Menuju konten utama
4 Februari 1948

Sri Lanka yang Terus Koyak karena Konflik SARA

Sri Lanka memiliki sejarah konflik panjang antara etnik Sinhala dan Tamil.

Sri Lanka yang Terus Koyak karena Konflik SARA
Ilustrasi Mozaik Konflik Sara di Sri Lanka. tirto.id/Tino

tirto.id - Sri Lanka, sebuah negara kepulauan tropis dan subur di Asia Selatan adalah rumah bagi beragam kelompok etnik dan agama. Berpenduduk lebih dari 22 juta jiwa, data CIA World Factbook menyebut negara ini mayoritas dihuni oleh etnik Sinhala (74,9 persen) disusul Sri Lanka Tamil (11,2 persen), Moor (9,2 persen), India Tamil (4,2 persen), dan lainnya (0,5 persen).

Sayangnya, keragaman penduduk itu juga menjadi bara dalam sekam. Sri Lanka menyimpan rentetan konflik etnik dan agama yang panjang. Masih amat segar di ingatan warga Sri Lanka tentang perang saudara yang melibatkan tentara pemerintah dan kelompok Macan Tamil yang berlangsung sejak 1983 dan baru berakhir 2009.

Selama perang saudara, orang Tamil kerap meledakkan diri di tempat-tempat publik strategis seperti bandara, stasiun, bus, bank, hingga kafe sebagai cara mereka melawan dominasi Sinhala.

Namun ketika perang saudara sudah usai, bom meledak di hari Paskah, menewaskan 235 orang dan melukai lebih dari 500 orang lainnya. Ini adalah teror bom paling mematikan dalam sejarah Sri Lanka.

Konflik Etnik Sejak Kemerdekaan

Sejak merdeka dari Inggris pada 4 Februari 1948, tepat hari ini 74 tahun lalu, Sri Lanka yang ketika itu bernama Ceylon sudah berkubang dalam konflik etnik antara mayoritas Sinhala dan minoritas Tamil. Council on Foreign Relations menyebut, pada tahun-tahun setelah kemerdekaan, Sinhala mewarisi kebencian kolonial terhadap Tamil yang dipandang sebagai orang-orang yang diistimewakan Inggris.

Akibatnya, Sinhala yang berdaulat atas politik mencabut hak pekerja buruh migran Tamil dari India, menjadikan bahasa Sinhala sebagai bahasa resmi negara menggantikan bahasa Inggris, dan menetapkan Buddha sebagai agama negara. Tindakan itu tentu mendapat tentangan keras dari pihak Tamil yang merasa didiskriminasi.

Sebagai langkah menghilangkan aroma kolonialisme, pemerintahan Sinhala mengubah nama negara dari Ceylon ke Sri Lanka pada 1972. Seiring nihilnya upaya merangkul minoritas Tamil, ketegangan etnik terus terpupuk. Pada 1976 sekelompok orang Tamil membentuk organisasi Pembebasan Macan Tamil Eelam atau akrab disebut Macan Tamil. Mereka mengampanyekan kemerdekaan tanah air Tamil di Sri Lanka utara dan timur tempat mayoritas etnis Tamil bermukim.

Pada 1983, iring-iringan tentara Sri Lanka diserang oleh kelompok Macan Tamil dan menewaskan 13 tentara. Aksi tersebut ternyata berbuntut sangat panjang karena menyulut amarah etnik Sinhala dan memicu kerusuhan. Antara 400 sampai 3.000 orang Tamil dibantai dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Juli Hitam ini sekaligus menandai awal dari meletusnya Perang Sipil Sri Lanka yang panjang dan melelahkan.

Selama peperangan, Macan Tamil menjadi organisasi pembebasan paling radikal. Aksinya terkenal dengan bom bunuh diri, perekrutan tentara anak, dan lainnya. Duit operasional Macan Tamil didapat dari sumbangan para diaspora Tamil di Kanada, Inggris, dan India. Tak jarang para diaspora Tamil menyumbang dana semata-mata karena ingin keluarganya selamat dari konflik. Amerika Serikat melabeli Macan Tamil sebagai organisasi teroris pada 1997.

Resolusi gencatan senjata kerap gagal meredam kedua pihak yang bertikai. Terjangan Tsunami 2004 sempat membikin konflik keduanya terhenti. Namun pembunuhan Menteri Luar Negeri Sri Lanka, Lakshman Kadirgamar pada 2005 kembali menyulut konflik.

Selama dua tahun berikutnya, pemerintah Sri Lanka dan Macan Tamil berulang kali melanggar perjanjian gencatan senjata. Organisasi pemantau HAM menyebut baik Macan Tamil dan pemerintah Sri Lanka sama-sama melakukan rangkaian pelanggaran HAM.

Sampai akhirnya pada Mei 2009, pemerintah Sri Lanka mengklaim telah mengalahkan semua milisi Macan Tamil dan perang dinyatakan selesai. Banyak anggota Macan Tamil, termasuk pemimpin mereka, dieksekusi mati. PBB memperkirakan pada puncak perang menjelang penumpasan total, sebanyak 40.000 warga sipil tewas. Jika ditotal, selama perang berlangsung, diperkirakan lebih dari 100.000 orang tewas terbunuh.

