Menuju konten utama

Suciwati Munir: Janji Penyelesaian HAM Jokowi-Ma'ruf Bohong Besar

Jokowi dalam termin pertama kepemimpinannya dianggap tak selesaikan satu pun kasus pelanggaran HAM berat.

Suciwati Munir: Janji Penyelesaian HAM Jokowi-Ma'ruf Bohong Besar
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan saat pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) pertama Persatuan Umat Budha Indonesia (Permabudhi) Tahun 2018 di Istana Negara, Jakarta, Selasa (18/9/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Dalam visi dan misinya untuk bertarung dalam Pilpres 2019, Jokowi-Ma’ruf memasang ulang janji penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Hal itu tertuang dalam poin 6.4 terkait penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

Kemudian, dalam poin yang sama tertulis, meningkatkan kinerja dan kerja sama efektif dan produktif berbagai institusi, dalam rangka perlindungan dan penegakan HAM.

Dalam Pilres 2014 yang lalu, Jokowi-Jusuf Kalla juga menyertakan janji untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Bahkan tertulis rincian kasus tersebut dalam visi dan misinya yakni: kerusuhan Mei, Trisakti Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talangsari Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi l965.

Namun, tak satu pun janji dalam visi misi 2014 Jokowi-JK itu berhasil dituntaskan. Mantan Komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila menilai berbagai janji itu tak mampu ditebus karena faktor orang-orang di belakang Jokowi.

“Mungkin karena ada kekuatan politik di belakangnya yang sangat kuat," ungkapnya pada reporter Tirto, Jumat (28/9/2018).

Padahal, menurut Siti, presiden bisa fokus pada pelanggaran HAM berat di masa lalu, sebab hanya kasus itu yang bisa dia intervensi untuk segera dituntaskan.

“Untuk kasus pelanggaran HAM biasa, Presiden tak bisa intervensi karena kasus itu masuk ke dalam tindak pidana umum. Makanya mungkin enggak masuk visi-misi dia," katanya.

Dagang Isu HAM Untuk Mendulang Elektabilitas

Istri almarhum Munir Said Thalib, Suciwati, menilai janji penyelesaian kasus HAM yang diutarakan oleh Jokowi-Ma’ruf hanya kebohongan besar. Dia bosan isu tersebut seakan selalu dijadikan dagangan politik.

"Apa HAM? Itu hanya bohong besar. Ini untuk berkuasa. Bukan untuk memperjuangkan nilai-nilai HAM itu sendiri,” tegas Suciwati saat dihubungi reporter Tirto.

“Saya selalu bilang, kayanya enggak punya bahan lain untuk jualan, HAM terus tapi tak ada aksi konkret," imbuhnya.

Jokowi awalnya memang tampak serius. Visi dan misinya dalam Pilpres 2014 disarikan ke agenda keempat Nawacita. Janji menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan tersebut menjadi salah satu dari 42 prioritas utama pemerintahannya. Ia pun dirumuskan dalam salah satu arah kebijakan strategis di bidang hukum Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

infografik janji kosong jokowi soal HAM

Kasus-kasus yang tak kunjung usai lantas mewariskan beban sosial dan politik di setiap pemerintahan di Indonesia. Suciwati menilai Jokowi dengan program Nawacitanya tak berjalan sesuai janji.

"Dia sudah mengkhianati kita semua. Kasus Munir, sebetulnya mudah, tapi dibuat susah. Administratif saja enggak bisa kelola. Contoh: hilangnya dokumen TPF. Hal remeh saja enggak bisa lakukan," keluhnya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengaku pesimis dengan janji penyelesaian HAM masa lalu oleh Jokowi. Menurutnya, Jokowi telah terbukti gagal memperjuangkan penuntasan kasus-kasus tersebut.

"Kami melihat tindakan orang berdasarkan kecenderungan dan kesempatan 5 tahun lalu sudah membuktikan kegagalan ini,” tegas Asfin.

Asfin lantas menyindir beberapa orang yang direkrut Jokowi untuk duduk di kursi pemerintahan. Padahal, mereka memiliki beban tudingan sebagai pelaku pelanggaran HAM berat. Beberapa di antaranya ialah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, dan Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono.

“Apabila mereka yang terindikasi terlibat pelanggaran HAM atau sudah terbukti menentang penuntasan pelanggaran HAM dan pemulihan korban, [tetapi] tetap menempati posisi-posisi strategis, maka tampaknya hasil akan sama," kata Asfin.

Asfin menilai pemerintahan Jokowi selama empat tahun terakhir hanya mementingkan stabilitas posisi politik daripada penuntasan dan pemulihan hak korban.

"Dagangan politik pun cukup memalukan, karena yang tertera di Nawacita tidak terpenuhi. Salah satu prasyarat yang diberikan oleh para ahli internasional adalah penyingkiran mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu dari politik," katanya.

Berdasarkan data Komnas HAM, sejauh ini setidaknya ada 7 kasus pelanggaran HAM masa lalu yang mengendap di Kejaksaan Agung. Yakni Talangsari (7 September 1989), Kerusuhan Sosial (Mei 1998), Penculikan Aktivis (Mei 1998), Trisakti (Mei 1998), Semanggi (13 November 1998), Semanggi II (24 September 1999) dan Kasus Abepura Papua (7 Desember 2000).

Juru Bicara Tim Sukses Prabowo-Sandiaga, Habiburokhman, turut mengkritik mandeknya pentuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut. "Enggak ada. Enggak ada yang diselesaikan oleh Jokowi," kata politikus Gerindra tersebut.

Habiburakhman mengatakan bahwa isu pelanggaran HAM berat masa lalu yang masuk ke dalam visi misi Jokowi tak akan berpengaruh pada masyarakat. Masyarakat, menurutnya, sekarang lebih fokus pada sektor ekonomi.

"Saya pikir masyarakat sudah cerdas. Soal HAM itu harusnya soal aksi, bukan hanya wacana tataran Presiden saja," tuturnya.

Wakil Ketua Tim Kemenangan Nasional Jokowi-Ma’ruf, Johnny G. Plate, mengatakan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu tak mudah. Dia justru berharap penuntasan kasus-kasus tersebut tak melalui jalur pengadilan.

"Pak Jokowi tentu mengutamakan penyelesaian HAM. Yang pertama pasti itu tidak boleh bertentangan dengan hukum, tidak berarti harus selalu melalui hukum. Penyelesaian HAM itu harus dalam rangka rekonsiliasi nasional," kata Plate saat ditemui reporter Tirto.

Politikus Partai Nasdem itu menolak anggapan bahwa janji politik Jokowi-Ma’ruf soal penyelesaian pelanggaran HAM berat adalah pendulang elektabilitas. Dia sepakat isu HAM harus dituntaskan, bukan untuk dijual di ranah politik.

“Kalau masalah elektabilitas, persoalan HAM tidak untuk dipolitisasi. HAM adalah rekonsiliasi. Jangan HAM untuk elektabilitas," katanya.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMBUNUHAN MUNIR atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana