Menuju konten utama
Periksa Fakta

Strategi Perang Vietnam yang Diklaim dari Pemikiran A. H. Nasution

Pokok-pokok Gerilja diterbitkan pada 1953, beberapa waktu setelah perjuangan perang Vietnam digagas oleh Vo Nguyen Giap.

Header Periksa Fakta IFCN. tirto.id/Quita

tirto.id - Pada 23 Agustus 2021 lalu, akun Instagram @seputarinfodunia mengunggah sebuah informasi yang mengklaim bahwa kemenangan Vietnam dalam perang melawan Amerika Serikat pada 1955-1975 karena mereka menggunakan strategi perang gerilya. Menurut akun itu, strategi tersebut diambil dari buku karya Jenderal Abdul Haris Nasution (A. H. Nasution) berjudul Pokok-Pokok Gerilja.

Menurut deskripsi unggahan tersebut, tentara Vietnam Utara atau yang dikenal dengan pasukan Viet Cong menerapkan strategi yang diadopsi dari buku Jenderal A.H. Nasution dengan membuat terowongan-terowongan kecil di banyak tempat dan melengkapinya dengan ranjau-ranjau maut berupa bambu dan yang lainnya.

Periksa Fakta Strategi Perang Vietnam

Periksa Fakta Strategi Perang Vietnam. instagram/Seputarinfodunia

Unggahan yang sama mengakhiri deskripsinya dengan mengklaim bahwa buku Pokok-Pokok Gerilja kini menjadi acuan strategi perang terkemuka yang dipelajari hampir semua militer dunia.

Lalu, benarkah fakta yang disampaikan @seputarinfodunia?

Penelusuran Fakta

Sebagai informasi, laman Ensiklopedia Britannica menyebut Perang Vietnam, yang berlangsung dari 1954 hingga 1975, sebagai konflik berkepanjangan yang mengadu antara pemerintah komunis Vietnam Utara dan sekutunya di Vietnam Selatan (yang disebut Viet Cong), dengan pemerintah Vietnam Selatan dan sekutu utamanya, Amerika Serikat. Perang ini disebut sebagai bagian dari konflik regional yang lebih besar dan manifestasi dari Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan sekutu masing-masing.

Tim Tirto menelusuri informasi mengenai strategi dari Vietnam Utara dan Vietnam Selatan melawan Amerika dengan membaca obituari Jenderal Vo Nguyen Giap, jenderal dan politisi komunis Vietnam, yang dianggap sebagai ahli strategi militer terbesar abad ke-20. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di pemerintahan Presiden Ho Chi Minh, komandan militer Viet Minh (koalisi independen untuk memperjuangkan kemerdekaan Vietnam), komandan Tentara Rakyat Vietnam (PAVN), Menteri Pertahanan, dan Wakil Perdana Menteri. Ia juga menjabat sebagai anggota Politbiro Partai Buruh Vietnam, yang pada tahun 1976 menjadi Partai Komunis Vietnam.

Obituari yang ditulis Judy Stowe pada 31 Januari 2019 di situs berita Inggris Independent.co.uk tersebut menyebut bahwa ketika Perang Dunia II pecah dan Prancis menyerbu Vietnam, Giap terus menyerang hingga keselamatannya sendiri berada dalam bahaya.

Dalam biografi Giap yang ditulis oleh LTC John C. Levanter pada 1973 berjudul General Vo Nguyen Giap: The Vietnamese Napoleon, disebut bahwa pada Mei 1940, Giap dan Pham Van Dong (kemudian Perdana Menteri Vietnam Utara dari 1955-1976) meninggalkan Vietnam dan pindah ke Kunming di Provinsi Yunnan, Tiongkok Selatan. Karena mereka diakui oleh Komunis Tiongkok sebagai salah satu hierarki teratas Partai Komunis Vietnam, mereka disambut dengan baik di sana.

Di Kunming pula, Giap pertama kali bertemu Ho Chi Minh, yang nantinya mengepalai gerakan kemerdekaan Vietnam, yakni Viet Minh, yang dibentuk sejak 1941. Dalam pertemuan itu, tulis Levanter, Giap menerima instruksi yang menentukan jalan hidupnya.

Di tahun berikutnya, Giap mempelajari strategi perang dan taktik politik di daerah yang disebut Kangta, Provinsi Yunnan. Saat itu, Giap juga mengunjungi berbagai unit Tentara Komunis Tiongkok. Ia tidak hanya menerima pendidikan militer, tapi juga mengorganisasi dan melatih beberapa orang pemberontak yang meninggalkan Vietnam.

Pada 1941, Giap mendapat kesempatan mengunjungi Mao Zedong, juga dikenal sebagai Ketua Mao, revolusioner komunis serta pendiri Republik Rakyat Cina (RRC). Mao juga memimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) sejak berdirinya RRC pada 1949 hingga kematiannya pada 1976.

Tentu tidak mengejutkan apabila Giap mengagumi sebuah risalah yang ditulis Mao pada 1938. Risalah itu berjudul “The Strategic Problems of the Anti-Japanese War” yang isinya dekat dengan situasi di Vietnam, utamanya konflik antara Viet Minh dan Indochina Prancis (French Indochina), pengelompokan wilayah kolonial Prancis di Asia Tenggara yang hancur pada tahun 1954.

Pada saat Mao menulis esai tersebut, PKT sudah cukup maju dan terdiri dari pasukan militer reguler dan juga pasukan gerilya. Viet Minh, di sisi lain, memiliki kekuatan militer yang relatif primitif dan tugas yang besar untuk melatih dan melengkapi kekuatan militer seperti Tiongkok.

Giap, yang mengagumi karya-karya Mao, tentu saja hendak mengikuti pengalaman pemimpin partai komunis tersebut. Buku Mao lainnya yang ia jadikan pedoman adalah Struggle of the Chin-Kan-Shan Mountains, ditulis pada 1928, dan memberikan petunjuk untuk membangkitkan pasukan gerilya.

Buku Struggle of the Chin-Kan-Shan Mountains dari Mao tampaknya menjadi "kitab suci" bagi Giap pada tahap awal perjuangan Viet Minh. Selain itu, buku Mao yang ditulis pada 1937, On Guerrilla Warfare, juga menjadi panduan bagi Giap terkait taktik dan operasi gerilya.

Catatan lainnya tentang strategi perang Vietnam Utara melawan Amerika juga ditulis oleh James A. Warren dan dipublikasikan The Daily Beast pada 2017. Warren adalah seorang sejarawan dan analis kebijakan luar negeri, menurut laman penerbit Simon and Schuster. Tulisannya di The Daily Beast ini ditujukan sebagai ulasan dari seri "The Vietnam War" yang ditayangkan PBS.

Menurut Warren, seri yang disutradarai Ken Burns dan Lynn Novick ini menggambarkan dengan baik sejarah perang Amerika dan Vietnam. Sebab, sudah terlalu lama buku-buku dan film-film Amerika tentang Vietnam selalu menampilkan “musuh” sebagai sosok bayangan, tanpa wajah, yang dimotivasi oleh penolakan politik semata. Apalagi, pertanyaan yang menghantui hampir setiap buku tentang Vietnam dalam Bahasa Inggris adalah, “Bagaimana mungkin Amerika Serikat bisa kalah perang dari negara agraris miskin seperti Vietnam Utara?”

Seri yang dibuat Burns-Novick, tulis Warren, menyarankan penonton Amerika Serikat melihatnya dari perspektif lain, yakni: Bagaimana Komunis menang?

Seperti dicatat Warren, aset utama Komunis bisa memenangkan perang panjang melawan AS adalah strategi perang yang dipelajari dari Mao Zedong, yang dibentuk secara khusus sesuai corak masyarakat Vietnam. Strategi tersebut mampu melunturkan semangat Amerika untuk berperang. Aset kedua adalah organisasi politik yang sangat dinamis dan kohesif di Vietnam Selatan. Organisasi tersebut, National Liberation Front/Front Pembebasan Nasional, mengeksploitasi banyak kerentanan AS-Vietnam Selatan.

Selain itu, Front Pembebasan Nasional juga mendapat dukungan luas dari kaum tani pedesaan yang meliputi 90 persen dari total populasi Vietnam Selatan sebanyak 16 juta penduduk. Warren mengutip sejarawan Jeffery Record yang mengatakan bahwa kaum komunis memiliki “pegangan strategis yang unggul dalam dimensi politik dan sosial dari perjuangan [mereka]”.

Menurut Warren pula, pada kenyataannya, Amerika tidak kalah telak dari Vietnam seperti yang dipikirkan. Seperti yang sering dikatakan panglima tertinggi pasukan militer, Vo Nguyen Giap, pasukan militer Amerika lebih unggul daripada pasukannya sendiri dalam hampir semua ukuran. Akan tetapi, penilaian strategis Amerika tentang sifat perang, kekuatan dan kelemahan mereka sendiri, dan orang-orang dari musuh mereka, masih kalah dari Hanoi dan para pemberontak di Selatan.

Sementara itu, buku yang ditulis A.H Nasution, Pokok-Pokok Gerilja atau Fundamentals of Guerrilla Warfare didasarkan pada pengalaman perang dan pengorganisasian pasukan gerilya oleh A. H. Nasution selama perjuangan kemerdekaan Indonesia. Buku ini pertama kali dirilis pada 1953.

Kesimpulan

Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa strategi perang Vietnam Utara tidak diambil dari buku Pokok-Pokok Gerilja yang ditulis oleh A. H. Nasution. Berdasarkan sumber literatur, panglima militer komunis Vietnam saat itu, Vo Nguyen Giap, banyak mendapatkan inspirasi dari strategi perang Mao Zedong.

Baca juga artikel terkait PERIKSA FAKTA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty