Menuju konten utama
8 Juni 1968

Spekulasi di Balik Pelaku Pembunuhan Martin Luther King Jr

James Earl Ray bersikeras bahwa dia bukan dalang pembunuhan King Jr. Ia mengaku telah dijebak oleh seorang pria misterius bernama Raoul.

Spekulasi di Balik Pelaku Pembunuhan Martin Luther King Jr
Ilustrasi Mozaik Martin Luther Jr. tirto.id/Tino

tirto.id - Martin Luther King Jr akan memberi orasi untuk mendukung gerakan demonstrasi warga kulit hitam di kota Memphis, Tennessee, pada Senin, 8 April 1968. Beberapa hari sebelum itu, ia juga akan bertemu dengan rekan-rekan sesama aktivis di kota tersebut. Maka, ia datang ke kota Memphis pada 3 April 1968.

Hari pertama di Memphis berjalan lancar. Ia sempat memberikan pidato di Gereja Kuil Mason. Tanggal 4 April, King Jr banyak berdiskusi dengan teman-temannya. Pukul 18.00, ia hendak menemui pendeta Samuel Kyles di kediamannya. Sebelum meninggalkan tempat tinggal sementaranya di lantai dua Lorraine Motel, dari balkon kamarnya ia terlebih dahulu menyapa rekan-rekan Southern Christian Leadership Conference (SCLC) yang berkumpul di area parkir.

Pada momen inilah King Jr mengalami nasib tragis. Tiba-tiba sebutir peluru menghantam sisi kanan bawah wajah hingga menembus dan mematahkan tulang belakangnya. Ia langsung tumbang berlumuran darah. Satu jam kemudian, King Jr dinyatakan tewas oleh dokter.

Berdasarkan keterangan para saksi, peluru datang dari arah kos-kosan yang terletak di depan lokasi kejadian. Setelah di cek, di rumah kos itu terdapat senjata dan teropong. Sidik jari berjejak di kedua benda itu.

Federal Bureau of Investigation (FBI) menemui titik terang dua bulan kemudian. Pada 8 Juni 1968, tepat hari 54 tahun lalu, polisi menangkap pelaku yang bernama James Earl Ray.

Pelaku adalah sosok yang berulang kali melakukan aksi kriminalitas. Dalam The Plot to Kill King (2016) William F. Pepper memaparkan catatan kelam pria kelahiran Illinois itu.

Ray sempat melakukan perampokan bersenjata yang membuatnya dihukum selama 20 tahun di penjara Missouri. Di tengah masa hukuman, atau setahun sebelum penembakan terhadap King Jr, ia kabur dari penjara. Ia lantas menjadi buronan polisi di seluruh Amerika Serikat dan hidup dari kota ke kota. Ia bahkan pernah lari ke luar negeri, yakni ke Meksiko dan Inggris, dengan menggunakan paspor palsu.

Ia ditangkap di London ketika hendak pergi ke Rhodesia. Kepolisian menduga kepergiannya ke negara di Afrika itu bertujuan untuk menghilangkan jejak kriminalitas. Pasalnya, Rhodesia dikenal sebagai negara yang kental dengan supremasi kulit putih.

Ray lalu dibawa ke Memphis. Ia mengaku telah membunuh King Jr tanpa diketahui pasti apa motifnya. Yang jelas ia sosok rasis karena mendukung supremasi kulit putih. Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman selama 99 tahun penjara.

Siapa Dalang di Balik Pembunuhan King Jr?

Jejak kriminalitas yang dilakukan sebelumnya, membuat publik tidak heran jika Ray menghabisi King Jr. Namun, bukan berarti tidak menimbulkan pertanyaan. Jika Ray adalah buronan, mengapa ia menembak King Jr yang kemudian membuka peluang untuk masuk penjara lagi? Mengapa ia beralih dari perampokan properti ke pembunuhan?

Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan pelbagai spekulasi.

Tahun 1950-an sampai 1960-an adalah tahun-tahun penting bagi King Jr. Ia dikenal sebagai tokoh yang lantang memperjuangan hak kulit hitam dan penghapusan supremasi kulit putih di AS. Ia berhasil menekan dan membuat malu pemerintah di mata dunia.

Konsekuensi dari tindakannya jelas membuat banyak pihak tidak suka terhadapnya. Ia akhirnya menjadi target amarah dan berulang kali mengalami percobaan pembunuhan. Pemerintah melalui FBI dibawah pimpinan J. Edgar Hoover pun turut memainkan peran penting untuk mengadang langkahna. Trevor Griffery di The Conversation menyebut, sejak tahun 1960-an FBI sudah memata-matai dan melakukan penyadapan terhadap King Jr.

Pelbagai tuduhan sempat disematkan kepadanya, mulai dari tuduhan pelecehan, perselingkuhan, hingga simpatisan komunis. Bahkan, beberapa hari setelah menyampaikan pidato yang terkenal bertajuk “I Have a Dream” (1963), FBI secara terang-terangan menyebut bahwa King Jr adalah “Negro paling berbahaya di masa depan bagi bangsa ini.”

Beberapa hari setelah ditangkap, Ray mengungkap keterlibatan orang misterius bernama Raoul. Fakta ini ditegaskan berkali-kali oleh Ray, termasuk dalam wawancara dengan salah satu stasiun TV AS pada tahun 1977.

Infografik Mozaik Martin Luther Jr

Infografik Mozaik Martin Luther Jr. tirto.id/Tino

Ray bersikeras bahwa dia bukan dalang pembunuhan dan hanya jadi kambing hitam. Ia mengaku telah dijebak oleh seorang pria misterius bernama Raoul. Pria itu menyuruhnya membeli senjata dan teropong, lalu menyewa kamar persis di lokasi penembakan. Ia mengaku tidak berada di lokasi kejadian. Namun, pemerintah federal menegaskan bahwa Ray adalah tersangka utama. Meski demikian, keluarga King Jr yakin bahwa terdapat konspirasi pembunuhan.

Tiga dekade setelah kematian King Jr dan setahun setelah Ray meninggal, terungkap fakta baru tentang pembunuhan King Jr. Pihak keluarga mengajukan gugatan perdata, bukan pidana, terhadap Loyd Jowers, pemilik kafe di lokasi pembunuhan King Jr.

Ajuan ini didasarkan pada ucapan Jowers dalam sebuah wawancara televisi tahun 1933. Jowers mengaku menyewa polisi untuk membunuh King Jr dari semak-semak di kafenya. Tindakan ini dilakukan karena ia mendapat uang dari seorang misterius yang menurutnya terkoneksi dengan mafia.

Melansir New York Times, juri dalam gugatan perdata keluarga King Jr memutuskan bahwa Jowers adalah bagian konspirasi pembunuhan King Jr tahun 1968. Pengadilan memerintahkan Jowers memberikan ganti rugi sebesar 100 US dolar.

Keputusan ini tidak berarti misteri kematian King Jr selesai begitu saja. Sebagaimana dicatat History, Departemen Kehakiman yang menyelidiki ucapan Jower menyimpulkan bahwa pernyataannya hanya bualan. Mereka menganggap Jowers dipaksa mengarang cerita untuk keuntungan finansial.

Baca juga artikel terkait MARTIN LUTHER KING JR atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi