Menuju konten utama

Soegeng Soetarto: Kepala Staf Biro Intelijen yang Ditahan Orde Baru

Soegeng Soetarto adalah polisi yang berjuang sejak zaman kolonial dan Jepang. Tertimpa sial setelah peristiwa G30S.

Soegeng Soetarto: Kepala Staf Biro Intelijen yang Ditahan Orde Baru
Polisi Hindia Belanda di Karesidenan Banyumas, tempat Soetarto memulai karier kepolisiannya. FOTO/KITLV

tirto.id - Brigadir Jenderal Polisi Raden Soegeng Soetarto adalah salah satu jenderal paling apes setelah Gerakan 30 September 1965. Saat peristiwa itu terjadi, ia menjabat sebagai Kepala Staf Biro Pusat Intelijen (BPI) yang dikepalai oleh Wakil Perdana Menteri I Subandrio.

Tanggal 30 September 1965 sebelum aksi penculikan, beredar isu Dewan Jenderal yang menganggap ada sekelompok jenderal yang hendak melancarkan kudeta pada HUT ABRI 1965.

“Subandrio sangat aktif menyebarkan isu Dewan Jenderal—sebuah isu yang menurut pengakuannya di kemudian hari diperoleh dari Kepala staf BPI Brigadir Jenderal Polisi Soetarto,” tulis B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin dalam Memori Jenderal Yoga (1990: 192).

Dalam pengadilan terhadap Soegeng Soetarto, seperti dicatat Tempo (8/9/1973), Subandrio mengaku tidak dekat dengan Soetarto dan sangat berhati-hati karena jenderal polisi itu dianggap berbahaya.

”Hati-hati terhadap Soetarto, orangnya tidak baik,” kata Ahmad Yani mengingatkan Subandrio dalam sebuah pertemuan.

Konon Subandrio tak rela ketika Soegeng Soetarto hendak dijadikan Wakil Kepala BPI, oleh karena itu maka dibuat jabatan Kepala Staf.

“Kalau Soetarto wakil saya, saya khawatir kalau saya pergi ke luar negeri, ia akan otomatis mewakili saya jadi Kepala,” ucapnya.

Soal Dewan Jenderal, Subandrio tampak memosisikan diri seolah orang polos dan menyudutkan Soetarto. Hal ini kemudian dibantah Kepala Staf BPI tersebut.

“[Saya dan Subandrio] sering main tenis bareng, makan tahu pong, dan ada titik pertemuan yang tidak dapat saya kemukakan di sini,” ujar Soetarto.

Ia juga membantah kehatian-hatian Subandrio terhadap dirinya. Wewenangnya di BPI pun tidak dibatasi.

“Tugas saya adalah menyempurnakan BPI, saya harus berusaha memenuhi keinginan Presiden: ngemong keadaan,” ucapnya.

Dalam persidangan Subandrio pada tahun-tahun sebelumnya, Soetarto seperti dilaporkan koran Sinar Harapan (07/10/1966), menjadi saksi yang memberatkan sehingga terdakwa nyaris dijatuhi hukuman mati.

Namun keduanya akhirnya hanya dijatuhi hukuman seumur hidup sehingga masih bisa hidup dan menghirup kebebasan pada tahun 1995.

BPI dan Orang-Orang Kiri

Soegeng Soetarto merupakan perwira polisi sejak zaman kolonial hingga zaman Jepang di Karesidenan Banyumas. Ia masih tergolong keturunan keluarga Kolopaking. Kariernya bahkan mirip dengan Soemitro Kolopaking, Bupati Banjarnegara yang pernah menjadi polisi dan ikut memimpin badan intelijen negara.

Jika Soetarto menjadi Kepala Staf BPI, maka Soemitro Kolopaking lebih dulu menjadi pimpinan Biro Keamanan di zaman Hatta dan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi Menteri Pertahanan.

Ketika Soetarto menjadi Kepala Staf BPI, di bawahnya terdapat Kartono Kadri sebagai Kepala Bagian II BPI, Mayor AD Ragowo sebagai kepala Bagian III, dan Letnan Kolonel Polisi Supratikno sebagai Kepala Bagian IV.

Menurut catatan Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007: 10-11), Kartono Kadri bersama anak Soemitro Kolopaking pernah mendapat pelatihan intelijen dari Amerika Serikat secara rahasia di Saipan.

Meski BPI terlibat dalam operasi intelijen dalam Konfrontasi Malaysia dan Trikora, namun di mata rezim Orde Baru badan intel ini dinilai dekat dengan para pejabat yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti Subandrio. Isu Dewan Jenderal pun datang dari BPI dan dikipas-kipasi oleh PKI. Oleh karena itu tak heran jika BPI kena sikat Orde Baru.

“Pada tanggal 11 Maret 1966, pagi-pagi sekali Kolonel Soemitro (yang kelak menjadi Pangkopkamtib) dari Kostrad mengobrak-abrik kantor BPI,” tulis Soekardjo Wilardjito dalam Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden (2008: 160).

Penyerangan tersebut Kolonel Soemitro dalam Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib (1994: 86) mendpata perlawanan dari dari anak buah Subandrio.

“Terjadi tembak-menembak sebentar antara [tentara] yang menduduki dengan petugas-petugas intel anak buah Subandrio. Tapi kemudian Gedung BPI (di Jalan Madiun) kami duduki,” ujarnya.

Riwayat BPI benar-benar tamat ketika Mayor Jenderal Soeharto beserta Angkatan Darat semakin menguat. Badan intelijen itu dibubarkan, dan para personilnya yang tidak kena garuk pembersihan G30S dikembalikan ke kedinasan asalnya masing-masing. Salah satunya Kartono Kadri yang jadi PNS biasa di Sekretaris Kabinet.

Infografik Brigadir Jenderal Polisi Soetarto

Infografik Brigadir Jenderal Polisi Soetarto. tirto.id/Sabit

Radio Prambors dan Hari Tua

Ketika masih aktif di BPI, Soegeng Soetarto tinggal di Jalan Borobudur 4, Kawasan Menteng, Jakarta. Ia bertetangga dengan Suhario Padmadiwirio alias Hario Kecik. Rumah Soetarto, menurut Kecik, pernah dijadikan kantor Radio Prambors yang terkenal sejak 1970-an. Radio ini bermula dari anak-anak penggede Menteng dan kawan-kawan mereka. Prambors adalah akronim dari Prambanan-Mendut-Borobudur yang menjadi nama jalan di sekitar rumah Soetarto.

“Soetarto termasuk pejoang 45 yang jujur, seorang intelektual yang berprinsip yang dimiliki oleh tiap pejuang 45 yang konsekuen. Karena itu Bung Karno memberi kepercayaan penuh kepadanya,” tulisnya dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995: 447).

Menurut Kecik, istri Soetarto pernah bercerita padanya tentang Kolonel Soemitro yang datang ke pengadilan suaminya dan menangis lalu berteriak agar Soetarto dihukum seberat-beratnya.

Tanpa diminta Kolonel Soemitro, seperti juga para tahanan politik lainnya, Soetarto dijatuhi hukuman berat oleh Orde Baru. Kehidupannya sebagai tapol berarti kehilangan segalanya. Ia diposisikan sebagai warga negara kelas dua, tak ada hak pensiun, dan segala keterlibatannya dalam Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 tidak diakui.

Baca juga artikel terkait G30S atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh