Menuju konten utama

Soekanto dan Cita-Cita Kepolisian Sipil Sebagai Penjaga Keamanan

Soekanto, Kapolri pertama, membangun fondasi polisi sipil sebagai antitesis polisi kolonial. Tapi, hal tersebut tak berlangsung lama dan gagal.

Soekanto dan Cita-Cita Kepolisian Sipil Sebagai Penjaga Keamanan
Ilustrasi Mozaik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Surat kabar Kedaulatan Rakyat pada 4 Juli 1946 mewartakan kondisi seorang polisi sebagai berikut:

“Tjoba kita gambarkan; kita sampai di perempat djalan, berdiri di sitoe seorang orang berpakaian poetih. Tjelana poetih, kemedja poetih. Kita lihat: dia mengatjoengkan lengannja, ke kiri, ke kanan. Kita lantas heran. Apa artinja ini? Kita menengok ke kiri ke kanan, kita berpikir, berpikir... tentoe kita tidak lantas mengerti, bahwa orang jang berpakaian poetih itoe agen poelisi pengatoer laloe lintas. Sebab kita tak bisa mentjioem, bahwasanja dia anggauta pada poelisi jang kewadjibannja mendjaga ketenteraman dan keamanan.”

Artikel berjudul "Polisi Sonder Uniform" itu menampar keras Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang saat itu menjadi pimpinan tertinggi Kepolisian Republik Indonesia. Saat itu, kepolisian digambarkan sebagai instansi yang tak dikenal oleh publik karena tidak memiliki identitas yang jelas.

Tapi, Soekanto menghadapi problem yang jauh berat ketimbang perkara seragam ketika menyusun Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Ia ditantang untuk membuat citra polisi republik berbeda dari polisi kolonial. Trauma dan memori yang melekat pada polisi kolonial masih segar dalam ingatan rakyat yang bahkan belum genap setahun merasakan kemerdekaan. Polisi digambarkan sebagai antek-antek londho sekaligus representasi negara kolonial.

Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (2011) menulis kepolisian kolonial dibentuk atas dasar ketakutan dan kecemasan serta perhatian berlebih dari bangsa Eropa (Belanda) kepada rakyat koloni. Jauh sebelum Marieke, pada 1936, George Orwell juga mengemukakan bahwa tujuan pembentukan kepolisian di daerah koloni adalah sebagai simbol imperialisme dan keangkuhan Eropa atas wilayah dudukan mereka.

Citra negatif kepolisian kolonial merupakan implikasi dari tugas pokok mereka dalam menegakkan legitimasi politik negara kolonial itu sendiri. Onghokham dalam Runtuhnya Hindia Belanda (1987) menyebut polisi menjadi alat yang mangkus sebagai surveillance system karena negara kolonial adalah politiestaat yang dibangun atas dasar kecurigaan dan ketakutan.

Sementara itu, Allan Akbar dalam Memata-matai Kaum Pergerakan (2013) juga telah membedah eksistensi suatu badan dalam kepolisian kolonial yang bertugas sebagai mata-mata, yakni Politiek Inlichtingen Dienst (PID). Tokoh-tokoh pergerakan mulai dari Sukarno, Sjahrir, hingga Tan Malaka sudah sangat 'akrab' dengan gerak-gerik dan personel PID ini.

Tak ayal setelah proklamasi dikumandangkan, kantor-kantor kepolisian di berbagai daerah diserbu oleh pemuda-rakyat. Rakyat yang dendam mengekspresikannya dengan membakar kantor polisi sekaligus melucuti senjata mereka. Bahkan menurut Anton Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi (1989, hlm. 170-171), banyak anggota polisi di Pekalongan yang diculik, dibunuh, serta dijarah harta bendanya oleh massa rakyat. Patih Kabupaten Pemalang sekaligus penilik kepolisian, R. Soemarto, ditahan oleh gerakan pemuda-rakyat.

Dekolonisasi dan Kegagalan

Persis setelah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kedua pada 19 Agustus 1945, Presiden Sukarno menunjuk Soekanto, seorang instruktur pada sekolah polisi Sukabumi, untuk memimpin Kepolisian Negara. Instruksi Sukarno membuktikan bahwa secara de facto polisi lahir lebih dulu dibanding angkatan perang (tentara). A.H. Nasution, konseptor Dwifungsi ABRI, dalam TNI Djilid 1 (1968, hlm. 32) mengungkapkan kekecewaannya atas sikap tersebut. Dia mengatakan Sukarno terkesan takut untuk mendirikan tentara, yang kemudian hari membuat Indonesia kewalahan menghadapi peperangan.

Soekanto menghadapi kenyataan bahwa selama masa vacuum of power, hanya polisi yang memiliki senjata sehingga tergolong sebagai kombatan. Soekanto menilai situasi seperti ini akan mengubah karakter polisi sipil yang dicita-citakannya. Soekanto teringat bagaimana gewapende politie (polisi bersenjata) bertindak serampangan karena bias karakter yang dipengaruhi jiwa militeristik. Maka Soekanto menginginkan pembatas yang jelas antara fungsi pertahanan (defense) yang harusnya diemban oleh tentara dan fungsi keamanan (security) yang diemban oleh kepolisian.

Situasi yang tidak kondusif lalu memaksa ibu kota republik berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Saat itu, Soekanto sudah dibujuk oleh Nederland Indies Civil Administration (NICA) untuk membentuk pasukan polisi bersenjata yang berpatroli bersama menjaga ketertiban, yang diberi nama Civil Police. Namun, menurut Awaloeddin Djamin dan G. Ambar Wulan dalam Jenderal polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo (2016), Soekanto menolaknya dan kemudian memindahkan markas pusat Kepolisian Negara ke Purwokerto.

Pembenahan dimulai setelah markas pindah. Tindakan taktis yang diambil adalah mengangkat R. Soemarto sebagai Wakil Kepala Kepolisian Negara atas persetujuan Soekarno pada Juni 1946. Kemudian Soekanto juga menyusun struktur kepolisian di wilayah, dimulai dari karesidenan, kabupaten, hingga kecamatan. Konsolidasi juga termasuk mengintegrasikan polisi dengan laskar yang selama ini membantu.

Tujuan konsolidasi adalah menghindari dampak yang lebih luas dari keterlibatan polisi sebagai kekuatan politik dari residen seperti yang terjadi pada masa kolonial. Hal ini terjadi lantaran secara struktural kepolisian masih berada di bawah Kementerian Dalam Negeri sehingga tugas polisi di daerah merupakan kewenangan dari residen/bupati. Soekanto menginstruksikan kepada masing-masing anggota polisi baik eks Algemeene Politie, Polisi Istimewa, anggota Keisatsu, dan juga Keibodan untuk bergabung bersama Kepolisian Negara.

Kedekatan Soekanto dengan Perdana Menteri Sjahrir membuahkan suatu hal berharga bagi Kepolisian Negara. Melalui Penetapan Pemerintah No. 11/SD Tahun 1946, Kepolisian Negara dipisahkan dari Kementerian Dalam Negeri dan dibuatkan jawatan tersendiri yang langsung berada di bawah Perdana Menteri. Arsip Sekretariat Negara RI No. 235 mencatat isi maklumat atas pemisahan Kepolisian Negara dari Kementerian Dalam Negeri kemudian diperingati sebagai Hari Bhayangkara.

Soekanto baru benar-benar fokus membenahi kepolisian dari unsur-unsur kolonial semenjak pengakuan kedaulatan di akhir 1950.

Falsafah hidup polisi negara yang dituangkan dalam Tri Brata merupakan usul yang dikemukakan oleh Prof. Prijono kemudian disahkan pada 1954. Di dalam Tri Brata terdapat kredo, rastra sewakottama, yang berarti Polri adalah abdi utama dari nusa dan bangsa. Ini menjadi antitesis dari kredo polisi kolonial yakni voor de handhaving van recht en orde (untuk penegakan hukum dan ketertiban). Hal simbolik semacam ini sangat penting bagi Soekanto sebagai pembentuk korpgeest sekaligus paradigma baru untuk Polisi Negara.

Infografik Soekanto dan Cita-cita Polisi Sipil

Infografik Soekanto dan Cita-cita Polisi Sipil. tirto.id/Fuad

Kedaulatan Rakyat (2 Juli 1956) melaporkan Wakil Presiden Mohammad Hatta menyinggung kembali posisi polisi dalam negara dalam amanat pada Hari Bhayangkara. Hatta bertutur bahwa pada zaman penjajahan, kepolisian adalah alat politik pemerintah kolonial. Pada masa kemerdekaan, katanya, polisi harus menjadi pembimbing dan teman rakyat supaya bisa menyelenggarakan keamanan yang diinginkan oleh rakyat. Kepolisian harus menjadi polisi rakyat bukan menjadi alat politik penguasa yang bisa berbuat sewenang-wenang.

Usaha Soekanto untuk membentuk polisi sipil yang ideal terhenti setelah dirinya diberhentikan pada 14 Desember 1959. Tak lama berselang, Undang-undang Pokok Kepolisian No. 13 Tahun 1961 disahkan. Undang-undang ini mengatur tentang kedudukan dan integrasi kepolisian dalam tubuh angkatan bersenjata. Otomatis bersama jabatannya cita-cita Soekanto juga pupus sudah.

Institusi sipil yang dasarnya belum kuat lalu dikembalikan pada ranah militeristik dan bertahan selama puluhan tahun membuat Polri sulit berbenah walaupun telah melewati masa Reformasi.

==========

Bambang Widyonarko adalah peneliti lepas yang mendalami peranan polisi dalam lingkup era Revolusi (1945-1950). Saat ini juga bekerja sebagai asisten peneliti lapangan untuk Nederland Institute for Military History (NIMH).

Baca juga artikel terkait SEJARAH POLRI atau tulisan lainnya dari Bambang Widyonarko

tirto.id - Hukum
Penulis: Bambang Widyonarko
Editor: Rio Apinino