Menuju konten utama

Soroti Ginjal Akut, Ombudsman Usul RUU Kesehatan Atur Surveilans

Menurut Ombudsman, GGAPA dilatarbelakangi oleh minimnya peran Pemerintah dalam melakukan pengendalian faktor risiko melalui fungsi surveilans.

Soroti Ginjal Akut, Ombudsman Usul RUU Kesehatan Atur Surveilans
Seorang pengunjung mengenakan kaos bertulis 'Kukira Obat Ternyata Racun' dalam sidang gugatan perwakilan kelompok ('class action') gagal ginjal akut anak di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (9/3/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.

tirto.id - Ombudsman RI menyatakan telah melakukan Investigasi Atas Prakarsa Sendiri (IAPS) terhadap kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Pada Anak (GGAPA) yang terjadi pada akhir tahun 2022.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih, dalam acara penyerahan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan diskusi publik RUU kesehatan bersama DPR RI.

“Berdasarkan hasil pemeriksaan, terjadinya GGAPA dilatarbelakangi oleh minimnya peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pengendalian faktor risiko,” kata Najih di Gedung Ombudsman, Jakarta Selatan, Selasa (11/4/2023).

Merespons hasil ini, Najih menyampaikan Ombudsman RI mengusulkan tugas dan fungsi pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan surveilans diatur dalam RUU Kesehatan.

“Ombudsman RI menilai RUU Kesehatan belum memaksimalkan peran pemerintah untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengendalian risiko melalui pengaturan fungsi surveilans secara komprehensif,” ujar Najih.

Evaluasi ini diusulkan agar ketersediaan sumber daya kesehatan (Sumber Daya Manusia dan sumber pembiayaan) baik di tingkat pusat dan daerah terjamin ketika melakukan kegiatan-kegiatan pengendalian risiko.

Selain itu, dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, upaya kesehatan yang perlu dilakukan Pemerintah didorong tidak hanya memperhatikan dari tindakan kuratif maupun rehabilitatif.

“Akan tetapi penguatan dalam kegiatan promotif dan preventif dapat mengurangi angka kesakitan seseorang untuk mendapatkan tindakan kuratif,” tambah Najih.

Ombudsman RI juga menilai, RUU Kesehatan belum mengatur secara rinci perihal kader kesehatan.

“Peran Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai garda terdepan ini dapat dioptimalkan dengan adanya penambahan tenaga kesehatan lainnya yaitu melalui kader kesehatan yang sudah dibekali dengan kompetensi. Sehingga diharapkan mampu menekan angka rujukan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Rujukan Lanjutan,” jelas Najih.

Sorotan lain Ombudsman RI untuk RUU Kesehatan adalah belum mengakomodir hak-hak kesehatan untuk kelompok rentan dalam memperoleh layanan kesehatan.

“Pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan,” ujar Najih.

Ombudsman RI berharap RUU Kesehatan dapat mengatur masyarakat dan juga sumber daya manusia yang menjadi garda depan pemberian layanan kesehatan baik yang berada di fasilitas kesehatan pertama, fasilitas kesehatan rujukan, termaksuk tenaga kesehatan yang mendukung pemberian layanan kesehatan.

“Pada akhirnya Ombudsman Ri berharap agar RUU Kesehatan ini nantinya menjadi kebijakan yang membuka lebar ruang bagi semua pemangku kepentingan untuk mengawasi implementasi UU Kesehatan kelak,” tutup Najih.

Baca juga artikel terkait RUU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri