Menuju konten utama
Misbar

Spider-Man: Far from Home: Sedikit Segar, Sisanya Formula Lawas

Far from Home mengulang formula serupa seperti di Homecoming. Nyaris tak ada kebaruan.

Spider-Man: Far from Home: Sedikit Segar, Sisanya Formula Lawas
Trailer 'Spider Man Far from Home'. FOTO/imdb

tirto.id - Perang melawan Thanos dan bala tentaranya telah menguras energi pasukan Avengers. Thanos memang berhasil dikalahkan dan kedamaian di bumi dapat dikembalikan, termasuk nyawa jutaan manusia yang sempat ‘lenyap’ akibat ledakan Infinity Stone.

Meski begitu, tak semua berakhir bahagia. Ada konsekuensi yang mesti diterima: Avengers kehilangan sosok Tony Stark beserta baju zirah bekennya, Iron Man.

Kehilangan Iron Man—atau Tony Stark, terserah bagaimana Anda menyebutnya—membuat dunia berduka. Orang-orang lantas mengabadikan namanya lewat grafiti maupun prosesi ziarah yang tak henti-hentinya dilakukan tiap malam, dengan lilin yang menyala terang di bawah poster bergambar wajahnya.

Duka (mendalam) itu pula yang dirasakan Peter Parker (Tom Holland), remaja berusia 16 tahun asal Queens, New York, yang kebetulan jadi Spider-Man.

Peter sangat kehilangan sosok Tony. Untuknya, Tony bukan semata jenius super-kaya yang sombong, menyebalkan lagi arogan, tapi juga mentor, idola, dan, dalam taraf tertentu, seorang ‘ayah.’ Bersama Tony, Peter menjalin relasi yang sedikit canggung namun memancarkan keakraban yang mungkin hanya bisa dipahami oleh keduanya.

Kesedihan itu tetap terpancar di Spider-Man: Far from Home (selanjutnya Far from Home). Dalam beberapa kesempatan, Peter tertangkap tengah berandai-andai bila sosok Tony masih hidup. Pendek kata, Peter sulit move on.

Mengulang Formula yang Sama

“With great power, comes great responsibility.”

Petuah Ben Parker, paman peter, tak ubahnya mantra, rapalan, sekaligus pengingat bahwa menjadi superhero itu tak pernah mudah. Secara tidak langsung, Peter sudah diwanti-wanti oleh Ben: kekuatanmu bertambah, tanggung jawabmu juga.

Narasi tersebut menjadi salah topik dalam Far from Home. Tanggung jawab Peter kian besar. Terlebih, ia seperti seorang diri menghadapi segala laku kebatilan—tak ada Iron Man, apalagi Avengers yang lain di belakangnya.

Bentuk tanggung jawab itu digambarkan melalui warisan kacamata Stark—diberi nama EDITH—yang ditujukan khusus kepada Peter. EDITH merupakan kacamata canggih, yang bisa membuat Peter mengakses segala hal yang berhubungan dengan perkakas dan teknologi Stark Corp. Tony berharap kacamata itu mampu membantu Peter mengemban tugas sebagai superhero—melanjutkan kiprah Iron Man.

Tapi, rupanya Peter belum siap. Peter hanyalah pemuda biasa. Di luar sosoknya sebagai Spider-Man, Peter cuma ingin bersenang-senang, berkumpul dengan teman, dan jika diperbolehkan, jatuh cinta kepada perempuan yang sudah ditaksirnya sejak lama.

Dilema inilah yang lebih banyak digali di Far from Home. Pertarungan antara ‘tuntutan’ sebagai superhero dan realitas anak muda. Sutradara Jon Watts cukup baik menggali isu ini. Berkali-kali Peter terlihat galau ketika dihadapkan pada situasi yang serba tak mengenakkan: jadi pahlawan atau remaja biasa.

Sejak awal, Peter telah memutuskan untuk sejenak melepas baju superhero-nya. Ia ingin benar-benar menikmati masa remajanya dengan jalan-jalan ke Eropa bersama teman-temannya. Perkara “menyelamatkan dunia”, lebih baik ditanggalkan terlebih dahulu—kira-kira begitu pikirnya.

