Menuju konten utama

Soweto, 'Jalur Gaza' Afrika Selatan Tahun 1976

Afrika Selatan adalah Israel tahun 1948-1991: menjalankan sistem apartheid yang segegratif, represif, dan diskriminatif.

Soweto, 'Jalur Gaza' Afrika Selatan Tahun 1976
Pemberontakan Soweto di Afrika Selatan; 1976. FOTO/Sam Nzima

tirto.id - Warga Palestina di Jalur Gaza belum lelah menyuarakan aspirasinya. Sebanyak 30-an ribu orang bergerak menuju perbatasan Israel untuk berdemonstrasi dengan tema “Pawai Besar Kepulangan” selama enam minggu. Tenda-tenda telah didirikan sejak akhir Maret lalu pada lima titik, yakni dari wilayah Beit Hanoun di utara hingga ke wilayah Rafah di selatan, dekat perbatasan Mesir.

Mereka belum lupa dengan hari peringatan Nakba, yang berarti bencana, yakni ketika negara Israel berdiri pada tahun 1948 dan mengusir ratusan ribu orang Palestina dari tanah kelahirannya sendiri. Sejak momentum itulah para sejarawan menyatakan dimulainya okupasi Israel di tanah orang Palestina sebagai pendudukan terlama di era modern.

Mengutip Vox, Warga Jalur Gaza kembali memprotes blokade di darat, laut, dan udara oleh Israel yang membuat hidup mereka bak sedang berada di dalam penjara raksasa. Di dalamnya para penduduk hanya bisa mengakses listrik selama empat jam per hari. Hanya 10 persennya yang memiliki akses ke air bersih, dan angka pengangguran melesat hingga 46 persen.

Mayoritas demonstran berunjuk rasa secara damai dari tenda-tenda mereka yang berjarak beberapa ratus meter dari perbatasan yang dijaga ketat. Namun sebagian kecil lainnya mulai rusuh. Mayoritas demonstran muda membakar ban dan melempar batu serta bom molotov ke arah tentara Israel.

Tentara Israel datang dengan menenteng senjata berpeluru karet, peluru tajam, bom gas air mata, dan lain sebagainya. Seratus penembak jarak jauh juga disiagakan. Tak berapa lama kemudian aksi damai berubah menjadi horor saat batu dan molotov yang dilempar demonstran dibalas dengan peluru tajam.

Delapan belas warga Palestina tewas, ratusan lainnya luka-luka, sementara tentara Israel baik-baik saja. Sebelum demonstrasi Letjen Gadi Eizenkot dari Pasukan Pertahanan Israel menyatakan pasukannya tidak akan mengizinkan “infiltrasi massal” melampaui perbatasan Israel.

Mereka juga tidak akan mentolerir kerusakan pagar perbatasan selama aksi. Dalih ini kerap dipakai militer Israel dengan rumus “jika dirasa bahaya, tembakan boleh dilepas”.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia berbeda pendapat. Tentara Israel justru dituduh menggunakan kekuatan yang mematikan terhadap pengunjuk rasa yang tidak menciptakan ancaman besar. Pertumpahan darah ini menjadi yang terburuk sejak kedua pihak berhadap-hadapan langsung pada tahun 2014. PBB dan Uni Eropa sudah diminta untuk membuat penyelidikan internasional atas insiden ini.

“Ada insiden di mana tentara Israel menembak dari belakang pagar, dipisahkan oleh zona penyangga dan objek lainnua, menembaki orang-orang yang di baliknya. Orang-orang yang ditembak ini dalam posisi sedang mundur, bukan bergerak maju dalam rangka ingin menciptakan ancaman besar,” kata Omar Shakir dari Human Right Watch kepada Washington Post.

Reporter investigatif dan pengajar jurnalisme, Andrew Mitrovica, memberikan pandangan yang menarik di kolom opini Al-Jazeera, Minggu 91/4/2018). Cara Israel memperlakukan warga di Jalur Gaza serupa dengan Afrika Selatan memperlakukan warga Kota Soweto.

Soweto adalah daerah urban di bagian barat daya Johannesburg, Provinsi Gauteng, Afrika Selatan. Sebagaimana nasib daerah-daerah lain yang dijajah oleh elite kolonial minoritas kulit putih, Soweto juga terkena dampak kebijakan apartheid sejak disahkan tahun 1948. Istilah sosiologisnya “segregasi sosial” di mana korban diskriminasi dan represi hadir bagi masyarakat asli kulit hitam yang secara jumlah mayoritas, namun secara kekuatan politik lemah.

Segregasi juga diterapkan pemerintah Israel untuk memisahkan warga Palestina di Jalur Gaza dengan yang di Tepi Barat. Blokade dari dunia luar hanya salah satu dampaknya. Di Soweto protes-protes kecil muncul, namun belum tertampung menjadi satu gerakan utuh. Sementara itu dunia internasional berangsur-angsur memberikan dukungan bagi rakyat kulit hitam di Afsel yang terkena kebijakan apartheid.

Merujuk catatan Julian Brown dalam bukunya The Road to Soweto: Resistance and the Uprising of 16 June 1976 (2016), pemberontakan di Soweto atau dikenal sejarah dengan “Soweto uprising” bisa ditelusuri jejaknya mulai tahun 1974.

Di tahun tersebut muncul kebijakan Afrikaans Medium Decree yang memaksa siswa-siswa sekolah menggunakan bahasa campuran, setengah bahasa Afrikaans dan setengah bahasa Inggris. Bahasa asli mereka yang digunakan sehari-hari juga kian tersingkirkan. Oleh para siswa kebijakan ini dipandang sebagai represi kultural. Mereka pun protes.

Apartheid memunculkan pembagian kehidupan antara warga kulit hitam dan warga kulit putih. Antara yang terkungkung kemiskinan dan yang menikmati kesejahteraa. Antara yang diperlakukan tidak adil dalam berbagai bidang kehidupan, dengan mereka yang selalu mendapat “kue-kue pembangunan”. Dikotomi ini juga berlaku di sekolah-sekolah, antara siswa kulit hitam dan siswa kulit putih.

Pro-kontra berlangsung hingga puncaknya pada tahun 1976, tepatnya 30 April 1976, ketika siswa-siswa kulit hitam di Orlando West Junior School mogok belajar. Siswa di sekolah lain di Soweto terinspirasi sebab percaya mereka punya hak untuk diperlakukan dan mendapat pendidikan yang setara sebagaimana yang didapat siswa kulit putih.

Usai konsolidasi matang, pada pagi hari tanggal 16 Juni 1976 sekitar 10-20.000 siswa kulit hitam seantero Soweto bergerak menuju Stadion Orlando untuk menjalankan aksi protes damai. Banyak yang sebelumnya tak mengetahuinya saat baru sampai sekolah, namun kemudian turut serta.

Protes ini direncanakan oleh Komite Aksi Dewan Perwakilan Mahasiswa Soweto (SSRC) dengan dukungan dari Gerakan Kesadaran Kulit Hitam (Black Consciousness Movement), organisasi akar rumput yang berupaya mengakhiri apartheid sejak 1960-an. Guru-guru di Soweto juga mendukung pawai setelah SSRC menjanjikan peserta aksi akan disiplin dan damai.

Tak disangka-sangka, meski SSRC dan para siswa menepati janji mereka, polisi Afsel menilai aksi ini sebagai ancaman serius sehingga pada satu momen mereka mulai menembak. Serangan polisi menewaskan 23 orang pada hari pertama di Soweto. Salah satunya adalah Dr. Melville Edelstein yang mengabdikan hidupnya untuk kesejahteraan sosial bagi kalangan orang kulit hitam.

Narasi lembaga South African Democracy Education Trust dalam buku The Road to Democracy in South Africa: 1970-1980 (2004), kerusuhan lahir tak lama kemudian, dan berlangsung hingga malam hari. Rumah sakit dibanjiri anak-anak yang berlumuran darah. Polisi meminta rumah sakit untuk mendata korban kena peluru tajam untuk nanti mereka tangkap dengan tuduhan perusuh. Pihak rumah sakit menolaknya.

Sebanyak 1.500 polisi dikerahkan ke Soweto pada keesokan harinya, 17 Juni, dengan membawa senjata termasuk senapan otomatis, pistol listrik, dan karaben. Mereka berkeliling dengan kendaraan lapis baja dan helikopter. Tentara Afrika Selatan juga diperintahkan siaga sebagai langkah taktis untuk menunjukkan kekuatan militer—persis taktik tentara Israel.

Tidak ada catatan resmi tentang berapa jumlah korban meninggal. Media massa biasanya memberikan perkiraan 176 hingga 700 orang. Total siswa meninggal yang disiarkan pemerintah hanya 23, sementara yang terluka diperkirakan lebih dari seribu orang.

Di antara siswa pertama yang meninggal adalah Hastings Ndlovu (15) dan Hector Pieterson (13) yang ditembak di West Orlando. Fotografer Sam Nzima mengambil fot Hector Pieterson yang sedang sekarat saat sedang dibawa oleh Mbuyisa Makhubo dan saudara perempuannya, Antoinette Sithole. Foto itu tercatat sejarah sebagai simbol pemberontakan Soweto.

Infografik gaza di selatan afrika

Usai pemberontakan, represi negara memang makin ketat menyasar Soweto dan kota-kota di sekitarnya. Pemerintah Afsel menghentikan juga dukungan finansial untuk bidang perumahan. Namun kasus tersebut juga kian membakar semangat anti-apartheid di seantero Afsel. Aktivis anti-pemerintah dari Soweto bahkan meninggalkan negerinya untuk mengikuti pelatihan gerilya.

Dukungan komunitas internasional untuk gerakan anti-apartheid melalui gerakan boikot kian kencang. Kelak gerakan serupa yang bertajuk BDS (Boikot, Divestasi, dan Sanksi juga diterapkan aktivis dunia sebagai salah satu taktik menentang kolonialisme Israel di tanah rakyat Palestina.

Namun bedanya, gerakan tersebut, plus Pemberontakan Soweto, benar-benar punya dampak untuk mengakhir praktik apartheid di Afsel pada tahun 1991. Tanggal 16 Juni pun selalu diperingati sebagai Hari Anak Afrika Internasional tiap tahunnya.

Sementara di Jalur Gaza warga Palestina masih saja terkungkung represi, segregasi, dan diskriminasi Israel. Meski perjuangan telah berjalan bertahun-tahun, demonstrasi telah digerakkan berkali-kali, dan nyawa yang melayang terus bertambah.

Baca juga artikel terkait AFRIKA SELATAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf