Menuju konten utama
Kebijakan Energi

Subsidi Energi & Biaya IKN Berbeda, Kenapa Jokowi Membandingkannya?

Fahmy Radhi menilai komparasi Jokowi berlebihan. Sebab besaran subsidi yang diberikan masih kalah besar dengan total biaya proyek IKN.

Subsidi Energi & Biaya IKN Berbeda, Kenapa Jokowi Membandingkannya?
Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas tentang persiapan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 di Istana Kepresidenan Bogor, Minggu (10/4/2022). foto/Biro Pers Sekretariat Presiden

tirto.id - Presiden Joko Widodo kembali menyinggung soal besaran subsidi pemerintah dalam menjaga harga bahan bakar minyak (BBM) agar tetap stabil. Ia bahkan membandingkan besaran subsidi dengan biaya pembangunan ibu kota baru (IKN). Mantan Wali Kota Solo itu mengaku biaya subsidi energi Indonesia sudah melebihi biaya untuk membangun IKN Nusantara di Pulau Kalimantan.

Saat Rakernas II PDIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (21/6/2022), Jokowi sebut kondisi dunia saat ini sudah tidak menentu akibat beragam hal secara bertubi-tubi mulai dari pandemi COVID-19 hingga perang Ukraina-Rusia yang merembet pada krisis keuangan, krisis energi, dan krisis pangan. Ia pun menuturkan sudah ada 60 negara yang mengalami gangguan ekonomi.

“Terakhir baru kemarin saya mendapat informasi 60 negara akan ambruk ekonominya. 42 dipastikan sudah menuju ke sana,” kata Jokowi.

Jokowi menambahkan, “Siapa yang mau membantu mereka kalau sudah 42? Mungkin kalau 1, 2, 3 negara krisis bisa dibantu. Mungkin dari lembaga-lembaga internasional. Tapi kalau sudah 42 nanti betul dan mencapai bisa 60 betul, kita nggak ngerti apa yang harus kita lakukan. Sehingga berjaga-jaga, waspada, hati-hati adalah hal yang sangat kita perlukan.”

Jokowi mengaku, tidak sedikit negara mengalami kesulitan akibat tidak memiliki cadangan devisa yang memadai. Negara-negara sulit karena harus impor pangan dan energi di tengah kelangkaan pangan dan energi di dunia saat ini. Di sisi lain, negara-negara terjebak utang pinjaman tinggi.

Ia kemudian bercerita soal harga BBM Indonesia yang tetap di angka Rp7.650 per liter untuk BBM jenis pertalite dan Rp12.500 per liter untuk pertamax. Harga tersebut ia komparasikan dengan negara lain seperti Singapura dan Jerman (Rp31.000) atau Thailand (Rp20.000).

Harga BBM di Indonesia masih stabil, kata Jokowi, karena pemerintah memberikan subsidi. Ia mengaku, nominal subsidi BBM sudah tembus Rp502 triliun demi menjaga harga tetap stabil. Ia pun berseloroh biaya subsidi yang diberikan sudah setara dengan biaya pembangunan ibu kota baru.

“Besar sekali (subsidi yang diberikan) bisa dipakai untuk membangun ibu kota satu. Karena angkanya sudah 502 triliun rupiah. Ini semua kita harus ngerti,” kata Jokowi.

“Sampai kapan kita bisa bertahan dengan subsidi sebesar ini? Kalau kita nggak ngerti, kita tidak merasakan betapa sangat beratnya persoalan saat ini. Bangun ibu kota (IKN) Rp466 triliun, ini untuk subsidi. Tapi enggak mungkin ini tidak kita subsidi, akan ramai. Kita juga hitung-hitungan sosial politiknya juga kita kalkulasi,” kata Jokowi.

Keluhan soal besaran subsidi sempat disampaikan Jokowi pada Sabtu, 11 Juni 2022. Saat itu, ia curhat bahwa subsidi BBM telah membuat APBN berat.

“APBN menjadi berat karena subsidi sekarang untuk BBM, pertalite, pertamax, solar, elpiji, subdisinya menjadi Rp502 triliun. Gede sekali,” kata Jokowi saat acara Silaturahmi Tim 7 Relawan Jokowi di Ancol, Jakarta, Sabtu (11/6/2022).

Kala itu, Jokowi berdalih pemberian subsidi besar demi kepentingan rakyat. Ia mengatakan, pemerintah sengaja memberikan subsidi agar harga bahan bakar tetap dijangkau publik.

Ia mencontohkan, warga Indonesia yang menggunakan BBM jenis pertamax cukup mengeluarkan uang Rp12.500. Angka tersebut jauh berbeda dengan Amerika yang harga bensin mencapai Rp19.400 atau Singapura yang tembus Rp33.000.

“Bayangkan kalau pertalite jadi Rp33 ribu. Pasti demo semuanya. Benar nggak? Oleh sebab itu sekuat tenaga kita pertahankan harga ini,” kata Jokowi.

Subsidi Energi dan Biaya Bangun IKN Sangat Berbeda

Dosen Komunikasi Politik Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah tidak memungkiri bahwa kebijakan pemberian subsidi adalah hal yang tepat. Ia beralasan, subsidi layak diberikan karena memang dibutuhkan publik. Namun, ia mengingatkan komparasi antara biaya pembangunan ibu kota negara dengan subsidi BBM punya pendekatan berbeda.

“Secara politik keuangan, saya kira mungkin iya bahwa ada beban negara terhadap subsidi yang dianggap lebih besar daripada biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk hal-hal yang lebih permanen. Salah satunya adalah ibu kota baru, tetapi Jokowi barangkali lupa bahwa ada tingkat urgensitas apakah lebih urgen berkaitan dengan membangun ibu kota atau lebih urgen untuk memberikan subsidi yang meringankan sebagian besar dari masyarakat," kata Dedi kepada reporter Tirto.

Dedi mengakui bahwa pemberian subsidi BBM akan menjadi sekali pakai dan langsung habis. Akan tetapi, kata dia, subsidi tersebut bisa langsung dirasakan publik dan masyarakat memang memerlukan subsidi energi tersebut.

Di sisi lain, kata Dedi, pembangunan ibu kota tidak semua orang merasakan dampaknya. Selain itu, persoalan yang muncul adalah apakah publik merasa perlu dan mau berkorban demi ambisi pembangunan ibu kota, apalagi IKN Nusantara baru jadi dalam waktu bertahun-tahun.

“Itu pun kalau berhasil berjalan sesuai dengan tenggat waktu, termasuk juga terjamin dari keadaan kriminal misalnya korupsi dan sebagainya," kata Dedi.

Dedi juga menilai pemberian subsidi berkaitan dengan hasil survei kinerja pemerintahan Jokowi yang kurang optimal. Oleh karena itu, Jokowi memilih untuk bercerita di depan kader PDIP sebagai upaya mantan dia meminta dukungan partai. Hal itu tidak terlepas dari akibat isu keretakan hubungan Jokowi dengan Megawati hingga suara sumbang internal PDIP kepada pemerintahan Jokowi.

Dedi sebut, Jokowi berupaya membuka “isi dapur” pemerintah sebagai upaya untuk meyakinkan PDIP untuk tetap mendukung pemerintahan. Ia menduga, presiden tengah melobi PDIP agar mau mendukungnya seandainya kebijakan subsidi itu akan dicabut di masa depan, apalagi Jokowi menyinggung soal pertimbangan sosial dan politik.

“Tetapi saya kira dalih apa pun untuk mengurangi subsidi BBM, apalagi disandingkan dengan pembangunan IKN jelas akan mendapatkan reaksi yang cukup keras dari public,” kata dia.

Sementara itu, Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis UGM Yogyakarta, Fahmy Radhi menilai komparasi Jokowi berlebihan. Ia beralasan, besaran subsidi yang diberikan masih kalah besar dengan total biaya yang diberikan pemerintah untuk proyek IKN.

Sebagai catatan, pemerintah menetapkan anggaran APBN untuk IKN sebesar Rp466 triliun hingga 2024. Sementara itu, proyek IKN diperkirakan akan berlangsung hingga 2045. Fahmy menilai curhat itu sebenarnya tidak diperlukan karena besaran subsidi BBM yang lebih besar daripada IKN akibat kebijakan Jokowi sendiri.

“Jadi sebetulnya enggak perlu curhat karena itu memang konsekuensi dari kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan harga, menaikkan BBM, BBM pertalite dan pertamax ke atas," kata Fahamy kepada reporter Tirto.

Pria yang juga mantan anggota Tim Tata Kelola Migas atau Tim Anti Mafia Migas ini melihat ada sejumlah faktor pemerintah enggan menaikkan BBM dan memberikan subsidi. Pertama, pemerintah ingin agar menjaga momentum pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID. Kedua adalah menjaga daya beli masyarakat. Ketiga mencegah inflasi.

Akan tetapi, Fahmy memandang curhat Jokowi yang secara tidak langsung menyatakan subsidi BBM membuat pemerintah keberatan tidak sepenuhnya akurat. Ia mengingatkan, pemerintah tetap bisa menerima pendapatan dari ekspor, bahkan BBM sekalipun. Ia mencontohkan, Indonesia menaksir harga BBM dengan angka 63 dolar per barel dengan angka ekspor 700 barel per hari. Ketika harga minyak naik di angka 103-105 dolar AS per barel, maka pemerintah ikut menerima keuntungan ketika mengekspor.

“Jadi kalau kita lihat cashflow APBN di satu sisi memang cash outflow-nya itu besar karena membayar subsidi, tetapi di sisi yang lain kita juga memperoleh pendapatan yang besar juga. Itu baru dari minyak, belum dari segi komoditas yang lain, apakah itu batu bara, nikel, atau yang lain sehingga saya melihat menteri keuangan tenang-tenang saja, nggak gelisah. Jokowi saja yang curhat,” kata dia.

Fahmy juga menilai pemerintah tidak bisa mengkomparasikan Indonesia dengan Amerika, Singapura atau Jerman. Ia mengingatkan, kondisi penerimaan per kapita Indonesia tidak bisa dikomparaasikan dengan negara besar. Pemerintah juga seharusnya adil dengan membandingkan pada negara yang harga bahan bakar masih murah seperti Malaysia.

Sebagai catatan, harga BBM Malaysia dengan kualitas RON 95 atau Pertamax Plus hanya dengan harga RM 2,05 atau Rp6.998, sementara Indonesia menjual RON yang lebih rendah atau RON 92 alias pertamax dengan harga Rp12.500-Rp13.000 per liter.

Menurut Fahmy, pemerintah memang baik memberikan subsidi karena ada dampak buruk jika tidak mensubsidi. Sebagai contoh, kenaikan harga bahan bakar akan memicu daerah-daerah yang mengandalkan transportasi non-publik berbasis bahan bakar untuk meningkatkan biaya produksi. Hal itu lantas memicu inflasi yang akhirnya memicu kenaikan harga pangan dan komoditas lainnya.

Namun demikian, Fahamy menilai pernyataan Jokowi lebih mengarah pada upaya untuk memberikan subsidi secara tepat. Ia sebut, permasalahan utama subsidi BBM sebesar itu harus tepat sasaran. Ia beralasan, pemerintah tidak menutup kemungkinan akan terus memberikan subsidi hingga akhir tahun. Ia juga tidak memungkiri angka subsidi bisa tembus Rp600 triliun.

Karena itu, kata Fahmy, pemerintah harus mengubah skenario pemberian subsidi BBM jika target yang diincar adalah pemberian subsidi tepat sasaran. Ia tidak menyarankan pemerintah menggunakan aplikasi MyPertamina dengan syarat rumit seperti mobil dengan cc tertentu. Syarat tersebut justru akan menyulitkan pelaksanaan di lapangan.

Ia justru menyarankan agar pemerintah menggunakan pendekatan yang lebih mudah, misal hanya membolehkan pengendara roda dua atau kendaraan roda empat berplat kuning (kendaraan umum) yang bisa membeli BBM jenis pertalite.

Di sisi lain, pemerintah juga memberikan wewenang penuh kepada Pertamina dalam mengelola besaran harga minyak yang dijual ke publik. Akan tetapi, pemerintah tetap memberikan subsidi kepada Pertamina dengan batas angka tertentu. Sebagai contoh, pemerintah memberikan subsidi Rp4.000 per liter untuk setiap pembelian bahan bakar. Selebihnya diatur penuh Pertamina sambil melihat kondisi pasar.

Skema-skema tersebut bisa diambil tidak hanya menekan besaran subsidi yang membengkak, tapi juga menekan besaran subsidi yang harus digelontorkan di masa depan. “Jadi bagaimana agar subsidi tepat sasaran sehingga bisa mengurangi subsidi juga," kata Fahmy.

Baca juga artikel terkait SUBSIDI ENERGI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz