Menuju konten utama

Sri Mulyani Gandeng Traveloka Bisa Mengefisienkan Perdinas PNS?

Gagasan Menkeu Sri Mulyani menggandeng agen perjalanan online seperti Traveloka dianggap tak sepenuhnya bisa membuat perdinas PNS bisa efisien.

Sri Mulyani Gandeng Traveloka Bisa Mengefisienkan Perdinas PNS?
Sejumlah penumpang pesawat beraktivitas di Bandara Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (11/5/2018). ANTARA FOTO/Aji Styawan

tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bertemu dengan pengelola Traveloka, pertengahan pekan lalu. Dalam pertemuan itu, Sri meminta Traveloka memberi masukan supaya anggaran belanja perjalanan dinas (perdinas) pemerintah bisa dikelola lebih efisien dan akuntabel.

Gagasan ini mendapat respons positif Korps Pegawai Negeri Indonesia (Korpri). Ketua Korpri Zudan Arief Fakrulloh mengapresiasi bila pemerintah ingin bekerja sama dengan perusahaan online travel agent (OTA).

Menurut Zudan akan ada manfaat dari rencana kerja sama ini untuk keperluan perjalanan dinas. Ia pun mendukung rencana kerja sama ini, tapi tidak hanya dengan Traveloka.

“Saran saya buka kerja sama dengan semua lembaga yang mempunyai jasa seperti Traveloka ini,” kata Zudan kepada Tirto, Rabu (23/5/2018).

Sejauh ini, pria yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Kementerian Dalam Negeri ini mengaku belum bisa mengukur seberapa besar dampak upaya efisiensi perjalanan dinas dengan menggandeng perusahaan seperti Traveloka atau lainnya.

“[Saat ini] Belum bisa diukur,” kata Zudan.

Apresiasi juga disampaikan pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjajaran Yogi Suprayogi Sugandi. Yogi berpandangan pertemuan antara Traveloka dengan Sri Mulyani bila sampai terealisasi pada hal yang konkret punya kecenderungan untuk mengefisienkan anggaran perjalanan dinas. Apalagi pemerintah sudah memberikan tunjangan kinerja atau remunerasi.

Saat ini, kata Yogi, remunerasi PNS sudah cukup besar karena PNS mendapatkan remunerasi kerja, tunjangan penghasilan, hingga remunerasi lain untuk menghitung pengeluaran untuk biaya belanja pegawai.

Dalam konteks menghemat anggaran ini, menurut Yogi pertemuan Sri Mulyani dan Traveloka menjadi penting. Selain menghitung pengeluaran secara akurat dengan sistem yang dipunyai Traveloka, Yogi menyebut, pemerintah juga berusaha mengantisipasi kebocoran anggaran perjalanan dinas.

Ia mencontohkan standar biaya umum dalam perjalanan dinas PNS yang pergi dari Bandung ke Jakarta yang dipatok dengan biaya per hari Rp450 ribu. Namun, menurut Yogi, ada saja peluang mark-up uang perjalanan dinas untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

“Nah, sebaiknya itu diefisiensikan,” kata Yogi.

Yogi berharap kerja sama ini nantinya tak hanya dilakukan dengan Traveloka saja. Pemerintah, kata dia, harus terlebih dahulu mengkaji rencana kerja sama ini dengan melibatkan OTA lain agar tidak terjadi monopoli.

“Jadi prinsip ingin melakukan efisiensi dengan yang akuntabel tapi prosesnya juga harus dilakukan secara akuntabel juga,” kata Yogi.

Infografik CI Perjalanan Dinas PNS

Belum Tentu Efektif

Pertemuan Sri Mulyani dan Traveloka tak hanya memunculkan apresiasi. Kritik atas pertemuan itu juga muncul karena ide untuk mengefisienkan anggaran perjalanan dinas belum tentu tercapai bila benar-benar sudah terjadi.

Pegiat antikorupsi sekaligus Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Tri Sasongko punya pandangan berbeda dengan Zudan maupun Yogi. Dadang memandang inefisiensi perjalanan dinas pegawai pemerintah merupakan petty corruption (korupsi kecil) sehingga penanganannya bukan sebatas dilakukan dengan pertemuan dan kerja sama dengan penyelenggara online travel agent (OTA).

“Kemungkinan [kerja sama] itu [hanya] akan berakibat pada peningkatan efisiensi di tingkat pengadaan saja. Tidak menyentuh problem dasar di tahap perencanaan dan penganggaran perjalanan dinas,” kata Dadang kepada Tirto.

Ia malah menduga pertemuan Sri Mulyani dan Traveloka bukan mengarah kepada pembuatan konsep perdinas yang efisien, sebaliknya pemerintah sedang berusaha mengintegrasikan pembiayaan perjalanan dinas. Dugaan Dadang bisa saja terjadi lantaran sejauh ini pemerintah belum melakukan kerja sama dengan Traveloka, karena masih sebatas pembicaraan.

Senada dengan Dadang, Manajer Riset TII Wawan Heru Suyatmiko memberi beberapa catatan kritis terkait wacana efisiensi ini. Menurut Wawan rencana ini belum tentu mampu menekan pemborosan anggaran perjalanan dinas.

“Tidak signifikan, karena Traveloka adalah OTA, bukan lembaga otoritas yang menentukan harga transportasi dan akomodasi,” kata Wawan.

Harus Evaluasi Sebelum Kerja Sama

Sebelum kerja sama ini dilakukan, Wawan meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengevaluasi seluruh titik kebocoran dalam pengalokasian anggaran perjalanan dinas di kementerian dan lembaga. Ia mengatakan Kemenkeu perlu mengkaji ulang setiap Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKAKL) dan Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) secara reguler dan dihubungkan dengan capaian atau target pembelanjaan.

“Baru diperoleh kesimpulan efektif atau tidaknya,” kata Wawan.

Sejauh ini, Wawan mengatakan potensi penyelewengan anggaran dinas masih kerap terjadi dengan memainkan surat dinas fiktif. Ia mencontohkan mantan Bupati Talaud Elly Lasut pada 2010. Saat itu, pemerintah sudah berusaha menyelesaikan masalah dengan terbitnya aturan PMK 113/PMK.05/2012 dengan model at cost dan based in evidence.

Namun, masalah potensi korupsi ini tetap ada. Penekanan terhadap biaya ini hanya dimungkinkan dengan mengevaluasi menyeluruh terhadap semua item belanja barang, termasuk perjalanan dinas terlebih dahulu.

“Kemudian dengan penguatan tugas dan fungsi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah dalam implementasi pembelanjaan barang dan jasa.”

Baca juga artikel terkait PERJALANAN DINAS atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Bisnis
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih