Menuju konten utama

Status Unicorn Penting dan Startup pun Menggelembungkan Valuasi

Rencana GoTo melantai membuka kembali perbincangan tentang unicorn, yang, karena penting, diperoleh dengan banyak cara termasuk menggelembungkan valuasi.

Ilustrasi unicorn bisnis Indonesia. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Perusahaan e-commerce Bukalapak resmi menjadi unicorn Indonesia pertama yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Agustus 2021 lalu. Startup yang didirikan oleh Achmad Zaky, Fajrin Rasyid, dan Nugroho Herucahyono pada 2010 ini menawarkan 25,7 miliar lembar saham--atau setara 25 persen nilai perusahaan--dengan harga pembuka Rp850 per lembar.

Dibantu aplikasi jual-beli saham yang popularitasnya menanjak di tengah pandemi dan roadshow Presiden Bukalapak Teddy Oetomo selama "10 hari berturut-turut dengan 11 hingga 12 kali pertemuan," Penawaran Saham Perdana (Initial Public Offering/IPO) Bukalapak laris manis. Beberapa menit sejak melantai, saham e-commerce yang identik dengan warna merah ini diserbu hampir 100 ribu investor. Harga sahamnya meroket dan mendarat di titik Rp1.060 per lembar atau naik 25 persen.

BEI bahkan terpaksa menghentikan penjualan sahamnya karena telah menyentuh batas atas (Auto Rejection Atas atau ARA).

Pada hari pertama melantai, Bukalapak tersenyum lebar karena sukses memboyong dana sekitar Rp21,9 triliun (1,5 miliar dolar AS). IPO Bukalapak hanya kalah setingkat dari PT. Telkom yang berhasil menghimpun dana senilai 1,7 miliar dolar AS ketika pertama kali melantai pada 1995 silam.

Selain itu, valuasi yang membengkak menjadi Rp109,2 triliun (7,6 miliar dolar AS) menjadikan Bukalapak perusahaan publik paling berharga nomor 13 di Indonesia, unggul dari Bank Negara Indonesia (BNI) hingga produsen "mi sejuta umat" Indofood CBP Sukses Makmur.

"IPO Bukalapak jelas-jelas merupakan kemenangan besar bagi Bursa Efek Indonesia," kata Swarup Gupta, Manager Industri pada Economist Intelligence Unit, kompartemen analisis ekonomi-bisnis milik media The Economist.

Namun keberhasilan Bukalapak tidak bertahan lama. Saham mereka terus-terusan melorot menggapai Auto Rejection Bawah. Per awal 2022 lalu, harga per lembar saham berada di titik Rp352, menciutkan valuasi perusahaan hingga 66 persen dibandingkan saat IPO dilakukan.

Hal ini terjadi karena saat saham ditawarkan sebenarnya yang muncul sekadar gejala fear of missing out (FOMO) dari masyarakat. Mereka tak ingin terlewatkan menyantap hidangan bernama unicorn.

Lalu masalah lain adalah indikator pertumbuhan yang dipakai sangat asing. Dalam prospektus yang diterbitkan menjelang IPO, Bukalapak memilih menggunakan indikator bernama Annual Transacting User (ATU) dan Annual Transacting Mitras (ATM) alias pengguna/mitra yang melakukan setidaknya satu transaksi berbayar dalam 12 bulan terakhir. Indikator pertumbuhan ini jarang dipakai karena, well, untuk apa, sih, menghitung pertumbuhan perusahaan hanya dari transaksi setahun sekali?

Hancur leburnya harga saham membuat kolom komentar Bukalapak di pasar aplikasi Google Play dan App Store dibanjiri keluhan masyarakat yang mengalami kerugian. Di sisi perusahaan, kinerja buruk ini memicu perombakan manajemen.

Sekarang, lebih dari setahun sejak Bukalapak melantai di bursa, unicorn Indonesia lain bernama GoTo, gabungan antara Gojek dan Tokopedia, bersiap melakukan langkah serupa. Meski diprediksi akan bernasib lebih baik, masyarakat tetap harus waspada terutama karena, merujuk prospektus, GoTo masih mengalami kerugian hingga Rp11,5 triliun.

Selain itu, rencana GoTo pun menarik untuk membuka kembali diskusi tentang status unicorn pada startup. Jika melihat banyak kasus, status unicorn sebenarnya tak menjamin kecemerlangan perusahaan.

Unicorn yang Bukan Unicorn

Aileen Lee asal Cina tak ingin sembarangan memberikan modal pada startup lewat venture capital bernama Cowboy Ventures yang ia dirikan pada 2012. Ia mewajibkan sejumlah syarat kepada calon penerima, misalnya harus memberi data soal pendiri, berapa dana yang telah diperoleh, dan sebesar apa nilai perusahaan yang sesungguhnya.

Sayangnya pada saat itu belum ada platform komprehensif yang mendata startup seperti yang disediakan Crunchbase. Ia kemudian mendata seorang diri segala hal tentang startup yang hendak dimodali.

Dalam proses itulah Lee kemudian memberikan julukan "unicorn" pada startup yang memiliki nilai valuasi lebih dari 1 miliar dolar AS.

Gelar unicorn adalah sesuatu "yang sangat langka dan sangat mengagumkan," kata Lee dalam artikel di Techcrunch. Saat artikel tersebut dipublikasikan pada 2013 lalu, Lee mencatat hanya ada satu dari 1.538 startup teknologi yang telah mencapai unicorn.

Diwartakan Forbes, startup bergelar unicorn pada 2013 hanya ada 17. Lalu meningkat hampir dua kali lipat menjadi 32 di 2014, lalu 80 pada tahun berikutnya.

Pada 2017, jumlah unicorn telah berlipat ganda. Laporan berjudul "Unicorn Trends: The Data Behind the World’s Most Valuable Private Companies" yang dikeluarkan CB Insights mengatakan saat itu ada 185 startup bergelar unicorn. Sektor penyumbang unicorn terbanyak adalah e-commerce (18 persen), disusul oleh sektor software as a service (SaaS) sebanyak 14 persen.

Dari asal negara, Amerika Serikat tercatat yang paling banyak menyumbang unicorn (52 persen). Kemudian sebanyak 23 persen berasal dari Cina. Sisanya dari Inggris, India, dan Indonesia.

Semua startup bergelar unicorn tersebut menghasilkan total nilai valuasi sebesar 663 miliar dolar AS. Uber berada di peringkat teratas dengan valuasi 12,5 miliar dolar AS. Sebanyak 15 startup unicorn teratas menyumbang 51 persen atau 338 miliar dolar AS. Dengan kata lain, ada sedikit startup yang benar-benar dominan.

Will Gornall dan kawan-kawan, peneliti dari University of British Columbia, juga pernah meriset tentang valuasi perusahaan unicorn dan temuannya cukup mengejutkan. Dalam artikel berjudul "Squaring Venture Capital Valuations with Reality", mereka menyatakan 65 dari 135 startup unicorn yang diteliti memiliki nilai yang terlalu tinggi dibandingkan nilai semestinya alias overvalued.

Salah satunya adalah startup host-sharing Airbnb. Data per September 2016 menyatakan perusahaan tersebut bernilai 30 miliar dolar AS. Namun, Gornall dan tim menyatakan valuasi semestinya dari Airbnb hanya 26,1 miliar dolar AS. Perusahaan media Buzzfeed pun demikian. Nilai valuasi pada November 2016 dinyatakan sebesar 1,70 miliar dolar AS, namun riset Gornal, dkk. menyatakan nilai sesungguhnya hanya 1,08 miliar dolar AS.

Artikel Gornall, dkk itu mengatakan jika yang dipakai adalah nilai sesungguhnya, maka beberapa startup harus rela melepaskan gelar unicorn mereka. Contohnya Flipboard, startup pengepul berita. Nilai valuasi pada Juli 2015 disebut sebesar 1,3 miliar dolar AS, namun paper menyebutkan nilainya hanya 700 juta dolar AS--kurang 300 juta dolar AS lagi untuk meraih status unicorn.

Lalu, mengapa semua ini bisa terjadi?

Erin Griffith dalam Wired menjelaskan bagaimana disparitas antara valuasi yang dipublikasikan dengan nilai sesungguhnya bisa begitu besar dengan mengambil contoh banyak unicorn.

Agar mendapat status unicorn, banyak perusahaan menerima pendanaan dari pemodal dengan syarat-syarat khusus. Syarat ini kerap mengorbankan besaran saham investor lama--termasuk saham milik karyawan.

Griffith mengutip Gornall yang memberikan analogi sederhana untuk memahami situasi ini. Katanya, yang terjadi di startup overvalued adalah mereka "menjual BMW dengan harga BMW [...] namun memberikan para karyawan dan investor terdahulu Kia dan menghitung Kia sebagai BMW."

Menurut Aileen Lee, masih dalam artikel Techcrunch, alasan mengapa startup berlomba menjadi unicorn--meski dengan cara-cara seperti di atas--adalah karena ia mampu mengundang lebih banyak investor.

"Unicorn tampak seperti istilah biasa-biasa saja," katanya. "Tapi, dari perspektif investor, dengan menggunakan cara kerja matematika, Anda harus berinvestasi pada unicorn. Katakanlah Anda memiliki dana satu miliar dolar. Anda harus menginvestasikan dana tersebut ke startup yang telah punya nilai 10 miliar dolar untuk dapat mengelola dana Anda dengan baik."

Dalam laporan yang dipublikasikan eMarketer, biaya untuk membuat seseorang mau memasang aplikasi adalah sebesar 4,12 dolar AS. Ada pula biaya untuk menggiring pengguna untuk registrasi di sebuah aplikasi, yaitu 8,21 dolar AS. Rata-rata, startup perlu dana sebesar 7,57 miliar dolar AS dalam memasarkan aplikas mereka.

Infografik IPO goto

Infografik IPO goto. tirto.id/Fuad

Uber membakar uang tak kurang dari 2,39 miliar dolar AS salah satunya untuk proses user acquisition atau proses mendapatkan pengguna pada kuartal II-2017. Saat itu mereka mencatatkan kerugian bersih 645 juta dolar AS dan pendapatan 1,17 miliar dolar AS.

Ringkasnya, semakin banyak uang yang masuk tentu semakin besar peluang perusahaan berkembang dan mendapat status unicorn.

Namun tentu tak sembarang investor yang dapat membuat sebuah startup menjadi unicorn. Venture capital memegang peran penting. Semua startup unicorn, hari ini, didukung venture capital.

Dari 15 lead investor (investor utama) Uber, misalnya, hanya tiga yang tidak berstatus venture capital. Tiga pemodal yang bukan venture capital itu ialah Travis Kalanick (pendiri), Garret Camp, dan Baidu. Laporan yang dirilis CB Insights menyebutkan 40 persen modal startup unicorn berasal dari venture capital.

SV Angel merupakan venture capital yang paling banyak memiliki startup unicorn di portofolionya. Laporan CB Insights mengatakan mereka memiliki 23 startup unicorn. Setelahnya ada Sequoia Capital (22 unicorn), Tiger Global Management (22), Fidelity Investments (20), dan DST Global (20).

Status unicorn memang penting, tetapi bukan jaminan startup akan bertahan hidup. Jenny Lee, Managing Partner GGV Capital, mengatakan "akan banyak unicorn yang mati" di kemudian hari kepada Wall Street Journal.

Salah satu penyebabnya ialah keadaan politik. Dengan lagi-lagi mengambil contoh Uber, mereka saat ini sukar berkembang di berbagai negara karena terganjal peraturan setempat. Sementara Facebook, startup satu-satunya bergelar super-unicorn, bermasalah dengan berita bohong alias hoaks yang akan membuat banyak orang berpikir ulang saat hendak menggunakan aplikasi tersebut.

Atas semua permasalahan ini, Mara Zepeda, pendiri startup bernama Switchboard, mengusulkan agar ada istilah baru untuk menggantikan unicorn, yaitu zebra. Dalam artikel di Quartz, ia mengatakan zebra tak mengejar peningkatan valuasi atau nilai perusahaan selayaknya unicorn, tapi "menguntungkan dan meningkatkan hidup lingkungan sosial." Ia menyebut zebra lebih bekerja untuk menciptakan keuntungan alih-alih melakukan IPO. Zebra, kataya, merupakan startup yang menekankan kemajemukan dibandingkan monopoli.

Secara sederhana, zebra lebih menekankan agar startup menjadi perusahaan sosial.

Baca juga artikel terkait STARTUP UNICORN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Rio Apinino