Menuju konten utama

Stratolaunch, Cara Murah ke Luar Angkasa

Paul Allen, co-founder Microsoft punya "mainan" baru bernama pesawat Stratolaunch. Bulan lalu kendaraan yang disiapkan untuk sarana peluncur satelit agar bisa mengorbit rendah di angkasa ini kali pertama keluar dari hanggarnya.

Stratolaunch, Cara Murah ke Luar Angkasa
Pesawat Stratolaunch. FOTO/Stratolaunch

tirto.id - Pada akhir bulan lalu, sebuah pesawat yang diberi nama Stratolaunch dikeluarkan dari hanggar di Mojave Air and Space Port, California, Amerika Serikat untuk kali pertama. Setelah seremoni itu, Stratolaunch akan menghadapi proses uji coba pengisian bahan bakar untuk 6 tangki di dalam lambung pesawat itu.

Proses ini hanya satu dari sekian berbagai uji coba yang harus dilewati Stratolaunch. Uji coba lainnya adalah menguji ketahanan mesin pesawat. Jika semua terlewati hingga maka targetnya Stratolaunch sudah bisa mengantongi sertifikat penerbangan dari FAA atau badan administrasi penerbangan federal Amerika Serikat pada 2019 nanti.

Jean Floyd, CEO Stratolaunch System, perusahaan di balik pesawat megah itu, seperti dikutip dari Space.com mengungkapkan, “dengan senang hati kami mengumumkan bahwa pesawat Stratolaunch telah mencapai tonggak utama dalam perjalanannya menyediakan akses yang mudah, handal, dan rutin ke orbit rendah Bumi.”

Stratolaunch bukanlah pesawat biasa, pesawat berbadan dua selongsong kapsul ini digagas oleh Paul Allen, rekan Bill Gates saat mendirikan Microsoft. Allen, mendirikan perusahaan bernama Stratolaunch System pada 2011 lalu. Alasan Allen membangun pesawat unik ini karena ia suka dunia antariksa. Dalam tulisannya yang dipublikasikan di akun resmi LinkedIn miliknya, Allen mengingat peristiwa kala Kosmonot Rusia Yuri Gagarin mengangkasa pada 12 April 1961, waktu itu ia masih duduk kelas dua sekolah dasar.

Namun, alasan utama Allen adalah membangun sebuah pesawat yang bisa menyediakan akses yang mudah, andal, dan rutin ke orbit paling rendah Bumi atau Low Earth Orbit atau LEO. LEO merupakan area dengan rentang antara 160 hingga 2.000 km di atas permukaan Bumi. Area tersebut, umumnya digunakan untuk menggantungkan satelit. Allen mengungkapkan bahwa perjalanan menuju LEO selama ini masih sangat mahal. Padahal, menurut Allen, dengan ditempatkannya satelit pada area LEO, banyak pengetahun baru yang bisa didapat manusia.

Sebelum membuat Stratolaunch, bukti cinta Allen terhadap dunia luar angkasa dibuktikannya dengan membuat pesawat bernama SpaceShipOne bersama Burt Rutan. SpaceShipOne memenangkan Ansari X Prize, sebuah kompetisi tentang pesawat luar angkasa. Kini, Stratolaunch pun menyandang gelar sebagai pesawat "raksasa" di dunia berdasarkan rentang lebar sayap.

Infografik Stratolaunch

Stratolaunch memiliki lebar sayap dari ujung kanan ke ujung sayap kiri hingga 385 kaki ini kurang lebih setara dengan panjang lapangan sepakbola. Sementara pesawat-pesawat besar lainnya tak ada yang memiliki panjang seperti Stratolaunch. Dikutip dari Fortune, Hughes H-4 Hercules, saingan pertama Stratolaunch, hanya memiliki lebar sayap ujung ke ujung 320 kaki. Airbus A380 hanya memiliki lebar sayap ujung ke ujung 262 kaki dan Antonov AN-124 Ruslan hanya memiliki lebar sayap 240 kaki.

