Menuju konten utama

Subsidi Upah Dicabut Kala Daya Beli Masih Surut

Subsidi upah dihapus ketika daya beli masih rendah. Pengamat menilai bansos ini memang kurang tepat sasaran.

Subsidi Upah Dicabut Kala Daya Beli Masih Surut
Pekerja pabrik sepatu PT Changsin Reksa Jaya berjalan keluar pabrik di Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (31/8/2020). ANTARA FOTO/Candra Yanuarsyah/agr/hp.

tirto.id - Pemerintah menghentikan penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) subsidi upah atau bantuan subsidi upah (BSU) kepada pekerja bergaji di bawah Rp5 juta pada tahun ini. Informasi ini disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.

Di APBN 2021, pemerintah hanya memasukkan tujuh program perlindungan sosial, yakni program keluarga harapan (PKH) bagi 10 juta keluarga, sembako, Kartu Prakerja, Dana Desa, bansos tunai bagi 10 juta keluarga, subsidi kuota pembelajaran jarak jauh (PJJ), dan diskon listrik. Jumlah dana yang dialokasikan untuk program ini mencapai Rp150,96 triliun.

“Di APBN 2021 [subsidi upah] belum atau tidak dialokasikan. Nanti kami lihat bagaimana kondisi ekonomi berikutnya,” katanya dalam rekaman yang dibagikan Humas Kementerian Ketenagakerjaan, Sabtu (30/1/2021).

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai langkah pemerintah untuk mencabut subsidi upah tidak tepat. Situasi ekonomi yang saat ini belum pulih, ditambah banyaknya komoditas yang naik tak terkendali, membuat masyarakat semakin tertekan.

“Kalau dihentikan dampaknya ke daya beli dan juga konsumsi rumah tangga para buruh. Itu yang memprihatinkan. Tabungan mereka juga habis dipakai konsumsi, ditambah saya melihat pemerintah ini gagal mengontrol kenaikan harga pangan selama masa pandemi,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (3/2/2021).

Baiknya subsidi gaji tetap ada meskipun nilainya tidak besar, katanya. Selain akan meringankan beban pekerja untuk menutup kebutuhan konsumsi, subsidi gaji juga akan meredam potensi letupan konflik sosial. “Dulu kan bansos itu Rp600 ribu sekarang jadi Rp300 ribu. Kan bisa itu. Yang penting ada,” katanya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi inti, yang merupakan tolok ukur daya beli dan permintaan, melemah. Inflasi inti Januari 2021 mencapai 1,56 persen secara yoy. Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan nilainya lebih rendah dari inflasi inti Desember 2020 yang sudah terpuruk di angka 1,6 persen yoy. Posisi inflasi inti Januari 2021 juga lebih rendah dari inflasi inti Januari 2020 yang mencapai 2,88 persen.

Situasi ini perlu diwaspadai karena pelemahan daya beli dan permintaan dikhawatirkan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pasalnya, lebih dari 50 persen komponennya disumbang konsumsi rumah tangga, katanya. “Kita harus bekerja sama memulihkan ekonomi RI,” ucap Suhariyanto, Senin (1/2/2021)

Di luar inflasi inti, komponen harga masih mencatatkan inflasi cukup tinggi dengan nilai 1,15 persen dan memberikan andil 0,19 persen month to month (mtom). Penyebabnya berkaitan dengan kenaikan harga bahan pokok yang sebagian besar terkendala cuaca seperti cabai merah dan ikan. Sementara gangguan pasokan bahan baku juga ikut menyumbang kenaikan harga seperti pada tahu dan tempe. Komoditas ini terkendala naiknya harga kedelai impor.

Pada komponen inflasi harga terjadi deflasi 0,19 persen dengan andil 0,03 persen. Penyebabnya adalah penurunan harga tarif angkutan udara meski disertai kenaikan tarif tol dan harga rokok lewat kenaikan cukai.

Sedikit berbeda dengan Trubus, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai program subsidi upah perlu dievaluasi karena katagori penerima, yaitu karyawan bergaji di bawah Rp5 juta, terbilang cukup mampu. Jika bantuan subsidi upah diadakan kembali, maka ia meminta kriteria penerimanya harus lebih dikerucutkan.

“Saya kira minimal bantuannya Rp1 juta/bulan. Bantuannya harus lebih besar tapi sasarannya diperkecil,” jelas dia kepada Tirto.id. “Seharusnya berikan ke yang gajinya misalnya di bawah Rp3 juta, pasti mereka larinya ke konsumsi.”

Tauhid menemukan beberapa kasus di mana penerima subsidi lebih memilih menyimpan uangnya di bank dibanding dibelanjakan, padahal tujuan subsidi tak lain untuk menggerakkan ekonomi. “Kalau mereka yang pendapatannya sudah sedikit larinya pasti ke konsumsi, karena mereka enggak ada pilihan lain. Kelompok bawah pasti habiskan uang karena uangnya terbatas. Kalau makin tinggi [gajinya] ketika ada bantuan ya simpan aja,” katanya menjelaskan.

Pernyataan Tauhid tak keliru. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan tren konsumsi masyarakat di awal 2021 masih menunjukkan pelemahan. Purbaya mengatakan masyarakat masih belum mau membelanjakan uangnya karena ada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM. Alhasil, Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan relatif bertahan alias tak banyak digunakan.

“Akhir tahun sampai sekarang, kita masih terpengaruh PPKM. Otomatis belanja masyarakat tak akan terlalu tumbuh signifikan. Wajar saja kalau DPK-nya belum terlalu banyak dipakai untuk membelanjakan kebutuhan sehari-hari seperti biasanya,” ucap Purbaya dalam konferensi pers virtual, Kamis (28/1/2021).

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan DPK masih berada di level yang cukup tinggi. Per Desember 2020, nilainya mencapai 11,11 persen yoy yang melandai dari November 2020 sebesar 11,55 persen yoy.

Baca juga artikel terkait BLT KARYAWAN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino