Menuju konten utama

Suara Korban & Pelapor UU ITE: Dari Dandhy sampai Nikita Mirzani

Korban UU ITE menilai peraturan ini keliru sejak awal, sementara pelapor menyebut tanpa ITE warganet akan barbar dalam berkomentar.

Ilustrasi soft censorship. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dalam rangka merevisi UU ITE, peraturan yang dibuat pada 2008 dan lekas menjadi momok bagi demokrasi karena pasal-pasalnya yang karet, tim pengkaji bentukan Menkopolhukam Mahfud MD mengundang sejumlah korban untuk dimintai masukan. Mereka adalah Saiful Mahdi, Baiq Nuril, Diananta Putra, Dandhy Dwi Laksono, Bintang Emon, Prita Mulyasari, hingga Singky Suadji.

Tim yang diketuai oleh Sugeng Purnomo juga mengundang beberapa individu yang kerap menggunakan UU ITE untuk melaporkan orang lain, seperti Muannas Alaidid, Ade Armando, Dewi Tanjung, hingga Nikita Mirzani.

Forum yang dilaksanakan secara daring tersebut berlangsung selama dua hari, Senin dan Selasa, 1-2 Februari lalu.

Dalam pertemuan itu wartawan senior Dandhy Dwi Laksono mendesak pemerintah merevisi dan mencabut 9 pasal yang paling bermasalah dalam UU ITE, salah duanya pasal 27 dan 28. Ia bilang pasal itu bukan usul dia sendiri, tapi dari masyarakat sipil, termasuk dari Direktur SAFEnet Damar Juniarto.

Dandhy pernah berurusan dengan pasal karet UU ITE setelah mencuit di Twitter mengenai situasi dan kondisi terkini di Papua. Budiman Sudjatmiko, yang kala itu merupakan anggota DPR RI dan pernah debat terbuka dengan Dandhy tentang Papua, sampai mengaku siap menjadi penjamin agar Dandhy tidak ditahan.

Dandhy mengingat kepada pemerintah bahwa masalah UU ITE sudah bermasalah sejak dalam pasal-pasal dan diperparah dengan interpretasi yang luas oleh para pelapor plus implementasi yang buruk oleh para penegak hukum. “Pencemaran atau penghinaan, di KUHP itu lebih rinci. Ada penghinaan ringan. Itu enggak ada di UU ITE,” kata Dandhy saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (3/3/2021) pagi.

Dandhy juga mengkritik pihak-pihak yang menyebut bahwa UU ITE tetap harus dipertahankan dengan alasan ia memuat berbagai norma baru yang tidak tercakup oleh KUHP. “Omong kosong kalau ini norma baru. Ini norma lama, hanya transmisinya yang berbeda,” katanya. “Kalau mau norma baru hanya karena transmisi, ya enggak usah ubah hukuman. Bahkan enggak usah mengubah karakter hukumnya. Kalau delik aduan, untuk apa bikin delik umum? Dari awal sudah represi.”

“Kalau bikin norma baru, untuk apa nambah hukuman? Jadi lebih berat dari KUHP. Bahkan sudah cacat sejak awal. Di KUHP itu delik aduan, di UU ITE jadi delik umum—tanpa pengadu pun orang bisa ditangkap polisi. Jadi sejak versi lama 2008 sudah bermasalah. Untung delik aduan ini dibatalkan MK, bukan dibenerin oleh DPR,” tambahnya.

Tak hanya dari sisi hukum, Dandhy juga mengusulkan agar Tim Pengkaji UU ITE meminta pendapat para sosiolog dan antropolog yang bisa menjelaskan bagaimana budaya yang ada dalam masyarakat. Dengan itu dia berharap tim akan paham bahwa banyak masalah yang bisa terselesaikan tanpa campur tangan polisi.

“Masyarakat kita mudah belajar. Saya percaya yang nge-bully enggak akan lama, dia juga akan di-bully balik. Orang yang menyebar fitnah enggak akan lama, dia akan dapat sanksi sosial. Dan itu bagi beberapa orang jauh lebih efektif ketimbang berurusan dengan polisi. Masyarakat jadi punya kultur baru untuk saling koreksi dan meluruskan,” kata dia.

Dandhy melanjutkan dengan contoh. Jika ada permasalahan pencemaran nama baik maupun penghinaan antar tetangga, pihak yang sebaiknya menyelesaikan adalah Ketua RT setempat. Ia menduga justru kasus sekecil itu akan menjadi besar jika masuk ke ranah pidana dan negara ikut terlibat.

“Enggak pernah ada urusan tetangga kanan-kiri kata-kataan terus jadi perpecahan nasional. Justru kalau dibawa ke ranah hukum, jadi domain publik pidana umum, malah jadi persoalan umum, kan? Tadinya cuma masalah tetangga, diselesaikan Pak RT, ketika dibawa ke polsek, jadi urusan negara. Menyebarlah informasi urusan si A etnis ini dibawa ke kantor polisi karena pengaduan si B etnis itu, itu jadi repot. Negara malah memfasilitasi perpecahan yang lebih besar dengan mengangkat persoalan perdata menjadi pidana umum.”

Ia juga mengusulkan agar kasus-kasus seperti pencemaran nama baik atau penghinaan di media sosial seharusnya masuk ke ranah perdata, bukan pidana. Kata dia, ada banyak mekanisme dan sanksi yang bisa diselesaikan lewat jalur perdata daripada harus berurusan dengan polisi dan masuk penjara.

“Jangan habiskan uang pajak hanya untuk sistem peradilan atau kasus hukum yang ecek-ecek. Di negara mana yang terjadi perpecahan sosial gegara saling menghina warganya? Sebelum ada UU ITE, kita ada kerusuhan Ambon, kerusuhan Sampit, memang itu gegara saling menghina? Itu persoalan politik, struktural, kekuasaan yang bermain,” tambahnya.

Ia mengapresiasi langkah Tim Pengkaji UU ITE yang sudah mau membuka forum untuk para korban. Dandhy mengaku forum berjalan sesuai dengan permintaan awal: lebih banyak mendengar keluhan dan masukan tanpa ada upaya menghakimi.

“Saya juga bilang keterangan atau kesaksianku di forum hanya dapat dikutip untuk kepentingan revisi, bukan untuk membuat pedoman atau interpretasi. Hanya memberi izin untuk konteks revisi, bukan interpretasi. Aku enggak mau pertemuan seperti itu hanya dijadikan stempel, seolah-olah akomodatif, padahal substansinya enggak diperhatikan sama sekali,” kata dia.

Hal senada juga dikatakan oleh Saiful Mahdi, seorang dosen dari Universitas Syah Kuala (Unsyiah) Aceh, yang sempat dikriminalisasi menggunakan UU ITE karena mengkritik petinggi kampusnya sendiri. Pertemuan tersebut berjalan cukup baik dan kritis tanpa upaya menghakimi atau mencecar dari tim.

“Tapi rasanya kurang pas juga kalau korban atau terlapor ditanya, ‘kalau Anda maunya seperti apa persisnya kata-kata dalam pasal yang Anda anggap karet itu direvisi?’. Padahal, kebanyakan korban adalah warga biasa yang justru tak pernah berurusan dengan hukum. Kami bahkan jadi korban silang pendapat para ahli hukum baik di pengadilan maupun di luar pengadilan seputar tafsir dari kata-kata dalam pasal itu,” kata Saiful saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu pagi.

Ia menduga tidak semua anggota tim menguasai masalah secara cukup komprehensif. Oleh karena itu Saiful mengusulkan agar tim juga mengundang peneliti dan pegiat dari SAFENet, LBH Pers, dan YLBHI yang punya kajian mendalam dengan data yang kuat selama bertahun-tahun.

Harapan lain dari Saiful lugas: ragam pasal karet yang ada di dalam UU ITE segera dihapus atau direvisi total. Menurut dia, pembuatan pedoman tafsir UU ITE bisa jadi obat sementara tapi tidak akan menyelesaikan masalah.

Saiful juga mendesak agar pemerintah mengeluarkan moratorium, amnesti, hingga pemulihan nama baik untuk para korban dan terlapor UU ITE.

“Moratorium: bagi yang masih tahap dilaporkan sebagai saksi maupun tersangka agar pemeriksaan, penyelidikan, dan penyidikan dihentikan. Bagi yang sudah divonis pada level pengadilan dari PN hingga MA, agar diberikan amnesti dan namanya dipulihkan oleh negara. Bagi yang sudah menjalani hukuman agar mendapat ganti rugi atas kerugian moril maupun materiil yang dideritanya,” katanya.

Pelapor Tak Ingin Revisi

Berbeda dengan para korban atau terlapor, para pihak yang kerap menggunakan UU ITE untuk melaporkan orang lain justru mengaku tak melihat ada masalah di dalam peraturan ini. Mereka beranggapan bahwa UU ITE tak perlu direvisi.

Salah satunya selebritas Nikita Mirzani. “UU ITE jangan dihapus, kalau dihapus nanti pada barbar netizen, pada ngaco soalnya,“ kata Nikita, mengutip siaran pers Kemenkopolhukam.

Hal senada juga diutarakan oleh Ketua Umum Cyber Indonesia Muanas Alaidid. Muannas meminta pemerintah berhati-hati dalam merevisi sejumlah pasal di UU ITE agar tidak muncul persoalan baru.

“Jangan sampai niat baik revisi UU ITE, misalnya dalam pasal 27 ayat 3 yang dituding sebagai pasal karet, kemudian malah dihapus dan media sosial kita malah menjadi saling menghujat satu sama lain,” kata Muannas dalam keterangan yang sama. “Bapaknya dihina, ibunya dihina, ya mungkin itu akan menjadi persoalan kalau kemudian tidak dilaporkan,“ tambahnya.

Muannas mengaku yang mendorong dirinya kerap melaporkan pelaku ke kepolisian agar masyarakat “hidup dengan sadar hukum, tidak merugikan orang lain atau masyarakat luas,” katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu sore. Oleh karena itu pula menurutnya UU ITE justru harus diperkuat.

“Penegakan hukum terhadap UU ITE harus semakin kuat, jangan dilemahkan dengan memberikan ruang pemaafan untuk menyelesaikan persoalan. Artinya walaupun kita tidak dapat memungkiri budaya pemaaf, proses hukum tetap harus berjalan.”

Setelah pertemuan itu Ketua Tim Pengkaji UU ITE Sugeng Purnomo mengatakan tim sudah memiliki gambaran bagaimana kasus UU ITE di Indonesia. Kata Sugeng, masukan dari narasumber akan menjadi bahan dalam diskusi tim, yang ke depannya akan dipecah menjadi sub tim 1 dan sub tim 2. Sub tim 1 akan menyusun pedoman, sedangkan sub tim 2 akan mengkaji kemungkinan revisi.

“Saya berharap kepada bapak ibu sekalian yang masuk di dalam sub tim 1 maupun sub tim 2 untuk memanfaatkan waktu yang ada sambil kita menunggu kegiatan berikutnya,” kata Sugeng.

Baca juga artikel terkait REVISI UU ITE atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino
-->