Adegan-adegan di mana Peter menjalani hidupnya yang ‘normal’ lumayan menghibur. Celetukan-celetukan receh khas remaja, entah soal cinta maupun kedewasaan dalam memandang hidup, terasa relevan di telinga. Saya menyaksikan penonton yang lain menikmati momen ketika Peter berupaya PDKT dengan MJ (Zendaya) atau saat Ned (Jacob Batalon) mengumbar kata-kata bijak tentang hubungan romantis.

Sayang, cuma itu yang bikin Far from Home menyenangkan untuk dilihat. Selebihnya, Watts menduplikasi formula serupa yang ia pakai di Homecoming (2017): dilema jadi superhero atau remaja sampai villain yang lahir karena terpinggirkan dan disepelekan. Nyaris tak ada yang berubah dari apa yang sebelumnya telah ditampilkan Homecoming.

Saya dapat memahami pendekatan Watts dalam meramu cerita Far from Home. Pilihan eksplorasi konflik, mungkin akan terasa terbatas mengingat semuanya sudah mencapai titik klimaks ketika Thanos berhasil dihempaskan.

Masalahnya, masih banyak hal yang bisa dijajaki. Watts, misalnya, bisa mengembangkan lebih jauh cerita setelah MJ mengetahui bahwa Peter adalah Spider-Man.

Menonton Far from Home memang menyenangkan di menit-menit awal. Setelahnya hanya memancing kebosanan, terlebih setelah muncul konflik dengan Mysterio, alias Quentin Beck (Jake Gyllenhaal), mantan pegawai Tony yang sakit hati karena diremehkan dan dipecat.

Infografik Misbar Spider man Far From Home

Infografik Misbar Spider man Far From Home. tirto.id/Quita

Tom Holland adalah Kunci

Spider-Man adalah salah satu franchise Marvel yang populer dan laris-manis di pasaran. Kondisi tersebut, mau tak mau, membuat segala sesuatu yang berhubungan dengan Spider-Man harus terlihat cocok dan sempurna, terutama soal siapa yang bakal memerankannya.

Perdebatan tentang siapa yang pantas jadi Spider-Man sempat muncul beberapa tahun lalu tak lama usai Tobey Maguire (bermain di tiga seri Spider-Man, dari 2002 sampai 2007) pensiun. Polemik ini akhirnya berakhir setelah Marvel menunjuk Andrew Garfield untuk memerankan Spider-Man di dua film The Amazing Spider-Man (2012 & 2014).

Penampilan Andrew sebetulnya tak buruk-buruk amat. Kelemahannya hanyalah ia terlalu kaku dalam menghidupkan sosok Peter. Di tangan Andrew, Peter Parker terlihat seperti orang bingung. Unsur kesegaran, yang digadang-gadang bakal muncul, pun tak terlihat. Beruntungnya, kekurangan Andrew berhasil diselamatkan naskah yang solid—beserta plot twist yang bikin nggerus di Amazing Spider-Man 2.

Selepas Andrew, Marvel kembali membuat audisi. Sosok Tom Holland pun terpilih sebagai pemeran Spider-Man dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Syukurlah, sejauh ini pilihan Marvel tak mengecewakan. Tom Holland adalah manifestasi sosok Peter Parker yang paripurna. Ia berhasil menghidupkan sosok Peter yang selama ini dicari-cari: pemuda jenius yang tak ragu ambil risiko, tapi juga bisa bersikap konyol tatkala dihadapkan perkara cinta.

Spider-Man ala Tom Holland adalah Spider-Man yang memandang segala ancaman di dunia dari kacamata seorang anak muda: tak perlu risau karena semua pasti ada jalannya.

Yang jadi masalah: tanpa bahan cerita yang matang dan segar, performa Tom dalam menghidupkan Spider-Man akan sia-sia belaka. Dan ini sudah mulai terlihat di Far from Home.

Baca juga artikel terkait FILM HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf