Menuju konten utama
13 Agustus 2007

Soekitman, Polisi Asal Sukabumi Saksi Pembantaian di Lubang Buaya

Kisah polisi muda berpangkat rendah yang diadang pasukan Cakrabirawa dan dibawa ke Lubang Buaya. Ia saksi pembantaian sejumlah petinggi Angkatan Darat.

Soekitman, Polisi Asal Sukabumi Saksi Pembantaian di Lubang Buaya
Ilustrasi Mozaik Soekitman. tirto.id/Nauval

tirto.id - Berbekal ijazah Sekolah Rakjat, Soekitman merantau ke Jakarta hendak mengadu nasib. Dari Cimanggu, Pelabuhan Ratu, ia menuju ke rumah kakaknya yang bekerja di Pegadaian Salemba. Cita-citanya menjadi polisi.

“Waktu itu daftarnya di Hoofdbureau, depan Istana Negara," ujar Soekitman.

Ketika mendaftar, seperti ditulis Sri Mulyani Sugiarto dalam Peranan Anggota Polri Agen Polisi Tk. II Sukitman (1995), nomor pendaftarannya telah habis. Soekitman tak menyerah. Kepada petugas, ia mengaku berasal dari kampung, sebuah pelosok yang sangat jauh dari Jakarta. Ia pun akhirnya dapat mengikuti tes dan diterima masuk Sekolah Polisi Negara (SPN) di Kramat Jati.

Pada 1 Januari 1963 Soekitman dilantik sebagai Agen Polisi tingkat II, pangkat terendah dalam kepolisian saat itu. Meski demikian ia tetap bangga.

“Menjadi seorang polisi yang gagah lengkap dengan senjata dan sepatu tinggi,” ucapnya seperti dikutip Sri Mulyani Sugiarto.

Soekitman pertama kali bertugas di Seksi VII Kebayoran, Jakarta, tepatnya sekitar Jalan Iskandarsyah. Sebagai anggota Perintis (Sabhara) ia biasa berpatroli di sekitar daerah Blok M memakai sepeda Phoenix. Sebelum lulus dari SPN, ia juga sempat dilibatkan dalam pengamanan Asian Games 1962 di Senayan.

Menjelang malam 1 Oktober 1965, sekitar pukul 17.00 WIB, Soekitman dan para polisi lainnya mengikuti apel di markas Seksi VIII.

“Mereka [seperti biasa] dibekali (dipesani) oleh komandan peleton mereka, Brigadir Polisi Abdul Salam, untuk senantiasa waspada,” tulis Soemarno Dipodisastro dalam Kesaksian Sukitman: Penemu Sumur Lubang Buaya (2006:2).

Bersama Agen Polisi Soetarso, sejak pukul 21.00 mereka berpatroli dengan sepeda ke seputaran Blok M.

“Hingga pukul 00.00 tidak terjadi sesuatu hal yang mencurigakan atau tetap aman-aman saja,” tulis Sri Mulyani mengutip Soekitman.

Setelah berpatroli, mereka kembali ke posnya. Menjelang Subuh, sambil terus berjaga dan waspada, Soekitman mengelap sepedanya.

“Si Kitman ini memang rajin banget sih ngebersihin sepedanya,” kata Soetarso.

Ketika sedang mengelap sepeda itulah Soekitman mendengar suara tembakan dari arah utara, daerah Jalan Trunojoyo sekitar Markas Besar Angkatan Kepolisian (Mabak) yang sekarang bernama Mabes Polri. Meski tidak terlalu yakin suara tembakan dari sekitar Mabak, tapi Soekitman tetap memeriksanya.

“So, saya akan cek dulu, mungkin Mabak diserang,” ujar Soekitman kepada kawannya.

Sambil bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan yang berani menyerang Mabak, ia pun segera meluncur dengan terburu-buru tanpa sempat memperhatikan rambu-rambu lalu lintas.

Meski suara tembakan terus terdengar dan semakin kerap, namun tak membuatnya gentar. Soekitman terus melaju mendekati sumber tembakan. Saat kayuhannya kian cepat, tiba-tiba ia diadang oleh sekelompok bersenjata di sekitar Jalan Hasanuddin 53, Blok M. Waktu itu ia tidak tahu jika dirinya dihentikan di sekitar rumah Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan.

“Berhenti, turun dari sepeda, lemparkan senjata. Angkat tangan!” perintah salah seorang pengadang.

Soekitman segera diseret ke dalam mobil. Kedua tangannya diikat dan matanya ditutup. Sementara sepeda dan senjatanya direbut.

Ia kemudian dibawa ke Lubang Buaya. Menggunakan mobil yang berbeda, kelompok bersenjata juga membawa jenazah Brigjen D.I Panjaitan. Penyerangan itu dipimpin oleh Sersan Mayor Soekardjo anggota Brigade Infanteri 1 Jaya Sakti, pimpinan Kolonel Abdul Latief. Mereka tak hanya membunuh Brigjen D.I Panjaitan, tapi juga menewaskan keponakannya.

Setelah tiba di Lubang Buaya, ia mendengar salah seorang dari kelompok bersenjata itu berkata, “Yani wis dipateni (Yani sudah dibunuh).” Sebagaimana perkiraan Soekitman, Yani yang mereka maksud adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad).

Dalam keremangan Subuh, ia melihat korban penculikan yang masih hidup dianiaya sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam sumur dengan posisi kepala terlebih dahulu, lalu diberondong peluru.

Sambil berteriak "ganyang kabir! (kapitalis birokrat)," satu persatu korban penculikan mereka habisi. Soekitman bergidik, kengerian menjalari sekujur tubuhnya. Dalam benaknya terbayang bahwa ia hanya menunggu giliran.

Menurut pengakuan Ishak Bahar kepada Tirto, Soekitman awalnya memang akan turut dibunuh namun dicegah oleh dirinya.

“Tidak boleh ini, orang tidak apa-apa,” ucap mantan pasukan Cakrabirawa itu yang juga berada di Lubang Buaya.

Senjata Soekitman yang telah patah mereka kembalikan, lalu ia disuruh naik jip yang biasa dipakai Letkol Untung dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Infografik Mozaik Soekitman

Infografik Mozaik Soekitman. tirto.id/Nauval

Membantu RPKAD Menemukan Sumur Maut

Karena kelelahan, Soekitman tertidur di bawah sebuah truk di pangkalan udara tersebut. Saking letihnya, suara tembakan bersahutan hanya terdengar sayup dan tak mampu membangunkannya. Saat terjaga pasukan telah berganti, bukan lagi kelompok yang membawanya ke Lubang Buaya pada Jumat pagi menjelang Subuh.

Kepada pasukan baru itu ia mengaku dirinya adalah polisi yang dibawa pasukan penculik dari Kebayoran. Ia tak bisa memastikan siapa saja orang-orang yang diculik dan dibunuh di Lubang Buaya. Soekitman hanya bisa menginformasikan bahwa mereka yang dihabisi adalah orang-orang yang diteriaki "kabir" oleh para pembunuhnya. Polisi berpangkat rendah itu kemudian dibawa ke markas Resimen Cakrabirawa.

“Malam minggu saya diperiksa oleh letnan kolonel, namanya Ali Ebram,” kata Soekitman.

Kepada perwira intelejen Cakrabirawa yang sempat bertugas di Banteng Raiders Jawa Tengah itu ia berkisah. Soekitman menuturkan apa yang ia lihat dan alami sejak malam Jumat saat dirinya tengah berjaga di posnya. Ketika cerita sampai kepada jenderal bintang dua yang dianiaya dan dibunuh, Ali Ebram berseru sambil menggebrak meja, "Itu bapak saya!"

Dari sana Soekitman baru tahu bahwa jenderal bintang dua itu adalah Mayor Jenderal Siswondo Parman, asisten intelijen Ahmad Yani. Seperti Ali Ebram, Siswondo Parman juga berasal dari Jawa Tengah. Malam itu Soekitman tidur di markas Resimen Cakrabirawa.

Esok paginya, ia dibawa ke Kodam Jaya untuk bertemu dengan Pangdam Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah. Selanjutnya ia dibawa ke Cijantung dan bertemu Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Setelah itu ia membantu RPKAD menemukan sumur maut, kuburan para jenderal dan perwira Angkatan Darat.

Pada zaman Orde Baru, dalam sebuah wawancara di TVRI pada acara "Gema Pancasila", Sarwo Edhi Wibowo menyebut Soekitman berjasa dalam menemukan para korban penculikan Gerakan 30 September. Seingat Soekitman, wawancara itu tayang pada 6 Oktober 1980.

“Kok kamu belum disekolah-sekolahkan?” tanya Sarwo Edhi Wibowo saat bertemu Soekitman pada 1982.

Sebagai orang kecil yang berpangkat rendah, Soekitman hanya bisa tersenyum. Setelah itu Sarwo Edhi Wibowo menulis surat kepada Kapolri Jenderal Awaloeddin Djamin. Atas bantuan Sarwo Edhi Wibowo, pada Agustus 1982 Soekitman akhirnya dimasukkan ke Sekolah Calon Perwira (Secapa) Polri selama empat bulan di Sukabumi.

Pada awal 1983, Soekitman ditempatkan di Brigade Motor. Dan saat pensiun pada 1998, pangkatnya adalah Ajun Komisaris Polisi yang setara dengan Letnan Kolonel Kepolisian. Di Kota Depok pada 13 Agustus 2007, tepat hari ini 13 tahun lalu, polisi asal Sukabumi yang menjadi saksi pembantaian di Lubang Buaya itu mengembuskan napasnya yang terakhir.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 3 Oktober 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait GERAKAN 30 SEPTEMBER atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh Pribadi