Menuju konten utama

Spionase Cina di Amerika

Baru-baru ini sebuah balon milik Cina dituding sebagai alat mata-mata di Amerika. Sebelum itu banyak sekali kisah serupa.

Spionase Cina di Amerika
Angkatan Laut AS berupaya mengumpulkan puing-puing balon pengintai milik otoritas Cina setelah ditembak di sekitar Pantai Myrtle, South Carolina pada 5 Februari 2023. (A.S. Navy via AP)

tirto.id - Nuansa permusuhan kental terasa dalam relasi Cina dan Amerika Serikat sepanjang tahun lalu. Misalnya sikap kukuh administrasi Presiden AS Joe Biden untuk membela Taiwan dari potensi serangan militer Cina. Ketua DPR Nancy Pelosi juga menjadi pejabat tinggi AS pertama yang bertandang ke Taiwan dalam seperempat abad terakhir.

Administrasi Biden juga masih bersikeras mempertahankan tarif dagang tinggi warisan era Donald Trump demi memaksa Beijing mengakhiri praktik bisnis yang dianggap curang. Kemudian melarang ekspor semikonduktor ke daratan Cina, kebijakan yang disebut-sebut akan menimbulkan “guncangan geopolitik” karena mengancam keberlangsungan industri teknologi canggih di sana.

Hubungan Cina-AS sebenarnya sempat menghangat ketika kedua pemimpinnya bertatap muka langsung selama tiga jam—pertama dalam tiga tahun terakhir—di Nusa Dua, Bali, November silam. Kala itu Biden dan Presiden Cina Xi Jinping tidak menampik punya perbedaan prinsip dalam kebijakan luar negeri, namun mereka sama-sama mau mengupayakan hubungan lebih baik—atau mengutip Biden: “tidak perlu sampai ada Perang Dingin baru.”

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pun diagendakan melanjutkan kunjungan ramah-tamah ke Beijing pada awal tahun baru, sementara pada Natal silam administrasi Xi mengumumkan kesiapan Cina untuk bekerja sama dengan AS demi “pertumbuhan relasi Cina-AS yang sehat dan stabil.”

Sayangnya upaya Cina merekonsiliasi hubungan harus tersendat gara-gara balon meletus di langit. Ya, benar: balon. Tepatnya balon raksasa setinggi 60 meter dan diameter 27 meter.

Properti milik otoritas Cina itu terbang di langit AS pada 28 Januari dan diklaim oleh Beijing sebagai kapal terbang sipil untuk meneliti kondisi cuaca. Jika balon udara biasa punya keranjang untuk mengangkut penumpang, balon raksasa yang diperkarakan ini pada ujung bawahnya dilengkapi dengan panel tenaga surya dan sederet instrumen lain untuk merekam dan berkomunikasi.

Di pihak lain, Pentagon menduganya sebagai alat memata-matai AS, apalagi karena melayang di “kawasan sensitif”—mencakup area Montana yang merupakan salah satu lokasi silo nuklir. Berdasarkan pertimbangan awal Pentagon, aktivitas balon tidak menimbulkan ancaman sipil apalagi militer, namun para pejabat Washington menyimpulkannya sebagai “tindakan tidak bertanggung jawab dan jelas-jelas pelanggaran kedaulatan AS dan hukum internasional”—argumen yang jadi alasan Blinken untuk menunda lawatan pertamanya ke Cina.

Akhirnya, setelah mengudara sekitar satu minggu, pada 4 Februari silam Biden memerintahkan agar balon yang tengah melayang di atas perairan South Carolina itu dihancurkan. Prosesnya tampak dramatis dan heroik ala film laga Hollywood: ditembak dengan rudal AIM-9X Sidewinder dari pesawat tempur F-22 Raptor asal Pangkalan Udara Langley, Virginia. Puing yang berjatuhan di laut segera diambil oleh Angkatan Laut AS untuk dipelajari.

Ingar bingar penembakan balon dilanjutkan dengan pengumuman besar-besaran. AS membicarakan temuannya di hadapan 150 diplomat dari 40 kedutaan. Mereka diminta meningkatkan kewaspadaan dari potensi ancaman mata-mata Cina.

Laporan dari Washington Post mengungkap kesepakatan pandangan komunitas intelijen AS, bahwa balon tersebut merupakan bagian dari megaproyek mata-mata People’s Liberation Army (PLA) atau militer Cina. Salah satu indikator yang membuat balon tersebut dicurigai punya fungsi untuk memata-matai adalah karena ia berada pada ketinggian lebih dari 60 ribu kaki di atas permukaan laut, jauh melebihi pesawat komersial (30-40 ribu kaki).

Program ini sudah berlangsung sedininya pada 2018. Tujuannya, tegas mereka, tak lain untuk mengumpulkan informasi tentang aset-aset militer berbagai negara terutama yang jadi kepentingan strategis Beijing seperti Jepang, India, Vietnam, Taiwan, Filipina.

Lalu apa respons otoritas Cina? Mereka mengatakan terhadap perkara seremeh balon Washington telah “bereaksi secara berlebihan.” Sejumlah pakar politik di media propemerintah Cina Global Times ikut menyindir administrasi Biden, menyebutnya “histeris”, kurang punya kemampuan manajemen krisis, bahkan menuding reaksi Washington tak lebih dari “drama politik” yang sengaja dibuat dengan memanfaatkan “rasa takut, paranoia dan histeria massa.” Semua tidak lain untuk menjelek-jelekkan pemerintah Cina.

Dikutip dari Financial Times, pakar kajian Asia di Carnegie Endowment for International Peace, Paul Haenle, menilai kehebohan perkara balon Cina “menggarisbawahi kerentanan tinggi dalam hubungan Sino-Amerika dan potensinya untuk memburuk secara signifikan,” terutama apabila Ketua DPR baru dari kubu Republikan yang mendukung kebijakan lebih keras, Kevin McCarthy, merealisasikan rencana berkunjung ke Taiwan.

Sementara menurut David E. Sanger dari New York Times, polemik ini menegaskan betapa kurangnya komunikasi dua negara selama dua dekade terakhir, persisnya setelah insiden di atas perairan Pulau Hainan tahun 2001 silam. Kala itu pesawat mata-mata AS dan jet tempur Cina bertubrukan di udara. Akibatnya, seorang pilot PLA hilang dan seluruh kru AS ditahan. Setelah kejadian tersebut, kedua negara berkomitmen untuk memperbaiki cara mereka berkomunikasi dan mengelola krisis, namun faktanya tidak berjalan mulus.

Dengan insiden balon, rekonsiliasi Sino-Amerika tampaknya bakal sulit terwujud dalam waktu dekat.

Aneka Dugaan Spionase

AS gencar membongkar misi-misi spionase yang diduga dilakukan oleh mata-mata suruhan Beijing. Pada akhirnya, sepanjang awal abad ke-21, rasa curiga konsisten terpelihara dalam relasi Cina-AS.

Menurut survei dari think tank CSIS, setidaknya terdapat 160 kasus spionase oleh agen Cina selama 2000 sampai 2021. Meski hanya berdasarkan laporan publik sehingga mungkin jumlah sesungguhnya lebih besar, angka tersebut cukup memberikan gambaran tentang tingginya kasus spionase terkait pencurian data sensitif. Sebanyak 34 persen insiden merupakan upaya mengakses data teknologi militer AS, sementara 51 persen terkait dengan teknologi perusahaan AS.

Salah satu kasus terbaru menjerat Xu Yanjun, agen intelijen Departemen Keamanan Negara Cina. Direktur FBI Christopher Wray, yang sudah terbiasa mendapati insiden spionase Cina, mengomentari kasus Xu sebagai bagian dari “serangan terus-menerus oleh pemerintah Cina” yang menimbulkan ancaman bagi keamanan ekonomi sekaligus keamanan nasional AS.

November silam, pengadilan federal AS menjatuhkan hukuman penjara kepada Xu. Sepanjang 2013-2018, Xu dituduh menggunakan identitas palsu dan memanfaatkan perusahaan cangkang sampai jaringan universitas untuk mengakses informasi tentang teknologi mesin pesawat—salah satunya milik perusahaan penerbangan GE Aviation, bagian dari korporat General Electric Co. Xu juga menjadi mata-mata Cina pertama yang diekstradisi ke AS untuk diadili karena sebelumnya ditangkap dan ditahan di Belgia.

Sementara anak buah Xu, Ji Chaoqun, Januari kemarin dijatuhi hukuman 8 tahun penjara. Lulusan jurusan teknik elektro di kampus teknik di Illinois itu ditugaskan merekrut mata-mata dengan menyasar orang-orang Cina yang bekerja di AS sebagai teknisi, ilmuwan, atau staf di perusahaan kontraktor bidang pertahanan.

Tahun lalu, pemerintah AS menjatuhkan dakwaan pada dua agen Beijing yang berusaha mengeruk informasi tentang investigasi AS terhadap perusahaan telekomunikasi Cina. Salah satunya adalah Huawei yang dituduh sudah mencuri rahasia dagang dan data teknologi canggih milik AS.

Pada 2015, dugaan pencurian data teknologi dikonfirmasi melalui dokumen yang dirilis oleh mantan kontraktor National Security Agency, Edward Snowden. Kejadian ini melibatkan teknologi pesawat tempur tercanggih di dunia buatan perusahaan senjata AS Lockheed Martin, yaitu F-35 Lightning II generasi kelima. Terungkap bahwa hacker Cina berhasil membobol data dari Lockheed Martin sejak 2007. Temuan ini memperkuat dugaan yang selama ini beredar di kalangan pakar bahwa jet tempur baru produksi Cina, seperti tipe J-31 dan Chengdu J-20, punya fitur menyerupai F-35. Seluruh tudingan tersebut ditepis oleh otoritas Cina.

Di samping oleh agen rahasia, otoritas AS juga mencurigai upaya spionase dengan cara menguasai lahan di teritori AS.

Tahun lalu, produsen makanan bio-fermentasi asal Cina, Fufeng Group, menggelontorkan duit 2,3 juta dolar (Rp35 miliar) untuk membeli lahan seluas 300 hektare di negara bagian North Dakota. Di lahan tersebut kabarnya akan didirikan pabrik pengolahan jagung. Pemerintah daerah dan warga setempat awalnya menyambut positif karena itu berarti terbukanya lapangan kerja. Di luar itu muncul kekhawatiran karena letak lahan Fufeng tak sampai 20 kilometer dari Pangkalan Angkatan Udara Grand Forks, tempat dikembangkannya teknologi rahasia drone. Pabrik Fufeng pun dicurigai bakal jadi markas spionase.

Akhirnya, Januari kemarin, Angkatan Udara AS menyatakan bahwa proyek Fufeng bisa menimbulkan “ancaman signifikan untuk keamanan nasional.” Otoritas daerah lantas memutuskan tidak memberikan izin pembangunan.

Infografik Spionase Cina di AS

Infografik Spionase Cina di AS. tirto.id/Quita

Pola mirip juga pernah terjadi pada 2017. Tahun itu menandai dimulainya proyek pembangunan taman budaya Cina—disebut National China Garden—di National Arboretum, Washington DC. Sponsornya tak lain adalah pemerintah Cina. Mereka menganggarkan dana sampai 100 juta dolar (Rp1,5 triliun).

Sentra rekreasi National Arboretum setiap tahun menyedot sampai setengah juta pengunjung. Kehadiran taman budaya Cina diharapkan dapat meningkatkan jumlahnya sampai 40 persen. Selain alasan komersial, proyek taman Cina tersebut juga diharapkan bisa menambah simbol ibu kota Washington sekaligus kenangan baik dalam relasi Sino-Amerika.

Akan tetapi, setahun kemudian, komunitas intelijen AS mulai menyuarakan kekhawatirannya. Dilansir dari Wall Street Journal, proyek National China Garden berpotensi menjadi risiko keamanan nasional karena mencakup pembangunan menara setinggi 21 meter. Konstruksi tersebut ditakutkan akan menjadi titik penerima sinyal terkait data sensitif dari kompleks Kongres AS di Capitol Hill dan Gedung Putih yang letaknya tak sampai 8 kilometer.

Rencana pembangunan taman Cina itu pun akhirnya diam-diam dibatalkan.

Baca juga artikel terkait SPIONASE atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino