Menuju konten utama
Obituari

Soerjadi Soedirdja, Seorang Jenderal dan Mimpinya di Jakarta

Soerjadi Soedirdja adalah jenderal ke-6 yang menjadi Gubernur Jakarta. Memimpikan Jakarta punya kereta bawah tanah dan memulai rencana reklamasi.

Soerjadi Soedirdja, Seorang Jenderal dan Mimpinya di Jakarta
Soerjadi Soedirdja. FOTO/perpustakaan.kemdikbud.go.id

tirto.id - Nyamannya Jakarta bagi para pembesar daripada Orde Baru membuat kota ini terus bertambah besar. Tak cukup lahan di daratan, maka laut pun disulap jadi daratan lewat reklamasi. Di masa Soerjadi Soedirdja menjadi Gubernur DKI Jakarta (1992-1997), wacana proyek reklamasi Teluk Jakarta mulai digulirkan. Rencananya, reklamasi itu bakal memanjang sejauh 32 km, dari Angke hingga Marunda, dengan lebar 1,5 km. Presiden Soeharto memberikan restu untuk rencana reklamasi itu.

“Pengalaman memang ada seperti di Pantai Ancol dan Pantai Muara, Pantai Indah Kapuk, atau di tempat-tempat lain tetapi tidak seluas proyek reklamasi yang saya sebutkan tadi,” aku Soerjadi dalam Mengemban Tugas Kepamongan: Antara Keinginan dan Keterbatasan (1997, hlm. 88).

Meski eksesnya bakal merusak lingkungan, rezim Orde Baru tetap menganggap reklamasi sebagai solusi pembangunan Jakarta. Soal reklamasi itu, Soerjadi mengatakan, “saya menyambut dengan perasaan optimis proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta karena manfaatnya sangat besar, baik dari aspek ekonomi maupun pelestarian lingkungan.”

Lain itu, lebih dari dua dekade silam, Soerjadi sudah membayangkan Jakarta akan punya kereta bawah tanah. Pasalnya, angkutan umum adalah soal penting bagi Jakarta yang merupakan pusat perekonomian dan bisnis. Kota yang baik adalah kota dengan angkutan umum yang baik, dalam artian aman, murah, dan minim polusi. Di negara maju, yang diandalkan sebagai angkutan umum bukan bus, melainkan kereta.

“Di Jakarta justru keadaannya terbalik, presentase terbesar pengguna jasa angkutan menggunakan sarana angkutan umum bus dan kendaraan bermotor lainnya, sedangkan sarana kereta api hanya mengangkut penumpang dalam jumlah relatif kecil,” tulis Gubernur Soerjadi (hlm. 98).

Menurut Soerjadi, kereta bawah tanah adalah solusi transportasi alternatif bagi rakyat Jakarta yang kekurangan angkutan umum. Namun, pembangunan sarana transportasi semacam itu butuh proses yang sangat panjang di Indonesia.

Masalah lain yang juga ingin diatasi Pemerintah DKI Jakarta era Soerjadi adalah perumahan. Di periode 1992-1997, Jakarta menjadi medan lalu-lalang sekira 9,5 juta penduduknya dan karena itu tempat tinggal menjadi kebutuhan yang krusial. Terlebih, jumlah penduduk Jakarta tiap tahunnya terus bertambah.

Masalahnya, lahan di Jakarta sudah semakin sempit. Lahan yang ada bukan hanya tidak cukup untuk membangun rumah yang layak, tapi juga harus diperhitungkan untuk bangunan perkantoran, industri, dan fasilitas umum untuk masyarakat sendiri.

Soerjadi dalam memoarnya (hlm. 92) mengatakan, “Sejak awal saya berpendapat, bagi warga kota Jakarta, hidup di rumah susun sudah tidak dapat dielakkan. Lama kelamaan, suka maupun tidak suka, warga kota Jakarta harus tinggal di rumah susun.”

Soerjadi berharap dengan semakin banyaknya rumah susun, Jakarta akan memiliki lebih banyak lahan yang dapat difungsikan sebagai ruang terbuka hijau. Itu penting karena ruang terbuka hijau bisa menjadi daerah resapan air dan paru-paru kota.

Soal banjir, tentu jangan ditanyakan lagi. Seperti para gubernur pendahulu dan penerusnya, Soerjadi Soedirdja juga bergelut dengan banjir yang hampir tiap tahun datang.

Namun, tidak semua rencana Soerjadi terlaksana di masa jabatannya yang hanya satu periode. Program impiannya, seperti kereta bawah tanah (MRT) dan reklamasi Teluk Jakarta, malah baru benar-bernar berjalan jauh setelah dia lengser.

Tentara Jadi Gubernur

Soerjadi Soedirdja bukanlah insinyur tata kota sebelum jadi gubernur. Sebagaimana banyak pejabat daerah di era Orde Baru, dia adalah tentara. Pria kelahiran Jakarta, 11 Oktober 1938, ini semula menjadi taruna di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang, Jawa Tengah. Setelah lulus dari AMN pada 1962, karier militernya bermula dari tugas sebagai pasukan tempur hingga kemudian jadi komandan teritorial.

Kota kelahirannya sejak 1945 dipimpin oleh orang sipil. Tren militer menjadi pejabat daerah, institusi negara, atau bahkan pimpinan BUMN baru dimulai pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Sejak itu, Jakarta sempat beberapa kali dipimpin oleh jenderal. Soerjadi sendiri adalah jenderal ke-6 yang menjadi Gubernur Jakarta.

Soerjadi adalah salah satu lulusan terbaik AMN peraih penghargaan Garuda Yaksa. Penghargaan itu menjelaskan prestasi fisik, mental, dan akademik dari Soerjadi yang berasal dari kesatuan infanteri. Soerjadi masuk batalyon infanteri di daerah setelah latihan kecabangan Infanteri pada 1963. Dia dapat pangkat letnan dua dan menjadi komandan peleton.

“Setelah lulus dari Akademi Militer tahun 1962, saya ditugaskan di Daerah Istimewa Aceh tepatnya di Bireuen,” aku Soerjadi (hlm. 2).

Infografik Soerjadi Soedirdja

Infografik Soerjadi Soedirdja 11 Oktober 1938-3 Agustus 2021. tirto.id/Fuad

Setelah bertugas di Aceh, Soerjadi pernah pula berdinas di Bandung, Sukabumi, Semarang, dan tentu saja Jakarta.

Kenaikan pangkatnya dari letnan dua hingga mayor cukuplah cepat. Menurut catatan buku Siliwangi Dari Masa Ke Masa (1979, hlm. 546), pada 1973, Soerjadi sudah mulai menjabat sebagai Komandan Batalyon Infanteri 310/Kidang Kencana di Cikembar, Sukabumi. Soerjadi pernah pula menjadi kepala staf lalu komandan dari Brigade Infanteri 15/Kujang II.

Di luar jabatan di satuan pasukan tempur, Soerjadi pernah punya pengalaman sebagai komandan territorial. Antara Desember 1975 hingga Juli 1977, Soerjadi memimpin Komando Distrik Militer (KODIM) 0618/Bandung. Pangkatnya saat itu adalah Letnan Kolonel. Antara 1982 hingga 1984, Soerjadi menjadi pimpinan Komando Resort Militer (KOREM) 064/Maulana Yusuf di Banten. Dia lalu menjadi Kepala Staf Komando Daerah Militer (KODAM) Diponegoro, Jawa Tengah pada periode 1986 hingga 1988. Lepas itu, Soerjadi menjadi Panglima KODAM Jaya, Jakarta, hingga 1990.

Setelah itu, Soerjadi mulai berkarier di markas besar ABRI. Dari 1990 hingga 1992, sebelum ditunjuk menjadi Gubernur Jakarta, Soerjadi menjabat sebagai Asisten Sosial Politik ABRI.

Ketika Abdurachman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden RI, Soerjadi ditunjuk menjadi Menjadi Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Tahun berikutnya, tugasnya bertambah lagi karena merangkap pula sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan.

Kemarin, pada 3 Agustus 2021, Soerjadi Soedirdja akhirnya tutup usia. Soerjadi dikabarkan wafat di usia 83 tahun setelah sempat dirawat di Rumah Sakit Mayapada, Jakarta.

Baca juga artikel terkait GUBERNUR JAKARTA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi