr. Tengku Bahruin. Mereka berdua, bersama tokoh-tokoh lain, juga dipenjarakan pemerintah Orde Lama.

“Baru empat tahun menghirup udara bebas, Hamid kembali ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur, pada Maret 1962. Tuduhannya adalah melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi illegal bernama Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC). Dikabarkan, persiapannya dilakukan bersama sejumlah tokoh saat mereka berada di Gianyar, Bali, untuk menghadiri upacara ngaben (pembakaran jenazah) ayah dari Ide Anak Agung Gde Agung,” ujar Anshari Dimyati, Ketua Yayasan Sultan Hamid II.

Infografik Mozaik Sultan Federalis

undefined

Menurut Anshari Dimyati, dalam upacara Ngaben tersebut, sejumlah politikus yang merupakan oposisi pemerintah hadir. Termasuk dari dua partai yang sudah dibubarkan, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ada Mohamad Roem (Masyumi), Sutan Sjahrir (PSI), dan Subadio Sastrosatomo (PSI). Mohammad Hatta juga hadir. Di luar masalah politik, Hatta adalah kawan lama Ide Anak Agung Gde Agung.

“Selama empat tahun Sultan Hamid II ditahan tanpa proses pengadilan. Dia baru dibebaskan pada 1966 setelah era Soekarno berakhir. Tuduhan makar terhadap Sultan Hamid II, menurut Ide Anak Agung Gde Agung, kemungkinan besar disebabkan pergunjingan orang-orang di sekitar Soekarno, dan bukan berangkat dari fakta. Bahkan Anak Agung menegaskan bahwa semua tuduhan itu omong kosong. Sebab, sejak keluar dari tahanan pada 1958, Sultan Hamid II tak terlibat dalam kegiatan politik sama sekali," jelas Anshari.

Bebas dari penjara, Sultan Hamid II terjun ke dunia bisnis sampai akhir hayatnya. Hamid menjadi Presiden Komisaris di PT Indonesia Air Transport (IAT) sejak 1967 hingga 1978. Tentu saja dengan masih menyandang gelar Sultan Pontianak.

Hamid tutup usia pada 30 Maret 1978, tepat hari ini 41 tahun lalu, di Jakarta. Dia mengembuskan napas terakhir ketika sujud dalam salat magrib. Jenazahnya lalu dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Qadriyah Pontianak di Batu Layang. Sang sultan dimakamkan dengan upacara kebesaran Kesultanan Pontianak.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 1 Juli 2016 dengan judul "Menjerat Sultan Federalis" dan merupakan bagian dari laporan mendalam tentang Sultan Hamid II. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Ivan Aulia Ahsan