Menuju konten utama
14 Maret 2018

Stephen Hawking, Penyambung Lidah Kaum Difabel & Tertindas

Stephen Hawking bukan sekadar fisikawan berotak cemerlang. Dia juga aktivis hak disabilitas dan pendukung rakyat Palestina.

Stephen Hawking, Penyambung Lidah Kaum Difabel & Tertindas
Ilustrasi Mozaik Suara Stephen Hawking untuk semua. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 22 April 2020, keluarga almarhum Stephen Hawking menyerahkan ventilator yang pernah dipakai fisikawan kondang tersebut kepada Royal Papworth Hospital di Cambridge untuk membantu perawatan pasien COVID-19.

“Ayah kami telah mendapatkan perawatan yang sangat mengagumkan, penuh kasih dan dedikasi, baik dari RS Royal Papworth maupun Addenbrooke di Cambridge,” ujar putrinya, Lucy Hawking sebagaimana dikutip laman resmi rumah sakit.

Seandainya Hawking masih hidup, kontribusinya boleh jadi akan lebih dari sekadar ventilator. Dia akan ikut sumbang pikiran atau mengadvokasi kebijakan kesehatan Pemerintah Inggris dalam menghadapi pandemi COVID-19, sebagaimana telah lama dia lakukan untuk National Health Service (NHS), badan kesehatan Inggris.

Ketika dirinya divonis mengidap ALS (amyotrophic lateral sclerosis, penyakit saraf yang menyerang neuron, memengaruhi gerak otot dan komunikasi) pada usia 21, Hawking mendapat perawatan dari NHS. Perawatan itulah yang memungkinkannya tetap bisa berkarya hingga usia 76. Karena itu pula, Hawking memiliki semacam ikatan pribadi yang panjang dengan NHS.

“Dalam kasus saya, layanan kesehatan, kehidupan pribadi dan akademik, semua saling berkelindan. Saya mendapatkan perawatan berkualitas tinggi dari NHS dan tidak akan berada di sini tanpa mereka,” tulis Hawking dalam sebuah opini bertajuk “The NHS Saved Me. As a Scientist, I Must Help to Save It” yang tayang di The Guardian.

Dalam opini tersebut, Hawking menyoroti krisis dalam NHS yang disebabkan keputusan politik. Hawking juga menekankan bahwa layanan kesehatan adalah hak seluruh rakyat. Oleh karena itu, dia menentang setiap kebijakan yang mengarah pada privatisasi layanan kesehatan.

Bagi fisikawan yang lahir pada 8 Januari 1942 ini, privatisasi akan mengurangi kualitas pelayanan kesehatan publik. Dia juga urun pikiran bahwa cara terbaik untuk mendukung NHS adalah memperkuatnya dengan dana publik. Dia juga menyeru pada para politikus untuk bertindak demi kepentingan rakyat Inggris.

“Orang-orang menghargai dan bangga terhadap NHS karena ia memperlakukan semua orang dengan setara. NHS adalah perwujudan terbaik dari diri kita. Kita tidak bisa kehilangannya,” pungkas Hawking.

Aktivisme Hawking

Stephen William Hawking paham betul pengaruhnya sebagai ikon sains abad ini. Dia pun memanfaatkannya demi kemaslahatan umat, terutama bagi penyandang disabilitas dan mereka yang tidak dapat menyuarakan haknya sendiri. Dedikasi Hawking sebagai aktivis hak-hak kelompok difabel adalah sumbangsih yang tak kalah berharga dibanding karya-karya keilmuannya.

Dalam pengantar World Report on Disability (2011, PDF) untuk World Health Organization (WHO), Hawking menulis, “Kita memiliki kewajiban moral untuk menghapus semua batas partisipasi. Juga, lebih banyak menginvestasikan dana dan kepakaran guna mendorong potensi besar para penyandang disabilitas.

“Pemerintah di seluruh dunia tidak dapat lagi mengabaikan jutaan penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan akses kesehatan, rehabilitasi, dukungan, pendidikan dan pekerjaan, serta tidak pernah mendapat kesempatan untuk bersinar.”

Hawking tak kenal lelah menyuarakan hak-hak kaum difabel. Pada 2014, dalam konferensi tentang disabilitas yang digelar UNESCO di India, Hawking menyerukan penyediaan teknologi yang terjangkau bagi penderita ALS dan penyandang disabilitas lainnya.

Penulis buku sains populer A Brief History of Time itu mencontohkan dirinya sendiri untuk mendukung seruannya itu. Penyakit ALS yang dideritanya telah merenggut kemampuannya untuk bekerja dan bicara. Meski begitu, dengan akses terhadap teknologi, dia tetap bisa bekerja dan mengkomunikasikan teori, pemikiran, serta gagasannya.

Hingga akhirnya wafat pada 14 Maret 2018—tepat hari ini tiga tahun lalu, Hawking telah menjalani lebih dari lima dasawarsa yang produktif sejak menerima vonis ALS. Padahal, saat itu, dokter memprediksi hidupnya tinggal hitungan tahun. Semua itu dimungkinkan berkat teknologi.

“Saya tidak beruntung terkena ALS, tapi saya beruntung mendapat bantuan,” kata Hawking. “Saya berharap, serbaneka teknologi yang telah dikembangkan dan diujicobakan kepada saya akan tersedia dengan mudah dan murah bagi semua yang membutuhkan… agar tidak ada lagi yang hidup dalam kesunyian.”

Fisikawan yang meraih Eddington Medal pada 1975 ini juga diketahui sebagai penyokong Partai Buruh. Hawking mendukung diterapkannya universal basic income (UBI) yang memastikan semua warga mendapatkan pendapatan dalam jumlah tertentu tanpa syarat. Gagasan UBI kian ramai didiskusikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Agaknya, penerapan UBI bisa jadi jawaban untuk situasi pandemi yang sulit seperti sekarang ini. Pasalnya, pandemi semakin memperlebar jurang kemiskinan dan dampaknya bisa berlipat ganda bagi kelompok-kelompok marjinal, seperti perempuan, imigran, dan penyandang disabilitas. World Bank dalam sebuah rilisan tertanggal 7 Oktober 2020 melaporkan, sekira 150 juta orang diperkirakan akan terperosok dalam kemiskinan ekstrem akibat pandemi pada 2021.

Beberapa studi menunjukkan bahwa UBI tidak hanya menyediakan jaring keamanan sosial, tetapi juga dapat meningkatkan kesehatan mental dan fisik penerimanya. Oleh karena itu, dalam konteks pandemi seperti sekarang, penerapan UBI agaknya bisa jadi alternatif untuk membantu kaum marjinal bertahan.

Hawking beruntung tidak mengalami pandemi COVID-19. Namun, di tengah situasi seperti sekarang ini, suara dan dukungan Hawking jelas dibutuhkan untuk mendorong penerapan UBI.

Meski Hawking pernah memprediksi berbagai penyebab kepunahan manusia dan hancurnya Bumi—antara lain karena kecerdasan buatan, perubahan iklim, dan pagebluk virus, dia bukan orang yang mudah patah arang.

Dalam sebuah wawancara dengan The New York Times, Hawking berpesan, “Kita, sebagai spesies, telah berhasil melewati begitu banyak bencana alam dan masa-masa kelam. Maka saya tahu manusia sanggup menghadapi kesulitan-kesulitan besar.”

Infografik Mozaik Suara Stephen Hawking untuk semua

Infografik Mozaik Suara Stephen Hawking untuk semua. tirto.id/Fuad

Boikot Akademik untuk Israel

Sekali lagi, Hawking layak dikenang tak hanya karena kecemerlangan pikirannya, tapi juga karena dukungannya pada rakyat Palestina.

Pada Juni 2013, Stephen Hawking dijadwalkan menghadiri sebuah konferensi akademik bergengsi di Jerusalem. Dia sekaligus diundang merayakan ulang tahun ke-90 Presiden Israel Shimon Peres. Sebulan sebelum konferensi itu dihelat, Hawking mengirimkan surat kepada panitia.

Hawking, sebagaimana dikutip Aljazeera, menulis, “Saya menerima undangan Presidential Conference karena undangan ini tidak hanya memungkinkan saya untuk menyampaikan pendapat saya mengenai prospek-prospek terkait perdamaian, tapi juga karena undangan ini akan memungkinkan saya memberikan kuliah di Tepi Barat.

“Namun, saya menerima sejumlah email dari para ilmuwan Palestina. Mereka secara bulat menyatakan bahwa saya harus menghormati boikot. Dengan pertimbangan ini, saya memutuskan membatalkan kehadiran saya. Kalaupun saya hadir, saya bermaksud menyampaikan pendapat saya bahwa kebijakan Pemerintah Israel saat ini mengarah kepada bencana.”

Surat tersebut menegaskan dukungan Hawking kepada gerakan BDS (boycott, divesment, and sanction). BDS adalah koalisi rakyat Palestina di seluruh dunia yang dibentuk pada Juli 2005. Gerakan ini bertujuan untuk mengakhiri pendudukan Israel atas Palestina, menuntut kesetaraan penuh bagi warga Palestina, dan menyerukan pemenuhan hak-hak pengungsi Palestina.

Boikot akademik terhadap Israel merupakan salah satu cara nonkekerasan yang dipilih Hawking. Sikapnya ini menimbulkan pujian sekaligus kecaman, tapi Hawking tetap pada keputusan dan keyakinannya, bahwa pendudukan Israel terhadap Palestina adalah sebuah bencana.

Baca juga artikel terkait FISIKAWAN atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Humaniora
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi