Menuju konten utama
Obituari

Soemarsono di antara Pertempuran Surabaya dan Peristiwa Madiun

Karena dianggap memberontak, Soemarsono terbuang. Orang lupa bahwa ia juga pembela Republik sejak awal kemerdekaan.

Soemarsono di antara Pertempuran Surabaya dan Peristiwa Madiun
Soemarsono. tirto.id/Sabit

tirto.id - Mungkin tak akan ada yang mengingat lagi namanya jika saja polemik pada medio Agustus 2009 itu tak terjadi. Pak tua ini sudah jauh mengasingkan diri di Australia. Ia bahkan jadi warga negara sana. Karenanya, wajar jika hari ini hanya segelintir orang yang tahu namanya.

Tapi, rupanya sejarah punya cara sendiri untuk bicara.

“Dia yang kita bicarakan ini tentu tokoh yang amat terkenal kala itu. Namun, namanya tidak masuk buku sejarah. Bahkan, tidak pernah lagi disebut-sebut orang, entah sudah berapa puluh tahun. Namanya pendek: Soemarsono. Bisa dipanggil Marsono, Mar, atau bahkan Son saja.”

Demikian tulis Dahlan Iskan dalam “Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya” yang terbit di koran Jawa Pos edisi Minggu, 9 Agustus 2009. Naskah itu—juga dua naskah lanjutannya lagi—menuturkan kisah-kisah tentang Soemarno yang jarang diketahui orang.

Mengawal Pertempuran 10 November 1945

Soemarsono diingat karena posisinya sebagai Gubernur Militer Madiun menjelang dan selama gegeran Madiun 1948. Tetapi, sejatinya ia sudah memulai kiprah sejak masa pendudukan Jepang. Bukan di Madiun, melainkan di Surabaya.

Dari penelusuran Benedict Anderson, di masa pendudukan Jepang Soemarsono ikut gerakan bawah tanah jaringan Sutan Sjahrir. Ia direkrut Djohan Sjahroezah—sahabat dekat dan penghubung jaringan Sjahrir. Ia juga terkoneksi dengan jaringan Amir Sjarifoeddin di Surabaya. Kaitan inilah yang membuatnya dekat dengan eksponen komunis selama masa Revolusi.

Setelah proklamasi Soemarsono bersama Ruslan Widjaja mengajak kaum buruh penyulingan minyak di Surabaya membentuk organisasi. Maka berdirilah Angkatan Muda Minyak pada 21 Agustus 1945. Sejak itulah nama Soemarsono terkenal di kalangan pemuda.

Pada bulan-bulan pertama usai proklamasi lelaki kelahiran Kutoarjo, 22 September 1921 ini menjalin hubungan dengan pimpinan organisasi pemuda lain di Surabaya. Ia juga ikut rapat-rapat raksasa dan kampanye kemerdekaan. Salah satunya adalah rapat raksasa di Lapangan Tambak Sari pada 11 September.

“Setelah R. Sudirman dan Doel Arnowo, masing-masing Residen Surabaya dan kepala KNI Jawa Timur, memberikan pidato dengan nada berhati-hati dan bijaksana, Sumarsono, pada waktu itu tokoh pemuda paling terkemuka di kota itu, membuat seruannya sendiri yang lebih radikal kepada massa pemuda yang berkumpul di situ,” tulis Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (2018: 144).

Setelah itu Soemarsono tak pernah absen dari peristiwa-peristiwa penting yang mengarah pada pertempuran 10 November 1945.

Pada 19 September 1945 ia ikut di antara kerumunan massa yang merobek bendera Belanda di Hotel Yamato (Hotel Oranje), Tunjungan. Ia juga ikut bersama Krissubanu, Ruslan Widjajasastra, dan Kaslan mendirikan Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada 23 September.

Pada 28 Oktober ia terlibat dalam pertempuran melawan tentara Sekutu yang pecah di seantero Surabaya. Hari itu Brigade Infanteri ke-49 Inggris melakukan pendudukan sejumlah kantor penting di Surabaya dan melucuti senjata para laskar. Tentu saja, PRI menolak dan memilih mempertahankan diri.

Seperti diuraikan Ben Anderson (hlm. 185), sekira pukul 17.00 Soemarsono pergi ke kantor radio dan berpidato. "Lebih baik kita mati berkalang tanah daripada kehormatan dan kemerdekaan RI diinjak-injak. Merdeka atau mati!" teriaknya di depan mikrofon. Dan malam itu Surabaya membara.

Pertempuran itu berhenti keesokan harinya berkat kedatangan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Soemarsono yang memimpin pasukan di daerah Wonokromo justru kesal pertempuran berhenti. Karena menurut perhitungannya hanya tinggal selangkah lagi pemuda Surabaya memenangi pertempuran.

Peran yang dijalaninya kala itu tentu bukan peran kecil. Namun, hari ini jika mengingat tentang pertempuran Surabaya, Bung Tomo lah nama yang selalu disebut, bukan Soemarsono. Padahal ia adalah ketua PRI yang merupakan organisasi pemuda terbesar di Surabaya.

Kepada Dahlan, Soemarsono tua tak lagi mempersoalkan siapa yang seharusnya terkenal. Baginya itu hanyalah soal pembagian peran belaka. Ia lebih banyak bergiat di lapangan, sementara Bung Tomo bekerja di radio.

”Itu karena dia terus mengobarkan semangat rakyat lewat radio. Itu dia lakukan sebagai tugas karena dia memang menjabat ketua bidang penerangan di PRI,” ujar Soemarsono kepada Dahlan.

Petualangan di Madiun

Selepas pertempuran Surabaya, Soemarsono bergiat di Pesindo. Dari sini ia kembali erat dengan lingkaran kiri di bawah komando Amir Sjarifoeddin. Ia sempat masuk dalam jajaran anggota Dewan Pertahanan Negara bentukan Kementerian Pertahanan pada 1946. Ia juga pernah terlibat dalam Badan Pendidikan Tentara sebagai salah seorang anggota komisi.

Lagi-lagi di bawah komando Amir Sjarifoeddin, Soemarsono masuk dalam Biro Perjuangan. Bersama Djokosoejono, seorang tokoh Pesindo, lelaki dengan nama alias Samio itu bertugas mengkoordinasikan kebijakan Kementerian Pertahanan dengan kegiatan laskar-laskar di daerah.

“Dalam melaksanakan tugasnya di Kementerian Pertahanan, Soemarsono dan Djokosoejono mendapatkan pangkat tituler perwira tinggi Mayor Jenderal,” tulis Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016: 85).

Ketika pecah huru-hara Madiun pada September 1948, Soemarsono berada di pihak Front Demokrasi Rakyat—koalisi di mana Pesindo bernaung. Soemarsono lah yang mengumumkan pengambilalihan Madiun pada malam 18 September. Keesokan harinya, pasukan Soemarsono melucuti kesatuan-kesatuan Siliwangi dan Corps Polisi Militer (CPM) di selingkup Madiun.

Dalam catatan Norman, FDR lalu membentuk Pemerintahan Front Nasional di Madiun. Oleh pemerintahan baru ini Soemarsono diangkat jadi Gubernur Militer Madiun. Namun, usia pemberontakan ini tak lama. Pada 27 September TNI sudah bisa menguasai keadaan dan menumpas para petualang politik ini.

“Setelah Insiden Madiun, Pesindo kehilangan sebagian besar kekuatan politik, kelaskaran, serta tokoh-tokohnya. [...] Soemarsono sendiri lolos dari ancaman eksekusi TNI karena melarikan diri ke wilayah pendudukan Belanda,” tulis Norman (hlm. 119).

Usai dari Madiun, nama Soemarsono meredup. Setelah G30S 1965 ia ditangkap dan dipenjara selama sembilan tahun. Setelah itu ia memutuskan hijrah ke Australia. Pada Selasa, 8 Januari 2019, Soemarsono mangkat dengan status sebagai warga negara Australia.

Minta Maaf kepada Keluarga Korban

Dahlan Iskan menemui Soemarsono ketika ia berkunjung ke Jakarta pada pertengahan 2009. Dahlan juga mengajaknya mengunjungi beberapa keluarga korban afair Madiun 1948. Jawa Pos edisi 3 September 2009 mengabarkan bahwa Soemarsono telah meminta maaf kepada keluarga korban saat kunjungannya itu.

Banyak kisah yang dituturkan Soemarsono kepada Dahlan. Sayangnya, Dahlan hanya bisa memublikasikan kisah Soemarsono di Surabaya. Sepak terjangnya di Madiun urung dipublikasikan karena keburu menyulut penolakan dan polemik.

Graha Pena, kantor Grup Jawa Pos di Surabaya, didemo puluhan orang dari Front Anti Komunis pada awal September 2009. Mereka memprotes naskah Dahlan yang dianggap mempromosikan tokoh komunis.

”Dalam teks sejarah, nama Soemarsono masih belum dicabut sebagai antek PKI. Tulisan tentang Soemarsono merupakan legitimasi bahwa sosoknya adalah pahlawan. Kami sangat sakit hati dan kami tidak ingin digigit ular dua kali,” ujar sejarawan Universitas Negeri Surabaya Aminudin Kasdi yang ikut dalam demonstrasi itu.

Infografik Soemarsono

Infografik Soemarsono

Narasi-narasi penyeimbang terkait sejarah kelam selalu ditolak. Rupanya, sekali salah karena berontak, selamanya ia harus ditulis bersalah. Bahkan, sikap jumud semacam itu dilanggengkan justru oleh sekalangan akademisi.

”Sejarah memang versinya yang menang. Lha, gimana, kalah kok njaluk sejarah,” tutur Aminudin sebagaimana dikutip koran Jawa Pos edisi 4 September 2009.

Demonstrasi di Graha Pena sembilan tahun lampau itu tak hanya diisi tuntutan dan orasi. Para demonstran juga mempraktikkan ritual primitif khas orang-orang antiintelektualisme: mereka ramai-ramai membakar buku karya Soemarsono, Revolusi Agustus: Kesaksian Pelaku Sejarah, yang baru terbit.

Sejak polemik Soemarsono itu, hingga kini keadaan tak banyak berubah. Polemik dan pembakaran buku Soemarsono cuma salah satu peristiwa antiintelektualisme yang agaknya akan terus berulang. Hanya bentuknya saja yang beda. Dulu buku dibakar, kini buku dirazia.

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan