Menuju konten utama

Suka Duka Mahasiswa di Jatinangor

Sudah jangan ke Jatinangor. Ia sudah ada yang punya. Lebih baik diam di sini. Temani Aa’ bernyanyi di sini.”— The Panas Dalam.

Suka Duka Mahasiswa di Jatinangor
Lanskap Universitas Padjajaran, Jatinangor. FOTO/unpad.ac.id

tirto.id - Farah Qoonita, 23 tahun, mahasiswi komunikasi Universitas Padjadjaran, sedang asyik menghabiskan Senin terakhir Mei lalu dengan menyunting video liputannya ke Turki selatan tempat para warga Palestina, Suriah, Irak, dan daerah konflik sekitarnya mengungsi.

Video itu menjadi konten proyeknya bernama The Untold Story, suatu kampanye digital kreatif mengedukasi anak muda tentang isu kemanusiaan di Palestina. Di Turki, Qoonita menghadiri forum aktivis Islam yang melibatkan perwakilan 34 negara dengan tema “Masjid Al-Aqsha dalam Bahaya”.

Sejak berstatus mahasiswi pada 2012, Qoonita memang punya beragam kesibukan selain belajar di kelas. Ia merintis perusahaan desain bersama tiga kawannya bernama Kanan Studio. Kegiatan ini selain menyalurkan kemampuannya di bidang desain, sudah pasti menambah uang saku. Tiap bulan ia menerima kiriman rutin Rp1 juta dari orangtuanya.

Ketika menjadi Ketua Keputrian Lembaga Dakwah Kampus Syamil Unpad, Qoonita menggagas Official Account (OA) Line Teh Jasmine, tempat remaja putri bertanya soal Islam. Dari sekadar ditujukan kepada anggota organisasi, Teh Jasmine berkembang populer dan menjaring sekitar 35 ribu pengikut. Berkat keaktifannya, Qoonita beberapa kali diundang sebagai pembicara di seminar ataupun profilnya dimuat media massa.

“Jatinangor tempat belajar banget, enggak cuma akademik, tapi banyak banget, tentang kehidupan dan lain-lain. Aku banyak banget belajar hal baru,” ujar Qoonita.

Mahasiswi asal Jakarta ini hanya satu dari ribuan karakter mahasiswa yang mendiami kawasan pendidikan Jatinangor.

Adik kelasnya di angkatan 2016, Esti, 19 tahun, yang minta namanya disamarkan, punya cara lain bagaimana merayakan masa muda di Jatinangor. Jika kebanyakan mahasiswa tinggal di pondokan, Esti memilih tinggal di apartemen yang dibeli ayahnya. Uang sakunya Rp500 ribu per minggu, dihabiskan buat membeli buku, menonton film ke bioskop, makan di kafe, minum kopi di kedai, dan pergi ke Bandung.

Sebagai mahasiswa baru, ia terdaftar di banyak unit kegiatan mahasiswa dan komunitas, dari pers mahasiswa, gelanggang seni, hingga komunitas buku dan film. Kata Esti, Jatinangor layak ditinggali karena kalau ia tinggal di Jakarta dengan beragam fasilitas yang ia dapatkan seperti sekarang, biaya hidupnya pasti meningkat berkali lipat.

Pada masa awal kuliah, pengeluaran Esti cukup boros mengingat banyak mendaftar kegiatan mahasiswa, membayar keperluan ospek, dan keperluan lain yang serba tak terduga. Ini pula yang dialami Dody Jesaya Sinaga, 18 tahun, mahasiswa matematika. Apalagi Dody tinggal indekos dengan biaya sewa Rp8 juta per tahun, yang menurutnya tak sesuai dengan apa yang semestinya ia terima.

Sebagai mahasiswa baru, Dody mendapat indekos itu dari rekomendasi calo saat pendaftaran kuliah. Akses yang jauh dari keramaian, sulitnya mencari tempat makan, dan suhu kamar yang panas membuatnya ingin pindah.

Dody yang aktif di himpunan studi berkata "jengkel" terhadap apa yang disebutnya “oknum-oknum yang memanfaatkan mahasiswa sebagai ladang mencari keuntungan berlebihan. "Misalnya, mahasiswa baru kerap ditawari jasa internet dan penatu yang harganya lebih mahal."

Apalagi saat ospek ketika banyak pedagang yang menjual keperluan dengan harga berkali-kali lipat. Ditambah ada orang asing yang mendadak mengetuk pintu kamar indekos, menawarkan beragam produk yang tidak dibutuhkan hanya untuk menimbulkan rasa curiga. Untuk yang satu ini, mahasiswa baru mengenal kelakuan penjual obat abate yang seenaknya menawarkan harga puluhan ribu.

Pengalaman, curahan hati, dan beragam kisah khas seperti ini menyesap pada mayoritas mahasiswa di Jatinangor.

Sejarah “Kawasan Pendidikan” Jatinangor

Jatinangor semula kawasan perkebunan teh dan karet, yang dirintis pada era Tanam Paksa pada 1830-an. Sejak Universitas Padjadjaran membangun kampus di Jatinangor pada 1979, kawasan di kaki Gunung Manglayang ini berubah wajah sebagai pusat pendidikan, sebagaimana dikenal sekarang.

Rektor Unpad kala itu, Hindersah Wiraatmadja, ingin menyatukan 13 lokasi kampus Unpad di Kota Bandung dengan inspirasi mencangkok “Kota Akademik Tsukuba” di Jepang. Ia lantas menggagas konsep “Kota Akademik Manglayang”. Unpad sendiri berdiri pada 11 September 1957.

Langkah itu lantas diikuti IKOPIN pada 1984, IPDN (dulu STPDN) pada 1989, dan ITB Jatinangor pada 2010.

Pada 2000, Jatinangor ditetapkan sebagai kecamatan, meninggalkan nama lamanya sebagai Kecamatan Cikeruh. Orang banyak keliru bahwa Jatinangor terletak di Bandung, padahal berada di Sumedang. Sebagaimana Universitas Gadjah Mada yang identik dengan Yogyakarta, meski kampus itu menempati wilayah administratif Kabupaten Sleman.

Selama enam tahun terakhir, Unpad memuncaki jumlah peminat mahasiswa baru dalam seleksi nasional perguruan tinggi negeri. Tahun ini saja ada 39.388 peminat yang memilih Unpad dalam SNMPTN. Tahun lalu, dari 58.937 pendaftar, hanya 3.064 mahasiswa yang lolos seleksi.

Dalam dua tahun terakhir, studi kedokteran Unpad menjadi prodi yang paling banyak diminati mahasiswa baru, mengalahkan prodi komunikasi yang sebelumnya selalu jadi favorit. Ini terutama sejak sebagian biaya kuliah kedokteran di Unpad digratiskan pada 2016. Ada 51 prodi di Unpad, kebanyakan berakreditasi A.

Menurut Arry Bainus dari pihak rektorat Unpad, calon peserta didik memilih Unpad lantaran “mutu dan kompetensi pendidikan yang seimbang.” Jaminan akreditasi A di beragam prodi tentu jadi pertimbangan para mahasiswa yang kelak memudahkan mereka memasuki dunia kerja.

Meski saingannnya ketat, tetapi kata Arry, “Kita tetap yang tertinggi karena dianggap (pendidikan kita) sudah baik oleh masyarakat.”

Sedangkan kehadiran ITB di Jatinangor bermula karena kampus utama mereka di Ganesha, Bandung, sudah terlalu padat.

“Sudah tidak ada space untuk gedung yang baru,” ujar Taufikurrahman dari pihak rektorat ITB. “Kalau kita bikin gedung yang baru, gedung yang lama harus dirobohkan.”

Studi-studi baru di ITB ditempatkan di Jatinangor. Dari prodi soal teknik hayati hingga teknik sipil, dari teknologi industri hingga arsitektur, dari studi elektro hingga sekolah bisnis. Mereka menempati bekas kompleks Universitas Winaya Mukti, yang terpaksa ditutup lantaran krisis finansial dan penyusutan jumlah mahasiswa.

Bagi mahasiswa yang memilih prodi di ITB Jatinangor, selama setahun pertama, harus belajar lebih dulu di kampus ITB Ganesha. Pihak ITB sendiri kerap menggelar kegiatan penting di Jatinangor seperti seminar akademik dan pendaftaran mahasiswa baru untuk mengenalkan kampus ini.

Adeline Suryadi, 20 tahun, mahasiswa teknik pangan, mengatakan bahwa “lingkungan akademik ITB Jatinangor yang sepi membuatnya bisa konsentrasi belajar, sekalipun terkadang ia agak capek harus bolak-balik ke Ganesha karena ikut kegiatan marching band.

Ada beberapa prodi di ITB Jatinangor yang sesekali praktikum di Ganesha. Dan hampir semua mahasiswa ITB Jatinangor menghuni asrama. Kampus menyediakan satu bus khusus gratis, rutin tiga kali sehari, yang mengangkut penumpang dari asrama ke ITB Ganesha.

“Pokoknya enggak kayak Unpad gitu ada wara-wirinya,” ujar Adeline. “Kalau kita di sini jalan kaki, kalau di Unpad, kan, ada odong-odong (angkutan dalam kampus).”

Hunian Mahasiswa

Daerah Cikuda, Cisaladah, Ciseke, dan Hegarmanah kerap jadi pilihan mahasiswa Unpad yang pergi ke kampus dengan berjalan kaki. Biasanya, mahasiswa baru yang seketika mencari indekos saat melakukan pendaftaran, ditujukan jasa calo atau warga setempat untuk tinggal di Cikuda dan Cisaladah.

Akses ke kampus dari dua daerah itu sangat dekat, tapi cukup sepi saat malam hari dan sulit mencari keramaian bila ditempuh dengan jalan kaki, persis seperti yang dialami Dody Jesaya Sinaga.

Sementara pusat keramaian ada di Ciseke dan Hegarmanah. Ciseke bahkan kerap diselorohkan mahasiswa sebagai “ibu kota” Jatinangor. Jalan di daerah ini sempit dan sedikit indekos yang menyediakan lahan parkir yang luas.

Kisaran harga indekos di Jatinangor antara Rp4,5 - 12 juta per tahun. Indekos perempuan biasanya lebih mahal. Fasilitas umum indekos ada kasur, lemari, meja belajar, dan kamar mandi (di dalam maupun di luar kamar).

Sementara daerah seperti Sayang, Sukawening, Caringin, GKPN, Cibeusi, dan Kampung Geulis biasanya dipadati mahasiswa IKOPIN dan IPDN. Lokasi-lokasi ini memiliki jalan lebar, bisa dilewati dua kendaraan, dan indekosnya rata-rata punya lahan parkir mobil. Mereka menawarkan banyak pilihan indekos per bulan, begitupun rumah kontrakan.

Di sisi lain, mahasiswa kerap mengalami kriminalitas kecil-kecilan macam jambret, pencurian kendaraan bermotor, praktik hipnotis, penipuan belanja daring, dan pencurian di indekos.

Farah Qoonita, misalnya, pernah kehilangan sepeda motor saat diparkir di area indekosnya. Rizki Maulana, adik kelasnya, kehilangan motor di kampus saat malam hari.

Pencurian sepeda motor tampaknya jadi insiden yang lazim. Aen Rumaen dari Polsek Jatinangor mengatakan curanmor di Jatinangor “cukup menonjol.”

Pada Mei lalu, insiden jambret menimpa seorang perempuan, sebelum penjambret dikeroyok warga di Jalan Caringin.

Esti pernah dipepet pada tengah malam oleh seorang bapak yang mengendarai motor. Si bapak ingin membawanya ke Hegarmanah saat Esti berjalan di Cibeusi. Esti berhasil melepaskan diri saat memasuki daerah kampus Unpad dan meminta tolong orang-orang sekitar.

Aries Buana, mahasiswa dari prodi Humas yang baru lulus November tahun lalu, pernah dihipnotis sesudah mengambil uang Rp1 juta di ATM Centre Unpad. Pundaknya ditepuk seseorang yang meminta bantuan menukarkan uang pecahan Rp50.000. Aries tak sadar diri sampai ke kamar indekos. Ia menerima ancaman dari pelaku lewat pesan singkat bila berani mengadu. Aries hanya pasrah saat mengisahkan peristiwa itu kepada ibu pemilik indekos dan melaporkannya ke polisi.

Aen Rumaen mengatakan bahwa Polsek Jatinangor telah membuat imbauan di lingkungan indekos untuk mencegah aksi kriminal kecil-kecilan itu. Termasuk meminta pengurus desa mengimbau tamu untuk wajib lapor. Polsek, kata Aen, rutin melakukan patroli.

Baca laporan khusus Tirto mengenai sejumlah kampus dan studi di sejumlah kota:

Perubahan Ruang Sosial

Ada empat apartemen dan beberapa kompleks perumahan elite. Harga sewa apartemen antara Rp14 juta - 72 juta per tahun. Rata-rata apartemen menyediakan kamar tidur berukuran 24 meter persegi, berisi kasur, lemari, meja belajar, pendingin ruangan, dapur, keran air panas, layanan penatu, internet, sarana kebugaran, kolam renang, balkon, tempat parkir, dan sebagainya.

Esti, yang tinggal di apartemen, mengaku “enggak begitu nyaman” mengingat ia merasa ada yang kurang dari aspek kekeluargaan yang terbangun di lingkungan apartemen. “Makanya,” ujar Esti, “aku nyari pelariannya ke UKM. Kalau di apartemen, kesan dan pesan aku enggak ada sama sekali di mana aku cuma datang buat tidur.”

Selain apartemen, ada satu mal bernama Jatinangor Town Square atau biasa dikenal dengan sebutan Jatos. Sebagaimana gambaran mal di di Indonesia, ada restoran cepat saji, tempat bermain, bioskop, dan sebagainya.

Berdampingan dengan Jatos, ada perpustakaan Batoe Api. Ini ruang kreatif bagi para mahasiswa yang menggandrungi buku, musik, dan film. Pemiliknya bernama Anton Solihin, yang ikut Frankfurt Book Fair 2015 saat Indonesia menjadi tamu kehormatan. Setiap pekan, Batoe Api mengadakan nonton bareng film-film bermutu bagus, selain sesekali jadi lokasi pentas musik, dan mengadakan bedah buku.

Keperluan sehari-hari mahasiswa bisa dipenuhi dari toko-toko kelontong punya warga selain ada 20 minimarket yang saling berdekatan dan satu di antaranya buka 24 jam di Jatinangor. Ada beragam restoran, barbershop, toko cuci sepatu, dan kedai kopi yang menjamur di sepanjang jalan raya Jatinangor. Kehidupan di Jatinangor tidak sepenuhnya tidur.

Ruang-ruang anak muda ini membentuk komunitas-komunitas kreatif, termasuk melahirkan grup-grup band indie macam Bottlesmoker, Tigapagi, Rocket Rockers, Deugalih & Folks, Sungsang Lebam Telak, dan Saturday Night Karaoke. Setiap tahun selalu muncul band baru, yang mengusung ragam dan jenis musik, serta memiliki penggemar dan pendengar setia hingga mereka lulus kuliah.

Selalu ada pentas-pentas musik, misalnya di Arboretum, Pangkalan Damri, Perpustakaan Batoe Api, halaman apartemen, Blue Stage FIB, Pusat Studi Bahasa Jepang, Amphiteater Pascasarjana Fikom, atau lahan parkir kampus.

Perusahan-perusahaan rokok bisanya menyasar target anak-anak muda ini, dengan menggelar acara-acara panggung musik, menghadirkan musisi terkenal, dan melibatkan band-band indie Jatinangor sebagai penampil pembuka.

