Menuju konten utama
26 Juli 1986

Sukarno M. Noor, Aktor Legendaris yang Merayap dari Bawah

  Merangkak pelan.  
  Menempa seni peran  
  dari emperan.  

Sukarno M. Noor, Aktor Legendaris yang Merayap dari Bawah
Sukarno M. Noor (13 September 1931-26 Juli 1986). tirto.id/Sabit

tirto.id - Sukarno M. Noor mungkin aktor kawakan yang sudah jarang sekali ditemui dalam sosok pemain film kekinian. Ayah dari Rano Karno tersebut menjalani kariernya dengan merayap dari bawah.

Sukarno lahir di Jakarta, 13 September 1931. Dia adalah anak seorang wartawan perantauan dari Bonjol, Sumatra Barat, bernama Muhammad Noer. Menurut S.M. Ardan dalam Jejak Seorang Aktor Sukarno M. Noor Dalam Film Indonesia (2004), nama Sukarno diberikan ayahnya karena terinspirasi Bung Karno yang konsekuen terhadap perjuangan.

Tentu saja, saat dewasa, ayahnya ingin Sukarno M. Noor memiliki karakter seperti Bung Karno. Sayangnya, Muhammad Noer tak menyaksikan anaknya tumbuh dewasa. Di usia anaknya yang baru dua tahun, Muhammad Noer wafat. Sukarno lantas pulang kampung bersama ibu dan adiknya, Ismed M. Noer.

Menurut Ardan, saat duduk di bangku SMP dia diboyong pamannya ke Pematang Siantar. Di sini, dia mulai bersentuhan dengan dunia sandiwara. Selain itu, dia gemar menonton bioskop.

“Saya keranjingan nonton film dan benar-benar mempengaruhi kehidupan saya. Hampir tidak pernah sehari pun absen nonton,” katanya, seperti dikutip Ardan dari Variasi edisi 2-8 April 1976.

Kala Sukarno remaja, aktor Malaya (sekarang Malaysia), yakni P. Ramlee dan Roomai S. Noor, sangat populer di negeri kita. Sukarno lalu mengubah nama belakang "Noer" menjadi "Noor", mengikuti nama belakang Roomai.

Persentuhan dengan dunia sandiwara dan film membuat Sukarno tertarik menggeluti seni peran. Dia kemudian membujuk ibunya untuk kembali ke ibu kota, guna meraih mimpinya menjadi pemain film. Pada 1950, keluarga kecil ini merantau kembali ke Jakarta.

Moncer di Ibu Kota

Di Jakarta, Sukarno langsung gerilya. Dia mengirimkan lamaran ke sejumlah perusahaan film yang ada di ibu kota. Tapi, sayang sekali, banyak perusahaan film menolak lamarannya. Dia lantas bergaul dengan seniman Senen, yang biasa nongkrong tak jauh dari bioskop Grand. Banyak wawasan yang dia dapat dari seniman-seniman berbakat di Senen.

Majalah Varia edisi 9 Maret 1960 menulis, akhirnya pada 1953 Sukarno mendapatkan kesempatan bermain sebagai figuran dalam film Meratjun Sukma. Sukarno sangat yakin bakatnya di bidang akting, sampai-sampai meninggalkan pekerjaannya di Jawatan Pos, Telegram, dan Telepon (PTT) bagian telegram.

Ketika itu, gajinya sebagai figuran hanya Rp25 hingga Rp75. Meski demikian, pekerjaan sebagai figuran tetap dia lakoni selama satu setengah tahun (1953-1955). Film-film yang ia bintangi di awal kariernya antara lain Abu Nawas, Musafir Kelana, Djakarta bukan Hollywood, Djubah Hitam, Bawang Merah Tersiksa, Sri Asih, dan Rentjong dan Surat.

Ketika Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dibuka Usmar Ismail dan Asrul Sani pada 1955, Sukarno bergabung. Di sini kemampuan aktingnya kian terasah.

Peran yang agak penting baru dia dapatkan pada film Sampai Berdjumpa Pula, Tjorak Dunia, dan Daerah Hilang. Pada 1958, dia dikontrak Perfini, yang digawangi Usmar Ismail. Film pertamanya di Perfini adalah Sengketa. Sukarno muncul sebagai aktor utama yang diperhitungkan di dunia film saat bermain dalam Tjambuk Api, Anakku Sajang, Bunga Samurai, Sesudah Subuh, dan Bertamasja.

Saat namanya mulai disegani, pers menjuluki Sukarno “The bad boy on screen” dan “budak nakal”. Aktor watak ini disebut Varia edisi 2 Juli 1958 sebagai “aktor muda tapi punya harapan besar, yang di kalangan orang-orang studio dikenal sebagai aktor yang tahu disiplin, selalu datang pada saat yang ditentukan, dan tak pernah mangkir”.