Menuju konten utama

St. Pauli, Klub Sepakbola Musuh Sejati Kaum Fasis

St. Pauli lagi-lagi membuktikan bahwa sepakbola bukan semata urusan menang-kalah atau juara-pecundang. Sepakbola adalah tentang manusia dan prinsip yang dibawanya.

St. Pauli, Klub Sepakbola Musuh Sejati Kaum Fasis
Deniz Naki, pemain FC St. Pauli, merayakan kemenangan bersama para suporter setelah lanjutan pertandingan divisi kedua Jerman melawan Greuther Fuerth (2/5/2010). REUTERS/Michaela Rehle.

tirto.id - Hamburg, kota kedua terbesar di Jerman setelah Berlin, punya riwayat sejarah yang mengenaskan. Pada 845 Masehi, dua dekade usai kastil Hammaburg yang terletak di antara Sungai Alster dan Elbe berdiri (sekaligus dirayakan sebagai momentum lahirnya Hamburg), bangsa Viking datang ke wilayah ini dan membumihanguskan seluruh bangunan.

Kejadian tersebut datang tak cuma sekali. Total, dalam kurun waktu 300 tahun usai peristiwa naas yang pertama, Viking sudah delapan kali membakar daratan Hamburg.

Berabad-abad sesudahnya, kemalangan Hamburg terus berlanjut. Saat Perang Dunia II, kota ini tak luput dari serangan pasukan Sekutu. Hamburg lagi-lagi harus menelan pil pahit: kota hancur akibat bom-bom yang dijatuhkan dari atas langit.

Tapi, Hamburg mencoba bangkit dari trauma yang berkepanjangan. Berakhirnya Perang Dunia II, keruntuhan Tembok Berlin, serta unifikasi Jerman Barat dan Timur adalah titik balik kota ini. Dari reruntuhan perang, Hamburg beralih rupa menjadi kota besar nan sibuk dengan pelbagai aktivitas: pelabuhan, perniagaan, serta kebudayaan.

Kondisi serupa juga hadir dalam bidang sepakbola. Hamburg adalah tempat bernaungnya dua klub dengan reputasi menjulang. Klub pertama, Hamburger SV, dikenal lewat prestasinya yang mentereng. Klub ini pernah menjuarai Bundesliga, Liga Champions Eropa, serta berpredikat klub yang belum pernah terdegradasi—meski terancam pada musim ini.

Yang kedua ialah FC St. Pauli. Walaupun pencapaian mereka tak sebaik rival sekotanya, tapi nama St. Pauli dikenal publik karena kerja-kerja mereka di sepakbola yang melampaui berbagai batasan.

Klub Semenjana

St. Pauli merupakan distrik di Hamburg dengan wilayah seluas 2,6 km persegi dan ditinggali sekitar 27.612 penduduk. Daerah ini gampang dikenali sebab lokasinya tak jauh dari kawasan prostitusi paling populer di Eropa, Reeperbahn. Tapi, faktor lain yang berpengaruh besar atas ketenaran Pauli adalah klub bolanya yang kerap digambarkan sebagai tim bola “paling kiri”; tak cuma di Jerman, tapi juga di dunia.

Cerita St. Pauli bermula pada 1907 saat mereka melakukan pertandingan pertama melawan Aegir. Saat itu, mereka masih menjadi bagian dari klub senam bernama Hamburg-St. Pauli Turnverein 1862—yang masih eksis hingga hari ini. Pada 1924, St. Pauli memutuskan memisahkan diri dari klub senam tersebut serta membentuk klub bola sendiri.

Seperti dicatat laman resmi mereka, masa-masa awal pembentukan St. Pauli bisa dibilang masa yang tak cukup indah. Prestasi seret, neraca keuangan kembang kempis, serta fakta bahwa mereka harus bolak-balik naik-turun level kompetisi adalah buktinya.

Pasca-Perang Dunia II, Hamburg hancur. Tak terkecuali lapangan bola yang biasanya digunakan St. Pauli berlaga. Di tengah-tengah masa itu, datanglah Karl Miller, pemain bola Jerman yang berupaya membangkitkan St. Pauli. Ia lalu mengajak Heinz Hempel, Heinz Köpping, Walter Dzur, serta Helmut Schön untuk membela Pauli.

Setahun kemudian, pada 1946, mereka bermain di tempat baru bernama Heiligengeistfeld. Prestasi mereka mulai stabil. St. Pauli mampu bersaing di kompetisi papan atas melawan FC Schalke, FC Nürnberg, hingga seteru sekotanya, Hamburger SV.

St. Pauli pertama kali promosi ke Bundesliga pada musim 1977/1978. Prestasi itu diraih setelah penampilan apik di Bundesliga 2 musim sebelumnya dengan rekor 19 kemenangan, 16 imbang, dan hanya 3 kali menelan kekalahan.

Di bawah komando pelatih Diethelm Ferne, Pauli menjadi kesebelasan yang trengginas. Saking garangnya, St. Pauli tak tersentuh kekalahan di kandang hingga Boxing Day. Akan tetapi, bulan madu mereka tak berlangsung lama. St. Pauli hanya semusim bertahan di Bundesliga dan kembali turun level pada musim 1978/1979.

Semenjak itu, praktis St. Pauli tak mampu lagi memperoleh prestasi cemerlang. Musim-musim St. Pauli selanjutnya diisi persaingan di kompetisi level dua, naik ke level atas, sebelum akhirnya turun lagi ke strata bawah. Begitu seterusnya.

Politik dan Kemanusiaan

St. Pauli hidup bukan dari gelimang trofi maupun dana investor. Mereka hidup dan bertahan di rimba sepakbola karena prinsip yang dipegangnya selama tiga dekade lebih; dari politis hingga kemanusiaan.

Petra Daniel dan Christos Kassimeris dalam “The Politics and Culture of FC St. Pauli: from Leftism, Through Antiestablishment, to Commercialization” (PDF) yang terbit di Soccer & Society Publication (2013) mencatat, kritisnya St. Pauli tak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang terjadi di Hamburg pada medio 1970-an hingga 1980-an.

Saat itu, Hamburg sedang mengalami kemunduran. Bisnis prostitusi, kriminalitas, perang antar geng, peredaran obat-obatan terlarang, hingga aksi kekerasan merupakan pemandangan yang jamak dijumpai sehari-hari. Pemerintah Jerman yang melihat situasi tersebut lantas mengambil langkah tegas: mereka yang bertindak anarkis harus diusir dan ditangkap. Langkah pemerintah pun berhasil; para kriminal bisa disapu dan St. Pauli seketika bersih dari huru-hara.

Namun, masalah tak berhenti sampai situ. Lenyapnya kriminalitas di St. Pauli seketika menarik pelaku pasar keuangan, teknologi, industri hiburan, dan properti untuk berbisnis di sana. Alasannya sederhana: distrik St. Pauli begitu strategis karena dekat dengan aktivitas pelabuhan terbesar di Jerman. Walhasil, gedung perkantoran bertingkat, hotel kelas satu, restoran elit, hingga swalayan mewah tumbuh dengan cepat. Ditambah lagi, kelompok ekstrim-kanan perlahan menancapkan pengaruh di Hamburg.

Geliat pembangunan tersebut memakan korban, seperti yang terjadi pada 1981 saat pengembang berencana membangun kawasan perumahan serta mal di Hafenstrasse. Pembangunan itu ditolak beberapa aktivis kiri sebab bakal mengusir para imigran serta kelas pekerja yang banyak tinggal di sana. Resistensi sempat mencapai puncaknya tatkala aparat memaksa mereka pindah dengan kekerasan.

Api perlawanan itu tak sebatas agenda demonstrasi belaka, tapi juga sampai ke markas tim bola St. Pauli di Millerntorn Stadium. Tiap tim berlaga, deretan spanduk serta poster bertuliskan “Jangan lagi fasisme! Jangan pernah lagi berperang!” selalu rutin terpampang.

Tak hanya itu, para pendukung yang terdiri dari beragam latar belakang—imigran, pelajar, punk, dan lain-lain—turut membuat fanzine bertajuk “Millerntorn Roar!” (PDF) yang isinya menolak fasisme, kapitalisme, serta rasisme. Penolakan diwujudkan pula dengan menciptakan simbol baru untuk St. Pauli: gambar tengkorak dengan sepasang tulang bersilang yang punya arti “perlawanan orang miskin kepada mereka yang kaya.”

Sikap politis pendukung St. Pauli, jelas Daniel dan Kassimeris, semakin kuat kala mereka mendapatkan ruang serta fasilitas untuk pendidikan maupun aspirasi politik lewat keberadaan partai-partai kiri. Parta-partai itu adalah Deutsche Kommunistische Partei (Partai Komunis Jerman), Sozialistische Einheitspartei Deutschlands (Partai Persatuan Sosialis Jerman), dan yang terbaru Die Linke.

Agenda mereka sama: menentang represi aparat, mengayomi imigran, mendorong proyek berbasis sosial, budaya, komunitas, dan keterlibatan masyarakat. Mereka juga menolak pembangunan apartemen mewah, gedung perkantoran, serta pusat perbelanjaan yang dapat mengakibatkan orang-orang miskin kehilangan tempat tinggal.

Memasuki dekade 2000-an, ideologi politik St. Pauli tetap dipertahankan. Ketika gejolak rasisme, kekerasan, pelecehan seksual, hingga bangkitnya sayap kanan merebak ke sendi-sendi sepakbola maupun kehidupan sehari-hari, St. Pauli berada di garda depan untuk menghalau semua itu.

Bertempat di Fanladen (sebutan untuk toko klub), mereka melakukan pelbagai kegiatan macam diskusi anti-fasis dan ekstremisme kanan, mengadakan turnamen untuk para pengungsi, dan merealisasikan proyek "KiezKick" yang berisikan pelatihan dan kegiatan bersifat edukasi tentang pluralitas sampai gender. Selain itu, orang-orang yang berkumpul di Fanlanden juga menyalurkan bantuan kemanusiaan untuk pekerja paksa di Belarus pada 2007, hingga melangsungkan program "Viva con Agua" yang menghimpun bantuan akses air minum bersih ke negara berkembang.

Infografik FC St. Pauli

Di Bawah Tekanan Uang

Keteguhan St. Pauli dalam memegang prinsip, terutama anti-komersialisasi sepakbola, mendatangkan konsekuensi berupa daya saing mereka yang rendah karena tak punya cukup banyak duit untuk memperkuat kesebelasan.

Corny Littman, presiden klub pada 2002-2010, paham betul akan hal ini. Saat ia datang, St. Pauli sedang berada di fase remuk. Terancam degradasi ke divisi tiga dan, yang lebih parah, berpotensi besar untuk bangkrut.

“Klub secara finansial berada di ujung. Ini menimbulkan pertanyaan apakah klub bakal dilanjutkan atau dibiarkan mati. Itu adalah saat-saat yang sulit. Semua pemain meninggalkan klub dan kami tak punya uang sama sekali,” terangnya kepada CNN. “Bagaimana caranya kami mempertahankan identitas sementara di lain sisi kami tahu bahwa kami adalah klub bola profesional?”

Dihadapkan situasi semacam itu, Littman segera memutar otak. Ia lantas memanggil perwakilan fans untuk duduk bersama mencari jalan keluar. Littman sebetulnya bisa saja mengambil langkah langsung dengan, misalnya, menjual kepemilikan klub ke investor tanpa persetujuan fans. Namun, keputusan Littman bakal mendatangkan pertentangan yang hebat kerena bagi fans St. Pauli adalah entitas bola yang haram hukumnya dijual ke simbol kapitalisme.

Akhirnya, guna menyelamatkan klub, diputuskan langkah-langkah seperti menjual lisensi kepemilikan merchandise ke pihak ketiga, melakukan penghematan, memanfaatkan pemain lokal dan muda, di samping tetap meniadakan peran investor dalam menyuntikkan dana bantuan dengan membeli saham klub atau hak penamaan stadion.

Perlahan, langkah yang diambil mulai mendatangkan hasil. Keuangan klub membaik dan St. Pauli berhasil lolos dari kebangkrutan. Di bawah kepemimpinan Littman, penggemar St. Pauli menyentuh angka 11 juta di seluruh dunia serta merchandise mereka laku senilai $8,6 juta tiap tahunnya.

Kendati mampu bangkit, ketakutan mengenai klub bakal mengalami penurunan prestasi tetap bergema di pikiran petinggi St. Pauli. Namun, Oke Göttlich, presiden klub saat ini, tak terlalu ambil pusing. Ia percaya bahwa kebangkrutan dan ancaman degradasi adalah hal-hal yang tak bisa dihindari oleh klub sepakbola manapun. Baginya, yang terutama ialah mempertahankan identitas St. Pauli.

“St. Pauli adalah, dan akan selalu, jadi klub bola sosial yang peduli keadaan sekitar,” ungkapnya. “Kami akan selalu menentang rasisme dan homofobia, selalu melindungi yang lemah dan yang miskin, karena itu penting bagi kami. Itu mengalir dalam darah kami.”

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA JERMAN atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Olahraga
Penulis: M Faisal
Editor: Ivan Aulia Ahsan