Menuju konten utama

Studi: Kesenjangan Kekayaan Global Meningkat Akibat Perubahan Iklim

Studi ini mengukur efek yang terjadi pada ekonomi nasional dan kesenjangan kekayaan global yang disebabkan perubahan iklim dunia.

Studi: Kesenjangan Kekayaan Global Meningkat Akibat Perubahan Iklim
Ilustrasi perubahan iklim. AP Photo/Eric Risberg

tirto.id - Studi terbaru memperkirakan kesenjangan pendapatan per kapita di negara-negara terkaya dan termiskin adalah 25 persen lebih besar jika tidak terjadi perubahan iklim.

Studi yang diterbitkan di Prosiding National Academy of Sciences bertujuan untuk mengukur efek yang terjadi pada ekonomi nasional dan kesenjangan kekayaan global yang disebabkan perubahan iklim dunia.

Temuan ini membawa implikasi besar terhadap debat global tentang siapa yang paling cepat menurunkan emisi gas rumah kaca dan siapa yang harus membayar malapetaka yang ditimbulkannya, terutama di negara-negara miskin.

Studi ini meneruskan penelitian sebelumnya yang dilakukan Marshall Burke, ekonom di Stanford, yang menemukan ketika suhu lebih panas dari rata-rata, pertumbuhan ekonomi melambat di negara-negara miskin tetapi meningkat di negara-negara kaya.

Hal tersebut disebabkan negara-negara terkaya di dunia pada umumnya berada di garis lintang yang lebih dingin, sementara negara-negara miskin terkonsentrasi di sekitar garis khatulistiwa di mana peningkatan suhu dapat menghancurkan produksi tanaman, kesehatan manusia, dan produktivitas tenaga kerja.

Burke bersama Noah Diffenbauhgh, ilmuwan iklim, meneliti lebih lanjut 20 model iklim untuk memperkirakan berapa banyak negara yang bertambah panas karena perubahan iklim sejak 1960. Mereka berdua kemudian memperkirakan kinerja ekonomi negara-negara tersebut.

Hasilnya, sebagian besar negara miskin di dunia saat ini lebih miskin karena emisi. Sebaliknya, negara kaya, terutama di belahan bumi utara, lebih kaya daripada yang seharusnya.

Antara 1961 sampai 2000, perubahan iklim mengurangi pendapatan per kapita negara-negara miskin sebesar 17 dan 30 persen. India yang merupakan negara terpadat kedua di dunia, akan menjadi 30 persen lebih kaya jika tidak terjadi perubahan iklim. Sementara Nigeria yang merupakan negara terpadat di dunia, bisa menjadi 29 persen.

Norwegia, negara produsen minyak dan gas, bernasib baik karena tumbuh 34 persen lebih kaya. Sementara untuk negara-negara beriklim sedang seperti Cina dan Amerika Serikat, para peneliti mengatakan tidak merasakan banyak pengaruh akibat perubahan iklim.

Burke mengatakan saat negara dengan cuaca yang lebih dingin cukup banyak membantu. “Jika negara Anda hangat, Anda banyak terluka. Dan jika Anda berada di tengah, efeknya lebih kecil atau tidak berpengaruh,” ucap Burke seperti dikutip The New York Times.

Burke menyatakan temuan ini menghitung manfaat ganda yang didapat negara kaya di belahan bumi utara. Negara-negara tersebut mengkonsumsi bahan bakar fosil untuk menumbuhkan ekonomi mereka dan menuai keuntungan dari suhu yang lebih hangat.

“Negara-negara lain belum memiliki keduanya. Mereka tidak menyebabkan masalah, mereka dirugikan olehnya,” pungkas Burke.

Baca juga artikel terkait PERUBAHAN IKLIM atau tulisan lainnya dari Nurcholis Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nurcholis Maarif
Editor: Dipna Videlia Putsanra