Meski dilakukan dengan cara-cara radikal dan ekstrem, aksi Macan Tamil selama perang saudara 26 tahun ini lebih tentang nasionalisme dan etnik ketimbang perang agama. Pascaperang, keluarga Tamil masih mencari ribuan orang yang hilang selama perang, dan berusaha merebut kembali tanah mereka yang masih dikuasai militer. Layanan kesehatan sibuk mengatasi trauma luar biasa akibat tontonan dan pengalaman kekerasan selama beberapa dekade.

Konflik Agama Pasca Perang Sipil

Harapan rakyat Sri Lanka untuk bersatu dan hidup damai dalam keberagaman untuk sementara tinggal angan. Perang saudara usai, giliran konflik agama yang mengambil alih wajah pertikaian di Sri Lanka.

Pada 2012, ormas Bodu Bala Sena (BBS) bentukan biksu Kirama Wimalajoth Nayaka Thera dan Galagoda Aththe Gnanasaara resmi berdiri. Misi yang mereka usung adalah membela agama Buddha dan nasionalisme Sinhala di atas segalanya. Mereka khawatir kelompok-kelompok minoritas, khususnya Islam, dapat meningkat secara jumlah dan pengaruh.

BBS terlibat dalam kerusuhan 2014 dengan Muslim Sri Lanka. Ketika itu, gerombolan BBS mendatangi desa-desa Muslim, menggeledah dan merusak rumah dan toko. Empat Muslim tewas dan puluhan luka dalam kerusuhan agama ini.

Kerusuhan serupa terulang di Kota Ampara pada 26 Februari 2018, dan menyebar ke Distrik Kandy pada 2 Maret. Properti warga Muslim diserang oleh beberapa umat Buddha dan BBS. Warga Muslim berbalik menyerang vihara-vihara Buddha dan warga Sinhala. Kerusuhan ini menewaskan dua orang dan belasan luka-luka dari pihak Sinhala, Muslim dan Polisi.

Dua kerusuhan peristiwa ini sejatinya dipicu masalah pertikaian jalanan saja yang seharusnya selesai di tingkat kepolisian. Namun karena melibatkan dua pihak yang memendam sentimen dan ditaburi pemanas lainnya, kerusuhan yang lebih luas tak terhindarkan.

BBS juga rajin menggelar aksi demo turun ke jalan menentang perusakan beberapa situs-situs Buddha yang diduga dilakukan oleh kelompok Islam ekstrem, menolak sertifikasi halal, dan menolak pendirian masjid di komplek situs Buddha Kuragala pada 2013.

BBS yakin bahwa Buddhisme di Sri Lanka dari hari ke hari semakin terancam. Tak cuma di dunia nyata, retorika anti-Muslim dan narasi ancaman Islam lainnya juga digelontorkan lewat media sosial. Pemerintah Sri Lanka sampai harus memblokir Facebook dan sejumlah media sosial lainnya saat kerusuhan anti-Muslim pecah di jalanan pada 2018.

Infografik Mozaik Konflik Sara di Sri Lanka

Infografik Mozaik Konflik Sara di Sri Lanka. tirto.id/Tino

Minoritas Kristen tak luput dari gangguan kebebasan beragama. Laporan Aliansi Nasional Kristen Injili di Sri Lanka (NCEASL) pada 2018, dikutip dari Reuters mencatat ada 86 insiden diskriminasi, ancaman dan kekerasan terhadap orang Kristen Sri Lanka. Tahun 2019 ada 26 insiden serupa termasuk insiden di mana para biksu Buddha diduga berusaha mengganggu pelaksanaan ibadah Minggu.

Meski begitu, belum ada catatan yang menunjukkan serangan oleh kelompok Islam Sri Lanka. Sampai akhirnya terjadi teror bom di Minggu Paskah 2019.

Karena itu, muncul pertanyaan: mengapa gereja yang jadi sasaran teror, padahal yang kerap bertikai selama beberapa tahun terakhir adalah kelompok Buddha dan Islam?

Menurut Damien Kingsbury, profesor School of Humanities and Social Sciences dari Deakin University dalam esainya di Conversation, ada kemungkinan bahwa aksi pemboman Minggu Paskah bukanlah pembalasan kepada kelompok ekstremis Buddha, tetapi merupakan bagian dari agenda jihad kekerasan yang lebih luas. Terlebih National Thowheeth Jama’ath (NJT) yang diperkirakan melakukan teror bom ini terinspirasi oleh gerakan ISIS.

Kelompok ekstremis di pihak Buddha dan Islam di Sri Lanka tentu tak mewakili keseluruhan umat Buddha dan Islam di sana. Tak sedikit dari mereka yang mengutuk keberadaan kelompok ekstrem di kubu masing-masing.

Tetapi aksi NJT yang tak mewakili sikap dan keyakinan seluruh umat Muslim di Sri Lanka telah melahirkan persekusi baru. Ada 500 orang yang harus mengungsi di suatu kota yang dirahasiakan demi keamanan. Nahasnya, mereka adalah warga Ahmadiyah yang melarikan diri dari Pakistan karena persekusi agama. Mereka dituduh bagian dari teroris dan didemo agar segera angkat kaki dari Sri Lanka.

"Orang-orang di Pakistan menyerang kami dan mengatakan kami bukan Muslim," kata Tariq Ahmed (58) kepada Associated Press. "Kemudian di Sri Lanka, orang-orang menyerang kami karena mereka mengatakan kami adalah Muslim."

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 29 April 2019. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait LEDAKAN DI SRI LANKA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Nuran Wibisono & Irfan Teguh Pribadi