Menuju konten utama

Sosrokartono Setia Memberi Pelayanan Sosial, meski Diawasi Belanda

Sepulang dari Eropa, Sosrokartono sasaran pengawasan intelijen kolonial. Mengabdikan diri menolong mereka yang membutuhkan bantuan.

Sosrokartono Setia Memberi Pelayanan Sosial, meski Diawasi Belanda
Ilustrasi Sosrokartono. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pekarangan rumah itu kelihatan asri. Beberapa pohon tegak berdiri meneduhi pekarangan luas yang sepi. Rumah di dekat kaki Gunung Merbabu itu, tepatnya di kota kecil Salatiga, adalah tujuan akhir seorang lelaki paruh baya berperawakan agak kurus.

Usai mengembara 28 tahun di Benua Biru, kata hati menuntunnya ke sana. Dulu, dia yang berusia 20 tahun berangkat sebagai lulusan terbaik Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang. Kini, dia pulang di umur genap enam windu dengan predikat berderet, mulai dari poliglot yang menguasai 35 bahasa, wartawan perang, penerjemah untuk Liga Bangsa-bangsa, hingga julukan si Jenius dari Timur.

Tapi pada akhirnya, lelaki itu benar-benar tak bisa menafikan apa yang diyakininya sebagai panggilan tanah air. Ditanggalkannya pula semua kemapanan hidup di Eropa: pekerjaan bergaji tinggi, fasilitas yang memadai, gairah intelektual, reputasi mentereng, serta jejaring kolega dari berbagai bangsa.

Tekad lelaki itu makin bulat usai datang sepucuk surat dari sang ibu beberapa minggu sebelum kepulangannya. Cepat, dia menumpang kapal Grotius dari Southampton. Setibanya di Batavia, dia beristirahat sejenak dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Salatiga dengan kereta api.

Begitu si lelaki memasuki pekarangan rumah, seorang pembantu terkesima mengenali sosok yang selama ini ditunggu-tunggu kepulangannya.

nDoro Sosrokartono!” demikian serunya.

Dan kembalilah segala rupa keramahtamahan Jawa yang lama tidak dirasakan Sosrokartono selama bertahun-tahun di Eropa. Pembantu itu lantas mengantarnya kepada perempuan sepuh yang dari rahimnya Sosrokartono terlahir: Nyai Ajeng Ngasirah.

Pertemuan mengharukan! Sosro bersimpuh pada ibunya, mencium kaki renta yang kini telah berkeriput. Air mata bercucuran. Tumpah semua kerinduan yang ditahan selama bertahun-tahun.

“Alhamdulillah, kau selamat. Kau selamat, Nak,” ucap Ngasirah terharu.

Rumah berpekarangan asri di Salatiga itu adalah kediaman R.A. Kardinah, putri kelima Adipati Ario Sosroningrat dan N.A. Ngasirah. Kardinah lahir pada 1881, empat tahun setelah Sosrokartono melihat terang dunia.

Sosrokartono kemudian mukim beberapa hari di Salatiga yang sejuk dan berkabut itu. Selain melepas rindu, Sosrokartono bercerita pada ibunya tentang apa saja yang dirasa perlu ceritakan: pengembaraannya di Eropa, persahabatan dengan orang-orang yang merentang dari berbagai suku dan bangsa, hingga kisahnya menyembuhkan seorang anak sahabatnya yang sakit hanya dengan tangan kosong.

Ngasirah tersedu-sedu ketika mendengar itu semua, sambil sesekali berucap syukur. Lebih dari kisah-kisah hebat itu, kepulangan Sosrokartono sudah cukup menjadi berkat dan kebahagiaan luar biasa bagi Ngasirah. Sekarang, Ngasirah hanya punya satu harapan: sang putra kembali pada kewajibannya sebagai seorang muslim.

“Sebelum kau cari pekerjaan di sini, pergilah ke Jawa Timur. Di sana ada seorang ulama besar, Nak. Ulama yang tak kau temukan di Eropa. Namanya Hasyim Asy’ari. Temuilah ulama agung dan mulia itu. Mintalah doa dan restu. Selamilah batinmu, agar Gusti Allah menerangi jalanmu dan tak menjauhkanmu dari jalan menuju-Nya,” pinta Ngasirah.

Sosrokartono mengangguk patuh. Dengan memohon doa restu, dia pun meneruskan perjalanannya.

Menjadi Guru dan Diawasi

Fragmen cerita kepulangan Raden Mas Panji Sosrokartono itu digambarkan sangat dramatik oleh Aguk Irawan M.N. dalam novel Sosrokartono (2018). Tentu tidak semua bagian cerita tersebut faktual, tapi cukup berhasil melukiskan pergumulan batin yang dialami kakak Raden Ajeng Kartini itu.

Setelah meninggalkan pekerjaannya di Liga Bangsa-bangsa yang dianggapnya telah menyalahi prinsip, Sosrokartono berniat mengampuh studi psikoteknik di Universitas Sorbonne, Prancis. Sayang, karena ijazah terakhirnya adalah bidang sastra, dia tidak diperkenankan mendaftar.

Pilihan pulang ke tanah air pun sebenarnya pilihan berat baginya. Pasalnya, Sosrokartono kurang mengikuti dinamika Hindia Belanda yang puluhan tahun ditinggalkannya. Lain itu, Sosrokartono juga harus menerima kenyataan bahwa dirinya sudah masuk dalam radar mata-mata pemerintah kolonial.

Sosrokartono kena cap sebagai “komunis” karena kedekatannya dengan orang-orang pergerakan nasional Indonesia sejak masa kuliah di jurusan Ilmu Bahasa dan Kesusastraan Timur Universitas Leiden, Belanda.

Terlepas dari itu semua, dia tetap pulang ke Hindia Belanda pada 1925. Dari Salatiga, Sosrokartono meneruskan perjalanannya ke Jawa Timur. Tentu, dia tidak melupakan ziarah ke pusara dua orang tercintanya: ayahnya Adipati Ario Sosroningrat yang dikuburkan di Kudus dan adik kesayangannya Raden Ajeng Kartini yang dikuburkan di Rembang.

Di Jawa Timur, Sosrokartono mengunjungi Mojowarno dan Jombang. Bertemu dengan sejumlah kiai dan melakoni tafakur di surau atau masjid yang dia lewati, Sosrokartono belajar arti kepasrahan dan menelisik batinnya. Salah satu buah perjalanan spiritual ini adalah pertemuannya dengan “Sang Alif” yang kelak dia jadikan semacam azimat dan menjadi salah satu butir filsafat kebatinan Jawa.

Enggan menetap di Batavia, Sosrokartono kemudian memilih Bandung sebagai kota tempat tinggalnya. Alasannya taktis saja, yaitu menjauh dari pusat pemerintahan kolonial dan mendekat pada para pemuka pergerakan nasional.

Salah satu aktivis pergerakan yang bergiat di Bandung adalah Sukarno. Di masa itu, Sukarno dan kawan-kawannya tengah merintis jalan politik melalui Algemeene Studie Club. Kelak, pada 4 Juli 1927, Sukarno dan kawan-kawannya mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Kepada organ berasas nonkooperasi yang vokal menyuarakan kemerdekaan Indonesia itulah, Sosrokartono memberikan dukungan dan kepercayaannya. Dia pun bersetia menempuh asas yang sama dengan menolak tawaran jabatan dari pemerintah kolonial. Padahal, tawaran itu cukup mentereng: direktur Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional) dan penasihat urusan bumiputra.

“Penolakannya itu kemudian membuat dirinya dan aktivitasnya makin ketat diawasi Belanda,” catat Muhammad Muhibbudin dalam biografi R.M.P. Sosrokartono: Kisah Hidup dan Ajaran-ajarannya (2019, hlm. 180).

Jalan pedang yang kemudian ditempuh Sosrokartono adalah menjadi guru di Taman Siswa. Dia sendirilah yang datang melamar pekerjaan tersebut pada Ki Hadjar Dewantara. Taman Siswa tentu saja tak mungkin menolak guru dengan latar cemerlang seperti Sosrokartono.

Ki Hadjar lantas menjadikan Sosrokartono sebagai kepala sekolah Taman Siswa Nationale Middlebare School Bandung. Karena tidak memiliki rumah tinggal, Sosrokartono diperbolehkan turut tinggal di kompleks Taman Siswa di Jalan Pungkur No. 7.

Selain menjadi kepala sekolah, Sosrokartono juga menjadi tenaga pengajar bersama sejumlah aktivis muda, seperti Ir. Sukarno, Dr. Sjamsi, Mr. Soenario Sastrowardojo, dan Dr. Oesman Sastroamidjojo.

Sejak itu, Sosrokartono turut aktif mendiseminasikan ide-ide nasionalisme kepada murid-muridnya dan juga orang-orang pribumi mana saja yang tertarik.

“Selain tempat belajar, Taman Siswa di Jalan Pungkur No. 7 ini juga menjadi pusat pelatihan kepanduan ‘Nationale Padvinders Organisatie’ dengan Abdul Chalim sebagai pimpinannya,” tulis Muhibbudin (hlm. 202).

Sosrokartono percaya bahwa pendidikan adalah jalan terbaik menanamkan gagasan nasionalisme dan pembebasan tanah air. Karena keyakinan ini pula, kecurigaan pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadapnya semakin besar. Konsekuensinya, bukan hanya pengawasan terhadap dirinya saja yang makin ketat, tapi juga terhadap Taman Siswa.

Dalam laporan intelijen kolonial, Sosrokartono dicap tak layak dipercaya dan aktivitasnya dianggap membahayakan stabilitas dan keamanan. Sebagai tindak lanjut, pemerintah kolonial mengutus Dr. Kieviet van de Jonge, sahabat karib Sosrokartono, untuk membujuknya berpaling dari lingkaran pergerakan nasional. Namun, Sosrokartono tegas menolak.

“Bangsa saya sudah lama terhina, tertekan, sengsara, akibat bangsa Tuan. Bila saya dan teman-teman saya aktif dalam pergerakan ini, ini semata-mata demi kebebasan bangsa kami agar bisa bebas seperti bangsa Tuan,” tukas Sosrokartono.

Meski dirinya sendiri dalam tekanan, Sosrokartono justru lebih mengkhawatirkan lembaga tempatnya mengajar dan bernaung. Demi keselamatan Taman Siswa, Sosrokartono akhirnya memilih mengundurkan diri pada akhir 1927.

Meski begitu, Sosrokartono tetap melanjutkan kontrak rumah di Jalan Pungkur no. 7. Dia lantas menjadikannya padepokan kebatinan bernama Dar Oes Salam (Darussalam) yang bermakna “rumah perdamaian”. Sejak itulah, Sosrokartono meniti jalan baru sebagai pakar kebatinan dan pekerja sosial.

Infografik Sosrokartono

Infografik Sosrokartono. tirto.id/Sabit

Menyelami Kebatinan

Meski Sosrokartono menjauh dari hiruk-pikuk pergerakan, Padepokan Dar Oes Salam tidak lantas jadi sepi. Di mata orang-orang yang mengaguminya, priyayi Jepara itu tetaplah seorang cerdik pandai yang menguasai bermacam pengetahuan untuk menyelesaikan masalah sehari-hari—terutama gangguan kesehatan, baik jasmani maupun rohani.

“Mukjizat” kesembuhan yang dialami orang-orang yang datang menjadikan Sosrokartono semakin dikenal sebagai juru penyembuh yang mujarab. Tak hanya itu, masih banyak julukan yang disematkan padanya, di antaranya Dokter Cai, Dokter Alif, sampai Wonder Dokter dari kalangan Belanda. Dia pun dikenal ringan tangan.

Karenanya, orang-orang yang sering ditolongnya menjadikan kontrakan Dar Oes Salam tak ubahnya wisma pengobatan untuk bermacam-macam penyakit. Lewat praktik pengobatan alternatif itu, Sosrokartono mendapat kesempatan mengasah kepekaan pada sesama, terutama yang mengalami kesulitan.

Selain mencari kesembuhan, orang-orang juga mendatangi Sosrokartono untuk mencari pemecahan atas masalah yang dihadapinya. Sosrokartono pun terbantu mendalami kebatinan yang perlahan-lahan ia dapatkan lewat berbagai laku spiritual dan tirakat.

Hingga akhirnya, aktivitas Sosrokartono itu menarik minat anggota-anggota Boedi Oetomo cabang Bandung. Dengan semangat kesukarelaan, mereka membentuk komunitas bernama Keloearga Monosoeko yang berpusat di Dar Oes Salam. Komunitas ini berfokus pada asketisme spiritual à la Sosrokartono dan membuka perguruan yang menerima siapa pun yang tertarik mengangsu ilmu kerohanian. Mereka sekaligus membantu Sosrokartono menjalankan tirakat dan pengabdian masyarakat sehari-hari.

Selain sebagai wisma pengobatan, Dar Oes Salam pun difungsikan menjadi perpustakaan yang sebagian besar koleksinya adalah koleksi pribadi Sosrokartono selama mengembara di Eropa.

Merasa belum terpuaskan dengan diam di kontrakan dan menunggu orang-orang yang meminta bantuan, Sosrokartono memutuskan pergi mengembara sendirian ke kota lain maupun desa-desa. Di sepanjang perjalanan, banyak orang yang membutuhkan dibantunya secara spontan. Semuanya dia lakukan secara cuma-cuma.

Kepada orang-orang yang ditemui atau dibantunya di perjalanan, Sosrokartono mengaku bernama Mandor Kloengsoe atau Djoko Pring. Kadang-kadang, seorang yang hendak membalas budi baik Sosrokartono hanya mampu memberinya biji pohon asem ataupun cabai rawit, maka itu sajalah yang menjadi makanan Sosro di perjalanan.

Namun, dengan perbuatannya, nama Sosrokartono kerapkali mendahului sosoknya. Tidak jarang, ketika dia memasuki sebuah kota, rakyat dan priyayi setempat telah ramai menanti kedatangannya. Sambutan hangat ini beberapa kali dia ceritakan dalam surat-surat yang dikirimnya dari berbagai kota kepada penghuni Dar Oes Salam.

Dua puluh dua tahun terakhir dari sisa hidupnya, Sosrokartono tidak pernah berpaling dari suatu pencarian panjang tentang jati diri. Sosrokartono masih terus memberi pelayanan sosial dengan dibantu Keloearga Monosoeko, meski pertambahan usia membuatnya beberapa kali jatuh sakit saat melakoni puasa dan tirakat.

Pengabdian tersebut baru benar-benar berakhir saat Sosrokartono berpulang pada 8 Februari 1952 dalam usia 74 tahun.

Baca juga artikel terkait PERGERAKAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi