Menuju konten utama

Soeharto dan Pemimpin Junta Militer Burma Didikan Militer Jepang

Indonesia punya Soeharto dan Burma punya Ne Win. Keduanya bekas serdadu didikan Jepang.

Soeharto dan Pemimpin Junta Militer Burma Didikan Militer Jepang
Jenderal Soeharto, duduk selama upacara di Jarkata, Indonesia, di mana ia secara resmi dilantik oleh Kongres sebagai penjabat presiden baru menggantikan Presiden Sukarno. FOTO/AP

tirto.id - Dwifungsi tidak hanya dipilih sebagai jalan terbaik menurut para jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di era Orde Baru, tapi juga para jenderal angkatan bersenjata Myanmar alias Tatmadaw. Mereka tertarik untuk mengembangkan konsep yang dirancang oleh Jenderal Abdul Haris Nasution. Tatmadaw menganggap ABRI lebih mencengkeram dalam bernegara, maka itu mereka hendak menirunya. Indonesia dan Myanmar memang negara pemuja jenderal.

Menurut laporan Kompas, Pada 22 Desember 1993, Menteri Luar Negeri Myanmar U Ohn Gyaw, bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas di Jalan Pejambon, Jakarta. Myanmar sebagai negara militer ingin belajar melembagakan konsep Dwifungsi ABRI ke dalam konstitusinya. Kala itu, Myanmar baru melonggarkan penahanan terhadap Aung San Suu Kyi.

Militerisme di Indonesia dan Myanmar sebetulnya punya guru yang sama, dan disemai pada waktu yang juga hampir sama. Pada masa Perang Pasifik, Myanmar yang dulu bernama Burma adalah wilayah dari Tentara ke-15 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Sementara Indonesia, khususnya Pulau Jawa, adalah wilayah Tentara ke-16. Di wilayah lain Indonesia, yaitu Pulau Sumatra, dikuasai oleh Tentara ke-25. Dan Kalimantan, Sulawesi, serta wilayah Indonesia timur lainnya dikuasai oleh Armada Selatan Ke-2 Angkatan Laut Kakaisaran Jepang.

Di Jawa, Tentara ke-16 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang membuat serdadu sukarela bernama Pembela Tanah Air (PETA). Sedangkan di Burma, Tentara ke-15 membangun Tentara Kemerdekaan Burma—yang kemudian berganti nama menjadi Tentara Pertahanan Burma, lalu berkembang menjadi Tentara Nasional Burma.

“Tentara Pertahanan Burma terbentuk pada 27 Juli 1942 di bawah komando Aung San. Tiga batalion dibentuk di bawah Ne Win, Yan Naing, dan Ze Ya,” tulis Joyce Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang (1988:84).

Jumlah pasukan itu terus berkembang dan membesar. Meski Aung San sebagai pemimpin tertingginya, tapi pada awalnya kontrol tentara pendudukan Jepang sangat memengaruhi. Berbeda dengan PETA, yang meski jumlah batalionnya banyak, namun tidak terintegrasi seperti tentara didikan Jepang di Burma. Tak heran jika antar batalipn di PETA sulit untuk berkoordinasi.

Aung San (1915-1947) adalah bekas mahasiswa pergerakan dari Universitas Rangoon yang merupakan ayah Aung San Suu Kyi. Sementara Ne Win (1911-2002) yang semula bawahan Aung San, kemudian menjadi jenderal dan memimpin Partai Program Sosialis Burma.

Mereka, seperti juga para perwira PETA di Jawa, muak dengan tabiat buruk serdadu Jepang. Di Indonesia, pemberontakan PETA hanya terjadi di Jawa. Sementara di Myanmar, berkat komando yang terintegrasi, sejumlah perwiranya juga ikut berontak terhadap tentara Jepang. Para perwira seperti Aung San dan Ne Win lalu terlibat dalam Liga Kemerdekaan Rakyat Anti Fasis.

Setelah Jepang kalah, Tentara Nasional Burma benar-benar memainkan peranannya dalam politik. Namun pada 19 Juli 1947, Mayor Jenderal Aung San terbunuh oleh segolongan tentara. Kemudian U Nu sempat berkuasa, sebelum golongan militer di bawah Ne Win akhirnya berkuasa sejak 1962. Ia berkuasa lebih dari dua dekade.

Jika di Burma ada Ne Win, maka di Korea Selatan ada Park Chung/Jeong Hee yang juga didikan Kepang dan menjadi Presiden Korea Selatan dari 1962 sampai 1979. Dan di Indonesia, tokoh didikan Jepang yang sekaliber dengan Ne Win adalah Soeharto. Setelah Perang Dunia II, militer di Myanmar dan Indonesia memang tidak langsung memegang kekuasaan tertinggi, namun kekuatan mereka sudah tersebar di mana-mana.

Sebelum 1965, bukan Soeharto yang membuat posisi militer Indonesia makin kuat dalam pemerintahan, melainkan seorang bekas perwira junior tentara kolonial atau KNIL bernama Abdul Haris Nasution. Kepemimpinan Nasution di Angkatan Darat yang nyaris sepanjang era 1950-an hingga 1962, membuat militer punya gigi di hadapan Presiden Sukarno. Di masa itu, Angkatan Darat rajin membuat Badan Kerja Sama (BKS) dengan banyak elemen.

Pada 1952, Nasution bersama Angkatan Darat hendak membubarkan parlemen dalam Peristiwa 17 Oktober, tetapi Sukarno menolaknya. Sukarno mengaku tidak ingin jadi diktator dengan menuruti kehendak tentara. Namun setelah meletusnya PRRI/Permesta yang melibatkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), maka Sukarno pun mau menerima dukungan militer untuk mengakhiri kejayaan parlementer.

“Pada tanggal 5 Juli 1959, dengan dukungan penuh tentara, Sukarno memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Keppres dan era Demokrasi Terpimpin pun dimulai,” tulis Barr Turner dalam Nasution: Total People’s Resistance and Organicist Thinking in Indonesia (2005:267).

Infografik 3 Anak Didik Tentara Jepang di Asia

Infografik 3 Anak Didik Tentara Jepang di Asia. tirto.id/Fuad

Setelah itu, Nasution menjadi Menteri Pertahanan Keamanan. Sementara Menteri/Kepala Staf Angkatan Darat dipegang oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani, yang juga didikan tentara Jepang seperti Soeharto.

Menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967 (1986:286), oleh sebagian perwira, Ahmad Yani dipandang “tidak mampu memberikan pimpinan [yang] intelektual”, lalu sebagian perwira itu lebih berpaling ke Nasution untuk meminta bimbingan politik.

Ahmad Yani tidak lama memimpin Angkatan Darat. Ia menjadi salah satu korban dalam peristiwa G30S. Setelah itu, Mayor Jenderal Soeharto naik perlahan. Dia tidak hanya memimpin pasukan pemukul bernama Kostrad, tapi juga punya dukungan penuh dari para perwira di Angkatan Darat yang sudah kuat setelah bertahun-tahun dibangun kekuatan politiknya oleh Nasution.

Soeharto akhirnya menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Sukarno. Maka Indonesia pun seperti Burma yang dipimpin Ne Win--sama-sama dipimpin oleh militer. Meski demikian, Ne Win setidaknya memiliki sejumlah pengikut seperti Jenderal Saw Maung yang kelak juga menjadi pemimpin Burma. Sementara Soeharto sebaliknya. Ia tak punya pengikut yang menggantikan posisinya.

Ne Win berhenti sebagai pemimpin Burma pada 1988, setelah 26 tahun berkuasa. Sementara Soeharto baru berhenti dari kekuasaannya pada 1998, setelah lebih dari 30 tahun berkuasa.

Baca juga artikel terkait MILITERISTIK atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh