Menuju konten utama

Sudah Seharusnya Rumah Mode Berani Eksplorasi Film

Awalnya film fesyen hanya jadi materi promosi pelengkap dari rumah mode. Tapi selama masa pandemi, produk film fesyen jadi bahan promosi utama.

Sudah Seharusnya Rumah Mode Berani Eksplorasi Film
Model membawakan busana rancangan Geraldus Sugeng saat peragaan busana virtual "The Virtual Beauty and Fashion 2020" dengan tema "Alliance" di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (19/6/2020). ANTARA FOTO/Moch Asim/wsj.

tirto.id - Pada 1945 ada pameran tersohor yang diadakan di Louvre, Paris, yaitu Théâtre de la Mode. Pameran yang diselenggarakan Chambre Syndicale de la Couture Parisienne (Asosiasi Desainer Fesyen Paris) itu menampilkan 237 manekin berukuran 69 cm yang mengenakan busana dari sejumlah couturier diantaranya Christian Dior, Jeanne Lanvin, Pierre Balmain, Cristobal Balenciaga, dan Schiaparelli.

Acara itu bertujuan menggalang dana bagi korban perang yang masih berada dalam kesulitan. Namun, tujuan yang lebih penting adalah menegaskan kembali bahwa Paris akan selalu jadi pusat mode dunia.

Ketika masa Perang dunia II berlangsung, Hitler menginginkan agar kota mode dipindah ke Berlin. Rencananya di Berlin akan dibangun berbagai sekolah mode dengan coutourier dari Paris sebagai pengajar. Rencana tersebut ditolak mentah-mentah oleh para desainer Paris dan juga anggota asosiasi mode di kota itu. Pada akhirnya keinginan Hitler gagal terlaksana lantaran para couturier di Paris melakukan berbagai upaya menggagalkan rencana pemindahan pusat mode.

Pada 2020, konsep pameran Théâtre de la Mode menginspirasi direktur kreatif Dior, Maria Grazia Chiuri dalam mempresentasikan koleksi haute couture musim dingin 2021. Koleksi tersebut diumumkan ke publik pada 6 Juli lalu. Bila biasanya presentasi koleksi dilakukan lewat peragaan busana, kali ini Chiuri memilih memperkenalkan busana-busana lewat film pendek yang digarap oleh sineas favoritnya Matteo Garrone.

Awalnya Chiuri sendiri tidak yakin dengan konsep ini. Ia tidak bisa membayangkan mengisahkan soal benda mati lewat film. Pada hari di mana film ditayangkan, lini masa Instagram diisi komentar-komentar positif dari orang-orang awam yang menyaksikan tayangan itu. Mereka cukup tertarik dengan ide cerita yang menampilkan peri-peri hutan di negeri dongeng yang terpana melihat gaun pesta.

Sebagian menganggap peri-peri penghuni hutan sebagai sosok yang ada di mitologi Yunani. Terlebih ketika sebagian dari mereka sudah mengenakan busana rancangan Chiuri.

Namun, pekerja di rumah mode Dior yang menjahit busana-busana itu menyatakan bahwa yang menjadi inspirasi utama dari koleksi ini tetaplah flora. “Hutan imajiner”dan bunga-bunga.

Membuat busana dengan ukuran mini bukan berarti meremehkan mutu produk. Orang-orang yang bertugas menjahit busana tetap memperhatikan detail. Mereka ingin produknya mendapat opini yang sama seperti busana-busana di Theatre de la Mode yang menurut ahli sejarah Lorraine McConaghy "mampu memperlihatkan detail dengan sempurna", baik itu pada kancing maupun jahitan resleting.

Seandainya pandemi tidak terjadi, pekan pertama Juli akan diisi jadwal reguler pekan mode haute couture di Paris yang menampilkan koleksi musim dingin. Namun, kini jadwal berubah akibat pandemi. Sebagian rumah mode memutuskan tidak melansir koleksi, misalnya Yves Saint Laurent. Sementara sebagian lain yang memutuskan tetap memamerkan koleksi busana, mengemasnya lewat video klip--layaknya Chanel--atau mempertontonkan busana via live streaming di platform media sosial seperti TikTok--seperti yang dilakukan rumah mode Balmain.

Dalam wawancara dengan Business of Fashion, CEO Dior Pietro Beccari menyatakan bahwa Dior perlu melakukan investasi pemasaran lewat produk dan aktivitas yang mudah diterima publik agar bisa meningkatkan penjualan dengan cepat ketimbang pesaing-pesaingnya.

Busana haute couture bukan sumber utama keuntungan finansial dari rumah mode besar. Namun, koleksi tetap dipertahankan karena citra, sebab itu bisa menunjukkan keterampilan penjahit, atau membuktikan konsistensi sebuah rumah mode mempertahankan nilai-nilai yang dibangun pendiri.

“Tujuan utamanya adalah memproyeksikan citra,” tutur Beccari kepada BoF.

Di samping itu, Beccari percaya bahwa selalu ada orang-orang super kaya yang akan membeli baju-baju haute couture karena mereka sudah punya bayangan soal hal yang hendak dilakukan setelah pandemi seperti pergi berpesta dan sebagainya.

“Film akan diikuti oleh rangkaian inisiatif lain seperti pameran di Shanghai, peragaan busana secara live streaming, dan pembukaan toko baru,” catat BoF. Beccari optimis Dior punya potensi menyusul rival terberatnya, Chanel.

Kemunculan Film Fesyen

Sebetulnya tidak ada kebaruan tulen baik dari film maupun koleksi Dior terbaru. Chiuri mencoba mempertahankan craftsmanship Dior seraya menyoroti pekerjaan orang-orang yang bertugas menjahit dan membuat pola busana. Tema besar yang diusung pun cenderung aman yakni soal fantasi.

Ini bukan pertama kalinya Dior membuat film pendek untuk kepentingan promosi produk. Pada 2010, Dior meluncurkan film pendek yang menarik. Disutradarai David Lynch dan dibintangi selebritas sekaligus muse Dior saat itu, Marion Cotillard, film itu berjudul Lady Blue Shanghai.

Bukan hanya Dior yang pernah membuat film pendek. Label busana lain percaya bahwa film adalah medium tepat dalam memproyeksikan citra brand sekaligus mampu menarik massa yang lebih luas. Metode promosi lewat film ini telah dimulai pada tahun 2000 ketika desainer Hussein Chalayan membuat film pendek Afterwords.

Seiring waktu, produksi film fesyen mulai diikuti rumah mode yang lebih besar seperti Gareth Pugh, Prada, Kenzo, Jil Sander, Proenza Schouler, dan Chanel.

Studi “Fashion films as a new communication format to build fashion brands” (2016) karya Paloma Diaz Soloanga dan Leticia Guerrero menyatakan bahwa film fesyen diminati karena menyediakan ruang yang cukup efektif untuk bereksperimen dengan pemasaran.

Selain itu, medium film mampu membuat calon konsumen merasa lebih dekat dengan brand lantaran ditayangkan pada wahana yang memungkinkan interaksi interaktif antara konsumen dengan rumah mode. Ketertarikan publik terhadap sebuah brand terbukti bisa meningkat apabila produk dikomunikasikan lewat narasi dalam film.

Infografik Film Fesyen

Infografik Film Fesyen. tirto.id/Fuadi

Dalam studi yang sama, Soloanga dan Guerrero mengungkapkan bahwa film adalah cara tepat dalam mewakili identitas atau konsep dari brand maupun karakter atau gaya hidup yang ingin dijalani oleh konsumen.

Mereka sepakat bahwa hari ini kemewahan tidak hanya diwakili oleh mutu barang tetapi juga kemasan dan tinjauannya. Tak heran jika label-label besar seperti Chanel, Dior, dan Louis Vuitton berkolaborasi dengan sutradara-sutradara ternama agar produk mereka menjadi perbincangan di media sosial dan meraih sebanyak-banyaknya penonton.

“Beberapa jenama mewah seperti Dior, Chanel, Hermes, Loewe, atau Louis Vuitton biasanya menonjolkan keindahan, elegansi, kharisma, harmoni, kebahagiaan, kebaikan, dan kemewahan dalam film. Baik itu dengan menggunakan karakter dalam cerita maupun dengan mendeskripsikan proses pembuatan produk. Tujuan utamanya adalah mempertontonkan estetika dan citra otentik,” tulis Soloanga dan Guerrero.

Ada kalanya untuk mempertahankan estetika dan citra otentik dari rumah mode, film dibuat oleh direktur kreatif brand misalnya seperti yang dilakukan Karl Lagerfeld, mantan direktur kreatif Chanel dalam film-film fesyennya. Seluruh film nyaris punya kesan yang sama: kental dengan kehidupan aristokrat. Bintangnya? Mulai dari Keira Knightley hingga Kristen Stewart, Cara Delevigne sampai Pharell.

Meski demikian, tak semua rumah mode sepakat dengan rumus di atas. Seiring waktu terdapat pembaruan-pembaruan di mana film fesyen tidak hanya menonjolkan keindahan. Menurut Soloanga dan Guerrero, beberapa film fesyen menonjolkan disharmoni, keanehan, kegelapan, keburukan, fetisisme, sinisme, serta "ekspresi seni posmodern lainnya". Contohnya adalah A Therapy, karya kolaborasi Prada dan Roman Polanski, dan Act da Fool karya Proenza Schouler.

“Sekarang kecenderungan film fesyen adalah penekanan pada aspek teknik dan konsep kreatif ketimbang alur cerita naratif. Hal itu disebabkan karena rumah mode yang kini tersohor tergolong rumah mode baru yang akarnya tidak sekuat jenama besar lama (seperti Dior, Chanel, Louis Vuitton),” tulis Soloanga dan Guerrero.

Sayangnya Dior dengan segala anggaran yang dimiliki masih belum berani melakukan pembaruan dalam produksi film fesyen terbarunya. Mereka masih menganggap kemewahan hanya bisa diterjemahkan oleh hal yang kelihatan manis seperti cerita di negeri dongeng.

Para petinggi Dior belum seberani Miuccia Prada, direktur rumah mode Prada (didirikan pada 1913 di Milan) yang pada musim musim semi lalu menggandeng fotografer/seniman Juergen Teller dalam mengemas koleksi.

Baca juga artikel terkait FESYEN atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Film
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf