Menuju konten utama

Suka Duka Menjadi Pendamping Atlet Difabel di Asian Para Games

Para relawan pendamping atlet di Asian Para Games 2018 bersuka ria. Mereka mendapat banyak pelajaran tentang kehidupan.

Suka Duka Menjadi Pendamping Atlet Difabel di Asian Para Games
Atlet Indonesia Ni Nengah Widiasih memasuki arena tanding dalam babak final Women's Up to 41 kg group A para powerlifting Asian Para Games 2018 di Balai Sudirman, Jakarta, Minggu (7/10). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Siang itu, Hilmi Kujiatna sangat sibuk. Sebagai relawan dari divisi National Paralympic Commitee Relation (NPC-R) ia diberi tanggung jawab mendampingi atlet pararenang dari Indonesia. Ini ia lakukan sepanjang persiapan Asian Para Games hingga selesai pada 16 Oktober nanti.

Yang dimaksud dengan "pendampingan" sangat luas. Bisa dari A sampai Z. Termasuk mengambilkan makan siang hingga mendampingi ke toilet.

"Pokoknya memenuhi kebutuhan mereka selama latihan dan tanding," kata Hilmi kepada reporter Tirto, Minggu (7/10/2018) kemarin.

Asian Para Games resmi dibuka pada Sabtu, 6 Oktober minggu lalu di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Selama satu minggu, para atlet difabel dari 42 negara Asia akan bertanding pada 18 cabang olahraga.

Tahun ini, Indonesia mendelegasikan 258 atlet difabel yang sudah menjalani pelatihan sejak Februari 2018 di Solo, Jawa Tengah.

Ini bukan kali pertama pertandingan olahraga difabel diselenggarakan dalam cakupan Asia. Guangzhou, Cina, jadi tuan rumah pertama Asian Para Games pada 2010. Berlanjut ke Incheon, Korea Selatan, pada 2014.

Sebelum jadi relawan yang mengurusi segala keperluan atlet, Hilmi harus melewati proses panjang, termasuk pelatihan yang memberikan ia gambaran umum tentang tanggung jawab apa saja yang bakal diselesaikan selama seminggu ke depan.

Hilmi juga dilatih bagaimana menjadi seorang pelatih (training of traner/ToT). Menteri Sosial Agus Gumiwang sempat menyebut ada 300 koordinator relawan yang jadi peserta ToT.

"Materi-materi yang diberikan saat ToT itu adalah yang berkaitan dengan pelayanan penyandang disabilitas, khususnya tamu yang akan hadir dari mancanegara," ujar Agus di KemenkoPMK, Jakarta, Kamis (7/10/2018).

Tidak hanya pelatihan, Hilmi menuturkan dirinya dan para relawan lain turut diberikan buku panduan berisi bahasa isyarat yang diharapkan berguna untuk berkomunikasi dengan penyandang tunarungu.

"Gue ngeri kalau atlet yang gue handle ada yang tunarungu dan kesulitan berkomunikasi, jadi gue bisa antisipasi [dengan buku ini]."

Bagi Hilmi, berada satu lokasi secara intensif dengan para atlet difabel merupakan hal yang menakjubkan sekaligus penuh haru, meski pada saat yang sama juga tidak menampik jika ada kesulitan-kesulitan.

"Ada beberapa atlet yang enggak bisa bahasa Inggris, jadi susah untuk dimengerti," ungkap Hilmi.

Hilmi tak jarang kelelahan setelah seharian melayani para atlet, dan itu wajar belaka. Namun rasa lelah terbayar dengan kesenangan yang lebih besar.

"Parah sih, gue capek tapi lebih banyak senangnya."

"Saya Bisa Sendiri"

Muhammad Fajar Nur Fikri juga jadi relawan. Namun ia tak bertugas di lokasi pertandingan seperti Hilmi, tapi di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat, tempat para atlet menginap. Ia khusus melayani atlet di tower enam yang berasal dari delapan negara.

Ia memutuskan jadi relawan karena cinta olahraga. Ia juga ingin jadi bagian dari pesta olahraga yang menurutnya luar biasa ini.

"Di sini ada banyak manusia hebat penyandang disabilitas yang sangat berprestasi, gue bangga jadi bagian dari sejarah Asian Para Games yang ketiga" kata Fikri kepada saya.

Ada banyak hal yang membuatnya kagum dengan para atlet. Menurutnya salah besar kalau ada orang yang menganggap seorang difabel tak bisa "berdikari". Buktinya, kata Fikri, ada banyak dari mereka yang menolak dibantu.

"Mereka tidak mau disamakan dengan orang bodoh, yang suka minta-minta, karena stigma semacam itu masih melekat di penyandang disabilitas yang ada di Indonesia. Justru sering kalau misalnya kita mau bantu mereka akan jawab 'no saya bisa sendiri.' Sering menjawab seperti itu," terang Fikri sambil mempraktikkan gaya bicara para atlet yang sering ia temui.

Hilmi maupun Fikri hanya dua dari banyak relawan luar biasa yang hadir di antara teman-teman difabel yang lebih luar biasa.

Bisa menjadi bagian dari pesta olahraga sebesar Asian Para Games di tanah air sendiri merupakan sebuah kebanggaan dan lahan pembelajaran untuk jadi lebih baik, begitu simpulan kedua relawan tersebut.

Karena alasan itu pula keduanya enggan menyebut berapa bayaran yang diterima. Bagi mereka pengalaman jauh lebih berharga ketimbang uang.

Baca juga artikel terkait ASIAN PARA GAMES 2018 atau tulisan lainnya dari Atik Soraya

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Atik Soraya
Penulis: Atik Soraya
Editor: Rio Apinino