Para selebritas pun kerap muncul dari kehidupan mahasiswa di Jatinangor. Sebut saja Soleh Solihun dan Ernest Prakasa (komika), Ronald Surapradja & Fitri Tropica, Yura Yunita (penyanyi), Salman Aristo (sutradara), dan Debby Permata (model video klip).

“Urusan di Jatinangor jangan kuliah doang,” kata Surya Fikri, pemuda asal Sumedang, yang membentuk banda indie. “Jadi mahasiswa harus usil melakukan banyak hal.”

Infografik HL Yang Penting Diperhatikan Saat Tinggal DI Jatinang

Problem Ketimpangan

Tetapi setiap pusat-pusat keramaian dan kemegahan yang tampak di depan mata, sayangnya, menyimpan sesuatu yang tersembunyi, yang sedikit-banyak menjelaskan ketimpangan.

Mari lihat SDN Cikeruh I; lokasinya tepat di belakang mal dan apartemen pertama di Jatinangor. Sekolah ini kekurangan tenaga pengajar.

Situasi itu mendorong sekelompok mahasiswa, yang tergabung dalam Jatinangor Education Care, berinisiatif memberikan pelajaran seperti kesenian dan bahasa Inggris.

Deni Febriana, seorang guru di sekolah tersebut, mengatakan prakarsa para mahasiswa ini “sangat membantu” bagi anak didiknya. “Anak-anak senang, mungkin karena berbeda cara mengajarnya. Lebih akrab,” ujarnya.

Hal sama terjadi di SDN Kananga 1 dan SDN Sinarjati. Mereka kekurangan tenaga pengajar untuk kegiatan ekstrakurikuler seperti kesenian dan pramuka. Meski tidak menuntaskan masalah tersebut, para mahasiswa beberapa kali membantu.

Betapapun disebut “kawasan pendidikan”, sekolah-sekolah setempat masih kekurangan guru, dan gaji guru honorer Rp400 ribu per bulan. Upah minimum Kabupaten Sumedang sendiri pada tahun ini sebesar Rp2,5 juta per bulan.

Seorang kepala sekolah dari sebuah SD yang kekurangan guru berkata, “Di Sumedang, paling-paling anggaran buat pendidikan kurang dari 9 persen, yang semestinya 20 persen mengikuti undang-undang dasar.”

Problem lain dari kawasan Jatinangor adalah banjir. Kantong-kantong hunian yang padat, tanpa ada sistem drainase yang rapi, rutin terendam banjir saat musim hujan di jalan utama dan beberapa kawasan seperti Ciseke.

Ismet Suparman, yang pernah jadi anggota legislatif daerah Sumedang, berpendapat bahwa problem sosial dan lingkungan di Jatingangor bisa diatasi bila kecamatan ini diperlakuan khusus. Usulannya, status Jatinangor dibuat sebagai kawasan perkotaan mandiri.

“Kalau ada badan pengelolaan kawasan perkotaan, tidak mengganggu kewenangan camat, tapi bisa berkoordinasi dengan perguruan tinggi dan pabrik yang ada di sini,” ujarnya.

Beragam problem ini, bagaimanapun, harus segera diatasi oleh pemerintah kabupaten Sumedang. Ia tak cuma menyediakan lingkungan kondusif bagi pendidikan, melainkan juga perlu mengikis ketimpangan masyarakat setempat.

Nyatanya, meski ada persoalan-persoalan khas yang terjadi di lingkungan permukiman dekat kampus, para mahasiswa setiap tahun datang dan pergi dari dan ke Jatinangor. Kawasan ini tetap jadi favorit utama tujuan mahasiswa di Indonesia.

Farah Qoonita mengatakan, sejak lima tahun terakhir menghuni Jatinangor, ia belajar banyak hal yang tak cuma dari ruang kuliah. Apa yang dialami Qoonita juga diikuti oleh puluhan ribu mahasiswa yang akan, sedang, dan pernah tinggal di Jatinangor, termasuk saya.

Baca juga artikel terkait MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Rahman Fauzi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Rahman Fauzi
Penulis: Rahman Fauzi
Editor: Fahri Salam