Menuju konten utama

Sulitnya Mengevakuasi Para Pendaki Pasca-Gempa Gunung Rinjani

Ada ratusan pendaki di Gunung Rinjani yang harus dievakuasi, bagaimana tantangan mengevakuasi di puncak gunung tertinggi ketiga di Indonesia ini?

Sulitnya Mengevakuasi Para Pendaki Pasca-Gempa Gunung Rinjani
Sejumlah wisatawan pendaki Gunung Rinjani berhasil turun saat terjadi gempa di pintu pendakian Bawaq Nau, Kecamatan Sembalun, Selong, Lombok Timur, NTB, Minggu (29/7/2018). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi

tirto.id - Debu-debu beterbangan saat orang-orang berlarian turun menyusuri lereng curam penuh dengan bebatuan dan pasir. Dari kejauhan nampak kepulan debu akibat longsoran bukit yang runtuh dari Puncak Rinjani yang digoyang gempa berkekuatan 6,4 SR Minggu (29/12) sekitar pukul 05.47 pagi.

Pemandangan horor ini sempat beredar dalam video singkat yang beredar di media sosial, menggambarkan kepanikan para pendaki di puncak setinggi 3.726 meter. Pagi hari yang biasanya menjadi momen tepat dan menyenangkan untuk menggapai puncak bagi pendaki gunung, saat itu berubah jadi menegangkan.

Gunung tertinggi ketiga di Indonesia—setelah Puncak Carstensz Pyramid dan Kerinci ini—pagi itu memang sedang tumpah ruah dengan ratusan pendaki. Jumlah pendaki Gunung Rinjani, seperti dilaporkan Antara, mencapai 820 orang. Sebanyak 448 orang naik gunung pada Jumat (27/7) dan Sabtu (28/7) sebanyak 372 orang.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, melalui akun Twitter-nya, mengatakan dari 820 orang pendaki Gunung Rinjani terdapat 617 pendaki dari mancanegara. Hingga 29/7/2018 pukul 13.00 WIB, yang berhasil dievakuasi ada 246 orang. Artinya masih ada ratusan pendaki yang terjebak termasuk di bibir Danau Segara Anak, Rinjani.

Sisanya menunggu evakuasi karena jalur Senaru dan Torean belum bisa dilalui,” kata Sutopo.

Untuk mengevakuasi para pendaki, sedikitnya 100 personel Kopassus dan heli dari Kodam Udayana dikerahkan. Penggunaan helikopter belum tentu efektif, karena kapasitas yang terbatas dengan jumlah pendaki yang harus dievakuasi tak sebanding. Belum lagi soal keamanan penerbangan, karena cuaca pegunungan yang sulit ditebak.

Proses evakuasi para pendaki ini memang bukan perkara mudah. Selain medan yang berat, karakteristik Gunung Rinjani yang memiliki danau sebelum puncak membuat para pendaki Gunung Rinjani harus melintasi beberapa puncak dan turunan punggungan yang curam terutama bagi mereka yang melewati pintu masuk Desa Senaru (sisi utara), Lombok, NTB. Pintu masuk pendakian lain bisa melalui Desa Sembalun Lawang (sisi timur) sebagai jalur pendakian terdekat.

Medan Berat Rinjani

Kondisi medan berat Gunung Rinjani masih membekas di hati Nur Pamudji, 55 tahun, yang merupakan mantan direktur utama PLN. Pada 2015, ia berkesempatan mendaki Gunung Rinjani via Desa Senaru. Ia bisa memahami kepanikan para pendaki dari video yang beredar saat detik-detik gempa bumi terjadi Minggu lalu.

Nur mengakui sisi puncak Gunung Rinjani memang rawan longsor karena kondisi medan berpasir dan berbatu. Bisa dibayangkan bila gempa dengan kekuatan 6,4 SR, berada di puncak gunung setinggi Rinjani ibarat berada di beberapa kali tinggi puncak gedung-gedung pencakar langit di Jakarta.

Batuan seperti pasir. Kalau kena getaran mungkin gampang longsor,” katanya kepada Tirto.

Ia mencoba menggambarkan saat terjadi gempa. Jalur yang cukup rawan menurutnya justru jalur Desa Sembalun yang relatif lebih pendek dibanding jalur Desa Senaru. Pada jalur ini ada bahaya mengintai karena rutenya persis di bawah puncak Rinjani yang rawan longsor,

Yang rawan itu jalan turun dari Plawangan Sembalun ke arah Sembalun, rawan terkena longsoran jika ada gempa susulan,” katanya.

Jalur Senaru yang relatif jauh memang bisa menjadi pilihan untuk proses evakuasi, tapi bukan berarti persoalan selesai. Jalur ini memakan waktu tempuh belasan jam, apalagi jika pendaki yang dalam kondisi shock. Pada laman trekkingrinjani.com, waktu tempuh dari Danau Segara Anak-Pelawangan Senaru-Senaru kurang lebih 10 jam.

Bagi pendaki yang terjebak di puncak, waktu tempuh evakuasi lebih lama lagi. Sebagai gambaran, waktu tempuh relatif tercepat dari Puncak Rinjani ke Plawangan Sembalun adalah 3-4 jam, dan dari Pelawangan Sembalun ke tepi Danau Segara Anak memakan waktu sekitar 4 jam. Ditotal, waktu evakuasi dengan via darat sekitar minimal 18 jam bila dilakukan secara nonstop. Untuk jalur Puncak ke Desa Sembalun sekitar 10-11 jam.

Dalam pendakian reguler, umumnya untuk mencapai puncak Rinjani membutuhkan waktu 2-3 malam untuk mencapai puncaknya dan kembali ke desa terdekat.

“Saya naik dari Senaru, nginap di Plawangan Senaru, terus turun ke Segara Anak, nanjak lagi ke Plawangan Sembalun, nginap semalam, terus summit. Turunnya nginap lagi di Plawangan Sembalun, baru esok harinya turun ke Sembalun. Jadi 3 hari tidur di tenda,” kenang Nur Pamudji.

Fandhi Ahmad, anggota Mapala UI yang merupakan juara lari 100K Rinjani 2017 menceritakan medan berat yang tak mudah bila terjadi proses evakuasi pendaki di Gunung Rinjani. Ia saja memerlukan waktu sekitar 8 jam untuk menuntaskan jalur Senaru-Plawangan Senaru-Segara Anak-Plawangan Sembalun-Puncak Rinjani. Selain itu, lokasi Segara Anak atau bibir danau, belum tentu aman bila terjadi gempa susulan. Ada potensi runtuhan batuan dari bibir kawah.

Saya mulai lari 9 malam, sampai puncak jam 5 subuh,” kata pria yang biasa disapa Agi ini kepada Tirto.

Dengan medan yang berat itu, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya proses evakuasi ratusan pendaki yang kondisinya berbeda-beda pasca-shock karena gempa bumi. Belum lagi ada potensi jalur evakuasi yang putus akibat terjadi longsoran. Sutopo sempat bilang bahwa jalur Senaru belum bisa dilalui pada Minggu.

Catatan penting dari proses evakuasi ini adalah memaksimalkan pemetaan titik lokasi para pendaki yang terjebak, memaksimalkan pasokan logistik terutama makanan dan medis, dan pengerahan helikopter yang diprioritaskan bagi pendaki yang terluka.

Baca juga artikel terkait GEMPA NTB atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Maulida Sri Handayani