Selain soal ukuran yang jumbo, pesawat ini juga memiliki kekuatan yang tak kalah hebatnya. Stratolaunch menggunakan 6 mesin pesawat yang digunakan oleh Boeing 747 sebagai penggeraknya. Stratolaunch menggunakan 28 ban untuk menopang tubuhnya tetap kokoh berdiri. Pesawat ini ditargetkan sanggup membawa beban lebih dari 500.000 pon atau 226,76 ton di pundaknya. Selain itu, Stratolaunch dirancang untuk sanggup terbang hingga ketinggian 30.000 kaki.

Pesawat ini memang bukan pesawat biasa atau pesawat penumpang. Stratolaunch disiapkan untuk bisa mengangkut roket Pegasus XL sebagai tugas perdananya nanti. Stratolaunch dirancang khusus sebagai tempat peluncuran roket yang membawa satelit ke orbit rendah.

John Hansman dari International Center for Air Transportation MIT, sebagaimana dikutip dari Wired mengungkapkan, “terdapat keuntungan biaya dan juga keuntungan efisiensi dari menggunakan sayap (Stratolaunch) untuk melepaskan ke ketinggian.” Skema ini sering disebut sebagai air-launch-to-orbit atau meluncurkan roket dari udara, dan memang bukanlah barang baru.

Stargazer, sebuah pesawat Lockheed L-1011 yang telah dimodifikasi pada 1994, digunakan untuk peluncuran roket bernama Pegasus H dan Pegasus XL ke angkasa, saat pesawat tersebut telah terbang di udara. Stargazer dimodifikasi untuk bisa membawa beban seberat 52.000 pon pada ketinggian 42.000 kaki

Persoalan biaya memang sensitif dalam segala aspek yang berhubungan dengan luar angkasa. Biaya pengangkutan satelit, manusia, maupun berbagai barang yang menggunakan roket untuk ke angkasa memang sangat mahal. Dikutip dari The Motley Fool, United Launch Allieance atau ULA, perusahaan patungan antara Boeing dan Lockheed Martin, yang pernah mengangkut 4,75 metrik ton barang milik NASA menggunakan roket Atlas V memerlukan biaya hingga US$164 juta.

ULA membebankan biaya per ton sebesar US$25 juta hingga 34,5 juta untuk meluncurkan barang ke luar angkasa. Selain ULA, ada pula Arianespace dan SpaceX. Arianespace mematok harga US$20 juta per ton. Sedangkan SpaceX, mematok biaya per ton hanya US$11,3 juta.

Stratolaunch, merupakan salah satu solusi yang ditawarkan Paul Allen untuk mengatasi mahalnya biaya pengiriman ke luar angkasa, termasuk manusia alias astronot, satelit, hingga bahan pokok para punggawa ISS. Dengan Stratolaunch, harapannya biaya bisa ditekan, meski belum ada angka-angka pasti. Namun, selama ini suatu roket konvensional, diketahui memerlukan sangat banyak energi kala ia dalam posisi diam di atas tanah hingga mencapai orbit Bumi. Stratolaunch, mencoba untuk memotong proses tersebut. Roket diterbangkan dengan pesawat udara dan di ketinggian tertentu, dan kemudian roket diluncurkan. Kebutuhan energi, menjadi lebih sedikit, biaya pun bisa ditekan.

Selain memanfaatkan metode air-launch-to-orbit untuk menghemat biaya, ada ragam cara lain perusahaan-perusahaan teknologi antariksa memangkas biaya. SpaceX, perusahaan milik Elon Musk, sebagaimana diwartakan The Verge, menggunakan teknik daur ulang untuk menghemat biaya penerbangan antariksa. Sebagai gambaran, roket Falcon 9 milik SpaceX, memerlukan biaya US$60 juta untuk membuatnya dan $200.000 sebagai biaya bahan bakar. Dengan menggunakan daur ulang roket tersebut, biaya pembuatan Falcon 9 bisa sangat ditekan. Hadirnya Stratolaunch di masa depan tentu menjadi pilihan baru untuk memangkas segala biaya perjalanan luar angkasa agar lebih ringan.

Baca juga artikel terkait LUAR ANGKASA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra