Menuju konten utama
7 Desember 1998

Soebadio Sastrosatomo, Seorang Sosialis di Pinggir Panggung Sejarah

Kisah orang kepercayaan Sjahrir yang menjadi pelanggan setia hotel prodeo di tiga zaman: pendudukan Jepang, Demokrasi Terpimpin, dan Orde Baru.

Ilustrasi Mozaik Soebadio Sastrotomo. tirto.id/Tino

tirto.id - Terik matahari bulan Ramadan sudah berlalu menuju senja, tetapi panas di dalam hati pria bertubuh alit itu belum juga reda. Ia gusar bukan kepalang karena rekan seperjuangannya masih ragu-ragu untuk bertindak, padahal hari-hari itu, awal pekan ketiga Agustus 1945, sudah serba tidak menentu.

Melalui siaran radio gelap yang didengarnya dengan bertaruh nyawa, ia yakin penguasa militer Jepang sudah tinggal menunggu hari keruntuhan. Masalahnya, dua rekan seperjuangannya yang baru pulang dari Dalat, Vietnam, untuk menghadap panglima tertinggi Dai Nippon enggan serta-merta percaya pada berita itu. Segala usaha meyakinkan ia coba, tapi kehati-hatian “angkatan tua” untuk bertindak lama kelamaan membuat pria itu, Sutan Sjahrir, hilang kesabaran.

Beberapa jam sebelumnya, saat hari menjelang siang, Sjahrir sudah menitipkan pesan kepada seorang pemuda yang menjadi orang kepercayaannya untuk menyebarluaskan rencana aksi menyambut dan menyokong pernyataan kemerdekaan. Si pemuda, yang sudah berkeliling Jakarta selama seharian dalam cuaca terik, datang kembali kepada Sjahrir untuk melaporkan selesainya tugas. Rencana aksi sudah siap, barisan pemuda sudah tak sabar, dan tinggal menunggu perintah sebelum bergerak.

Mula-mula, Sjahrir masih dapat meredam amarahnya dengan menawarkan “kurir” itu untuk minum sebentar. Tapi tawaran itu ditepisnya, sebab waktu buka puasa belum tiba. Puncaknya, saat si pemuda menanyakan kepada Sjahrir tentang sikap kedua rekannya, Sukarno dan Hatta, ia pun kebanjiran amarah Sjahrir yang meledak saat itu juga: “Man wijf, pengecut!”

Sukarno tidak percaya Jepang sudah kalah, bahkan mengajak Sjahrir berkeliling Jakarta untuk memperlihatkan kekuatan militer Jepang yang belum rontok. Sjahrir pun menantang Sukarno dan Hatta untuk pergi ke kantor polisi rahasia, Kempeitai, untuk membuktikan kebenaran berita itu, meski Sjahrir tahu ia bisa saja ditangkap jika berani bertanya demikian.

Setelah menjadi tempat penumpahan amarah Bung Kecil, si pemuda bergegas mencari kawannya, Soebianto Djojohadikoesoemo, dan dari sana bersama-sama menemui orang kedua dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Mohammad Hatta. Serupa dengan Sukarno, Hatta masih menghormati otoritas PPKI dengan Sukarno sebagai ketuanya. Kedua pemuda itu tak habis akal, “Yang kami butuhkan adalah Sukarno-Hatta sebagai pemimpin, bukan ketua-wakil ketua PPKI!” Hatta bersikeras untuk menunggu sidang PPKI yang akan diselenggarakan besok pagi, 16 Agustus 1945. Putus asa, dua utusan pemuda itu pun balik kanan.

Pemuda kepercayaan Sjahrir itu, Soebadio Sastrosatomo, kemudian nyaris tidak tidur selama hari-hari terpenting dalam kelahiran Republik. Ia memang tidak bergabung dengan kawan-kawannya yang nekad menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok. Akan tetapi, tidak berarti ia menepi dari medan perjuangan. Saat tujuan pertamanya, Indonesia merdeka, tercapai, panggilan tugas terasa semakin menjadi-jadi. Kiyuk, panggilan akrab Soebadio, terus bergerak di lautan politik dengan segala konsekuensi, termasuk menjadi pelanggan setia hotel prodeo di tiga zaman: pendudukan Jepang, Demokrasi Terpimpin, dan Orde Baru.

Dimasak Peralihan Zaman

Masuknya Soebadio ke dalam lingkaran politik dapat dikatakan nyaris kebetulan. Terlahir dari keluarga priyayi kecil pada 26 Mei 1918, Soebadio sudah yatim sejak usia 11 tahun. Ayahnya, pegawai Jawatan Garam dan Candu Negara di Pangkalan Brandan, wafat pada 1929. Karena kedua abangnya sudah berkeluarga, Soebadio yang menjadi putra tertua dari sembilan bersaudara praktis menjadi tangan kanan ibunya yang berdagang kulakan dan mengurus sendiri rumah tangganya.

Tak mengherankan jika keluarganya berharap Soebadio meneruskan jejak kakak sulungnya, Sapoean, menjadi dokter. Lulus dari AMS-B (ilmu pasti) di Yogyakarta pada 1939, ia berangkat ke Batavia untuk melanjutkan studi kedokteran di Geneeskundige Hoogeschool. Sebagai titipan, Soebadio sudah diberi wejangan ibunya untuk tidak ikut-ikutan berpolitik dan hanya menjadi mahasiswa yang wajar.

Gambaran kehidupan mahasiswa di masa itu, menurut M. Nursam dalam Pergumulan Seorang Intelektual: Biografi Soedjatmoko (2002), sangat dinamis dan bergairah. Sebabnya tak lain ialah perubahan konstelasi politik dunia dalam gemuruh Perang Dunia II.

“Di samping meningkatnya kondisi psiko-politik 'anak bangsa' dalam upaya melepaskan diri dari belenggu penjajahan kolonial Belanda, juga oleh sementara pihak, bahaya dari kekuatan fasisme. Dalam konteks zaman itu, kaum pergerakan, pemuda, dan mahasiswa membangun wacananya,” catat Nursam (2002, hlm. 26).

Berbekal petuah ibunya, Soebadio mencoba menghindari pergaulan ke arah politik dan karena itu bergabung di Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI), perkumpulan mahasiswa berbasis kebangsaan, tetapi jauh dari politik. Meski demikian, karena merasa geliat kebangsaan kurang berkembang di USI, Soebadio pun tergelincir memasuki Indonesia Moeda dengan kawan-kawannya antara lain Ibrahim Jahja dan Siswondo Parman.

Bahan bacaan yang didiskusikan para mahasiswa saat itu relatif terbatas, meskipun relevan dengan isu-isu aktual. Buku J. Petrus Blumberger, De Nationalistische Beweging van Nederlandsch Indie, mingguan Nationale Commentaren yang dipimpin Sam Ratulangi, hingga majalah Kritiek en Opbouw yang diterbitkan orang Belanda progresif, D.M.G. Koch. Di dalam USI, Soebadio dan kawan-kawannya yang tamatan AMS dan memiliki semangat kebangsaan yang kental, menyasar anggota-anggota USI lulusan HBS yang mereka anggap kebarat-baratan seperti Soedjatmoko dan Murdianto untuk “diluruskan” dan mempunyai semangat kebangsaan. Sebaliknya, Soedjatmoko menganggap Soebadio cum suis adalah nasionalis picik, yang harus dikenalkan pada ide-ide humanisme universal.

Dengan pertumbuhan minat akan politik dan pergerakan yang membuncah, Soebadio lama-kelamaan merasa tidak cocok dengan studi kedokteran. Berbekal izin keluarganya, ia pun memutuskan pindah mempelajari ilmu hukum di Rechts Hoogeschool. Sayang, belum sempat meraih gelar meester in de rechten sebagaimana lazimnya mahasiswa hukum masa itu, balatentara Jepang keburu masuk.

RHS ditutup dan semua mahasiswa dikeluarkan dari asrama. Soebadio pun gotong royong bersama Soepeno yang mengetuai Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia (Baperpi) untuk menopang penghidupan mahasiswa yang dipondokkan sementara di bekas Hotel Schompers, Menteng. Hanya empat dari 80 mahasiswa yang sudah berpenghasilan tetap, termasuk Soebadio yang bekerja sebagai penerjemah di pusat administrasi Gunseikanbu.

Dibukanya sejumlah organisasi orang-orang Indonesia di bawah pengawasan Jepang tidak disia-siakan Soebadio. Ia yang semula bekerja sebagai penerjemah, direkrut Sutan Takdir Alisjahbana sebagai asistennya di Balai Pustaka, saat otoritas Jepang membuka Komisi Bahasa Indonesia pada Oktober 1943. Dalam badan itu, Soebadio menjadi notulis rapat yang diadakan seminggu sekali.

Alih-alih mengevaluasi pekerjaan, rapat tersebut lebih mempunyai daya tarik sebagai kesempatan para pemuda dan kaum pergerakan untuk mendiskusikan keadaan masyarakat dan diam-diam mengarah ke pergerakan.

“Mulailah rapat meningkat menjadi tempat tukar-pikiran dan informasi. Lambat laun rapat menjadi tempat mengadakan perlawanan secara psikologis dan ideologis terhadap kekuasaan tentara Jepang,” kisah Soebadio dalam biografi yang ditulis Rosihan Anwar, Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik (1995, hlm. 31).

Rapat-rapat dan diskusi itu semakin memasak kesadaran politik Soebadio, sehingga ia lebih kritis menilai Sukarno-Hatta yang terlalu kooperatif dengan Jepang. Sebagai sandaran, Soebadio makin dekat ke lingkaran Sutan Sjahrir yang diisi anak-anak muda antifasis yang bergerak di bawah tanah, antara lain lewat kelompok-kelompok diskusi di asrama-asrama mahasiswa di Jakarta waktu itu: Menteng Raya 31, Cikini Raya 71, dan Prapatan 10.

Aktivitas politik bawah tanah masa itu tentunya sarat risiko ditangkap dan disiksa oleh Kempeitai. Soebadio sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari dan benar terbukti saat ia tiba-tiba dicokok dari rumahnya pada suatu pagi bulan Oktober 1944. Penangkapan itu terjadi karena di rumah Soerya Santoso, kawannya, ditemukan naskah “Manifesto Demokrasi” yang menganalisis berbagai masalah, termasuk mengecam fasisme. Celakanya, naskah manifesto itu tak lain adalah hasil kerja Soebadio dan Sutan Takdir Alisjahbana, dan atas itu ia masuk penjara karena pendirian politik untuk pertama kali dalam hidupnya, di usia yang baru 26 tahun.

Juru Bicara dan Penghubung Sjahrir

Selepas proklamasi dikumandangkan dan tatanan Republik Indonesia mulai disusun, Soebadio enggan berpangku tangan. Berbekal kedekatannya dengan Sutan Sjahrir, Soebadio pun menjadi juru bicara sekaligus penghubung bagi orang-orang yang ingin mengontak Sjahrir. Belakangan, ia menjadi penghubung Sjahrir dan Amir Sjarifuddin, manakala kedua sosok itu bertemu dalam kabinet parlementer yang disahkan pada 14 November 1945. Sebulan sebelumnya, lewat Maklumat Negara RI no. X, KNIP yang dialihkan menjadi badan legislatif sementara memulai kerja-kerjanya dengan motor Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP). Soebadio turut masuk sebagai anggota di dalamnya.

Menyertai Sjahrir dan Amir Sjarifuddin dari perundingan satu ke perundingan lainnya, Soebadio paham betul percaturan politik Sjahrir dan Amir tidak disukai semua orang, termasuk pendukung Tan Malaka. Tatkala Tan Malaka ditangkap dan dijebloskan ke penjara di Madiun, pendukung-pendukungnya tak ragu bertindak sendiri. Mereka menculik Sjahrir saat menginap di Solo sesudah mengadakan inspeksi ke Jawa Timur. Soebadio yang bermalam di hotel persis sebelah lokasi Sjahrir menginap, menyaksikan sendiri peristiwa itu.

“Saya yang melihat gelagat itu meloloskan diri dengan menggunakan bambu, melompat dan menceburkan diri ke kali yang mengalir sekitar Hotel Merdeka. Dengan menyamar sebagai rakyat biasa, saya dan Soedarsono naik kereta api di Stasiun Gawok menuju Yogyakarta, melaporkan keadaan kepada kabinet,” kenang Soebadio mengingat penculikan Sjahrir pada malam 27 Juni 1946 itu (1995, hlm. 121).

Bukan hanya friksi di kalangan pemerintahan, Soebadio juga mengalami masa-masa genting ketika Partai Sosialis mulai jengah terhadap diplomasi Sjahrir. Saat Amir Sjarifuddin, kompatriotnya sejak awal, memilih berseberangan terhadap kebijakan perdana menteri, Sjahrir pun memutuskan mengundurkan diri. Tampuk pemimpin pemerintahan diberikan kepada Amir Sjarifuddin, yang baru memimpin 17 hari saat Aksi Militer Belanda I dilancarkan sepihak pada 21 Juli 1947 dan merobek-robek Persetujuan Linggarjati.

Politbiro Partai Sosialis, termasuk Soebadio, mengkritik Amir Sjarifuddin bahwa aksi militer itulah hasil konsesi yang terlalu jauh diberikan pada Belanda. Lemas dirundung partai sendiri, Amir mengaku kalah. “Ik leg mijn ambt neer. Saya sudah kalah, Badio. Wordt jij maar perdana menteri. Daar is de plane, ga jij maar naar Jakarta om met de Blanda te spreken (Saya letakkan jabatan saya. Saya sudah kalah, Badio. Di sana ada pesawat terbang, pergilah kau ke Jakarta dan bicaralah dengan Belanda).”

Soebadio berterus terang kepada Amir menolak tawaran itu. Ia mengaku tidak pernah terpikir menjadi perdana menteri, dan ketika itu ia masih terlalu muda, belum genap 30 tahun, sementara Sjahrir dan Amir sama-sama mendekati kepala empat. Sementara Amir meneruskan kabinetnya dengan tertatih-tatih, kemelut internal Partai Sosialis tak kunjung selesai. Puncak perseteruan terjadi pada akhir bulan Januari 1948, ketika Hatta mengumumkan kabinetnya pada 29 Januari 1948 menggantikan kabinet Amir Sjarifuddin.

“Kelompok Sjahrir tegas mendukung penuh kabinet Hatta, sementara Kelompok Amir menjadi oposisi Kabinet Hatta, karena Hatta tak memenuhi tuntutan Amir menempati pos-pos penting dalam kabinet terutama Kementerian Pertahanan dan Keamanan,” catat Riadi Ngasiran dalam Kesabaran Revolusioner Djohan Sjahroezah: Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah (2015, hlm. 221).

Sjahrir beserta 20 pendukungnya memilih hengkang dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada 12 Februari 1948, sementara Amir meleburkan Partai Buruh Indonesia, Partai Sosialis, dan Partai Komunis Indonesia ke dalam organ baru “Front Demokrasi Rakyat”, yang kemudian dituding sebagai biang kerok Peristiwa Madiun 1948.

Tak Selamanya di Atas Angin

Kiprah politik Soebadio tak berhenti setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949. Dalam kabinet koalisi Masjumi-PSI yang dipimpin oleh Mohammad Natsir, PSI memiliki 17 kursi di parlemen, dengan Soebadio sebagai ketua fraksi. “Ada kalanya waktu Kabinet Natsir, PSI menyumbangkan anggotanya seperti Dr. Soemitro sebagai menteri perekonomian dan dalam Kabinet Wilopo sebagai menteri keuangan. Ada kalanya tidak ikut dalam kabinet seperti Kabinet Ali Sastroamidjojo,” ungkap Soebadio (1995, hlm. 169).

Tak hanya mengonsolidasi kekuatan di dalam negeri, PSI juga ikut serta ke dalam jejaring partai sosialis yang bertemu dalam Konferensi Sosialis Asia pada Januari 1953. Soebadio ikut berangkat sebagai delegasi PSI yang dipimpin Djohan Sjahroezah. Dalam kesempatan ini pula, Soebadio mulai merajut cinta dengan Maria Ullfah, Sekretaris Perdana Menteri yang menjanda sejak suami pertamanya, Santoso, gugur semasa Revolusi.

Sebagai partai cilik yang sejak awal didirikan sebagai partai kader, PSI ikhlas meraih peringkat ke-8 dalam Pemilihan Umum 1955, dengan hanya 5 kursi di parlemen, merosot jauh dari perolehan kursi parlemen sebelumnya. Terhadap kekalahan ini, Soebadio mengakui bahwa Sjahrir masa bodoh dan menegaskan bahwa PSI bertujuan mendidik, bukan semata-mata untuk berkuasa.

Wij zijn geen machtmensen of macht aanwending (Kita bukan orang kekuasaan atau pengguna kekuasaan),” tandas Sjahrir. Dengan suara minor di parlemen, PSI pun lebih banyak menerima putusan daripada mengajukan gagasan atau undang-undang. Puncaknya, PSI ketiban sampur saat salah satu anggotanya, Soemitro, masuk daftar menteri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia di Sumatra.

Jakarta yang kalang kabut dengan pemberontakan sejumlah perwira menengah itu pun segera memicingkan mata kepada PSI yang tidak bisa “mengendalikan” Soemitro hingga bisa menjadi menteri PRRI. Soebadio yang diutus Sjahrir mengejar Soemitro sampai ke Singapura, gagal memperbaiki citra PSI yang telanjur dituduh dari sana-sini.

Pada 17 Agustus 1960, PSI dan Masjumi resmi dilarang oleh Sukarno, tenggelam bersama penumpasan PRRI yang masif di Sumatra. Soebadio sempat mengajukan izin kepada Penguasa Perang Tertinggi agar PSI bisa mengadakan kongres luar biasa, tetapi tak berhasil. Dengan pasrah, Soebadio atas nama Dewan Pimpinan Pusat PSI memerintahkan cabangnya di seluruh Indonesia untuk membubarkan diri.

Infografik Mozaik Soebadio Sastrotomo

Infografik Mozaik Soebadio Sastrotomo. tirto.id/Tino

Dari Madiun ke RTM Budi Utomo

Konstelasi politik Demokrasi Terpimpin yang menempatkan Sukarno sebagai sosok dominan dalam perpolitikan Indonesia menjadikan Soebadio dan rekan-rekan separtainya sebagai paria. Tanpa mampu membela diri, dini hari 16 Januari 1962, Soebadio ditangkap serempak bersama sejumlah eksponen PSI lainnya, termasuk Sjahrir, Anak Agung Gde Agung, dan Sultan Hamid II. Selain mereka, pimpinan eks-Masjumi seperti Prawoto Mangkusasmito, Yunan Nasution, dan Mohammad Roem juga ikut ditahan. Hanya selang dua bulan, mereka dipindahkan diam-diam ke penjara di Jalan Wilis, Madiun, Jawa Timur.

Menurut Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965 (2006), sebab penahanan Soebadio sangat tidak masuk akal. Dalam dokumen yang entah dari mana diperoleh Menteri Luar Negeri Soebandrio, Soebadio disebut melancarkan subversi ekonomi. Menurut dokumen itu, Soebadio telah mencarter kapal-kapal yang membeli beras dari pelbagai tempat di Indonesia. Beras itu kemudian dibawa dan dibuang ke tengah laut, sehingga stok beras di dalam negeri berkurang dan menciptakan krisis.

“Dalam pekerjaan ini, Subadio hanya menjadi alat perkakas belaka dari Sultan Hamid Pontianak yang menyediakan bermilyar-milyar rupiah untuk membeli beras tadi yang kemudian dibuang ke laut,” tulis Rosihan (2006, hlm. 150).

Dalam pemenjaraan kedua kali dalam hidupnya ini, Soebadio memilih menghabiskan waktu dengan membaca dan mempelajari berbagai keterampilan dari Mohammad Roem yang pernah mengikuti kepanduan, termasuk menambal pakaian dan menjahit kancing. Dalam kesepian di penjara, satu-satunya hiburan yang didapatnya sebulan sekali adalah kedatangan istri kawan-kawannya yang membawakan makanan atau bacaan dalam jumlah berlimpah yang dipasok gratis oleh Mr. Auwjong Peng Koen, mantan pemimpin redaksi Star Weekly.

Salah satu rombongan istri yang ikut berkunjung itu adalah Maria Ullfah, yang sudah karib dengannya sejak lama. Tanpa ragu-ragu, dalam sebuah kesempatan berkunjung, Soebadio melamar Ullfah.

“Ia berpendapat bahwa dalam keadaan sekarang di mana ia sebagai tahanan politik dan Ullfah bukan lagi pejabat pemerintah, pernikahan mereka tidak akan menyulitkan kedudukan Maria Ullfah. Sebaliknya Maria Ullfah sadar bahwa sebagai istri ia berhak untuk mengunjungi Soebadio sebanyak mungkin di penjara,” tulis Gadis Rasid dalam Maria Ullfah Soebadio: Pembela Kaumnya (1982, hlm. 141).

Persiapan pernikahan mereka diatur sendiri oleh Maria Ullfah, termasuk permohonan izin kepada Soebandrio, Presiden Sukarno, hingga Kejaksaan Agung. Izin-izin ini dibutuhkan karena status Soebadio sebagai tahanan politik. Dengan dikawal petugas, Soebadio mendapat kesempatan pulang ke Jakarta selama 10 hari untuk melangsungkan pernikahannya yang terselenggara pada 10 Januari 1964. Resepsi digelar meriah di rumah Soedarpo, adik Soebadio, dan dihadiri kawan-kawan Soebadio yang masih menghirup udara bebas.

Hanya diberi waktu seminggu, Soebadio diwajibkan kembali ke penjara pada 17 Januari. Mereka baru benar-benar bebas pada 5 Mei 1966, sebulan setelah Sutan Sjahrir wafat dan Jenderal Soeharto mengambil alih kepemimpinan.

Karena PSI yang dibekukan tidak dapat dihidupkan kembali di masa Orde Baru, maka Soebadio pun praktis tidak dapat berpolitik. Ia aktif di grup-grup diskusi mahasiswa, sebagai pemantik dalam kelompok maupun narasumber berbagai wawancara. Keaktifannya ini kemudian mengundang kecurigaan dari sebagian kalangan, seperti Ali Moertopo. Ketika pecah Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974, Soebadio dituduh menghasut mahasiswa dan mencoba merebut kekuasaan. Ia kembali ditangkap dan dijebloskan ke RTM Jalan Boedi Oetomo, Jakarta, selama dua tahun tanpa diadili.

Sesudah dibebaskan pada 1976, Soebadio menulis buku dan tanpa ragu-ragu mengecam kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru. Meski kondisi fisiknya semakin melemah, Soebadio tetap bersentuhan dengan keadaan politik, sebelum akhirnya tutup usia pada 7 Desember 1998, tepat hari ini 23 tahun lalu.

Baca juga artikel terkait PARTAI SOSIALIS INDONESIA atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Politik
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Irfan Teguh Pribadi
-->