Menuju konten utama

Soal Tax Amnesty Jilid II, DPR Janji akan Tampung Masukan Publik

Soal tax amnesty jilid II, DPR akan mengkaji dan bahas secara lebih rinci di Komisi XI DPR bersama pemerintah.

Soal Tax Amnesty Jilid II, DPR Janji akan Tampung Masukan Publik
Ilustrasi Gedung DPR. FOTO/ANTARA

tirto.id - Presiden Joko Widodo telah mengirimkan Rancangan Undang-Undang Perubahan kelima atas UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Regulasi ini mengatur sejumlah hal, salah satunya soal pengampunan pajak (tax amnesty).

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad berharap RUU KUP ini dapat mendorong peningkatan penerimaan negara dari sektor perpajakan. "Hal itu agar menjadi instrumen bagi pemerintah dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional, dan juga terwujudnya kesehatan APBN dengan defisit anggaran kembali ke 3 persen di tahun 2023," kata Sufmi Dasco di Jakarta, dikutip Antara, Kamis (20/5/2021).

Dasco menjelaskan terkait wacana kebijakan pengampunan pajak atau "tax amnesty" jilid II yang akan diatur dalam RUU tersebut, DPR akan mengkaji dan membahas secara lebih rinci di komisi teknis yaitu Komisi XI DPR bersama pemerintah.

Ia pun menjelaskan, pembahasan tersebut tentunya dengan mendengarkan masukan publik, mulai dari akademisi, pengusaha, pegiat Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan masyarakat lainnya.

"Kami juga akan memperhatikan beberapa catatan evaluasi pada pelaksanaan 'tax amnesty' tahun 2016," kata politikus Partai Gerindra ini.

Selain itu, kata Dasco, apabila Surat Presiden (Surpres) terkait RUU KUP sudah sampai di DPR RI, maka sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang ada, akan dibahas pada Rapat Pimpinan untuk selanjutnya di bawa ke Badan Musyawarah (Bamus).

Setelah itu, menurut Dasco, Bamus akan menugaskan komisi teknis terkait untuk membahas RUU KUP tersebut.

Respons Indef soal Tax Amnesty

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengungkapkan sejumlah aspek yang membuat Tax Amnesty Jilid II bukanlah ide yang tepat untuk dijalankan pemerintah. Pertama, kata Bhima, kebijakan ini bisa membuat kepercayaan pembayar pajak turun.

Sebab, kata Bhima, tax amnesty seharusnya diberikan sekali sesuai janji pemerintah 2016, setelah periode tax amnesty selesai maka selanjutnya penegakan aturan perpajakan.

“Dengan adanya tax amnesty jilid ke II, psikologi pembayar pajak pastinya akan menunggu tax amnesty jilid berikutnya. Ya buat apa patuh pajak, pasti ada tax amnesty berikutnya. Ini blunder ke penerimaan negara,” kata dia.

Kedua, kata Bhima, tax amnesty tidak terbukti meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang. Buktinya, lanjut dia, pada periode 2018-2020 rasio pajak terus menurun hingga mencapai 8,3 persen.

“Rasio pajak atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB bukannya naik malah melorot terus. Berarti ada yang tidak beres dengan tax amnesty,” tuturnya.

Aspek ketiga tak kalah ngeri. Menurut Bhima, pemberian tax amnesty rawan digunakan untuk pencucian uang lintas negara, atas nama pengampunan pajak perusahaan yang melakukan kejahatan keuangan bisa memasukkan uang ke Indonesia.

“Terlebih saat ini rawan pencucian uang dari kejahatan korupsi selama pandemi COVID-19,” sambung Bhima.

Keempat, kata Bhima, tax amnesty jilid II justru berpotensi mencoreng nama pemerintah karena dianggap tak konsisten dalam penegakan aturan. Menurut dia, pemerintah seharusnya lakukan kebijakan untuk mengejar pajak mereka yang tidak ikut tax amnesty pada 2016. Apalagi, lewat tax amnesty jilid I sudah diperoleh data lengkap wajib pajak yang selama ini belum pernah terungkap.

Ditambah lagi, kata Bhima, saat ini pemerintah telah menjalin kerja sama Pertukaran Pajak antar Negara (AEOI) dan dokumen internasional Panama Papers hingga FinCEN Papers. “Idealnya dari database yang sudah ada dikejar para pengemplang pajak, bukan memberikan pengampunan berikutnya. Ini menunjukkan arah kebijakan fiskal yang gagal,” kata Bhima.

Aspek kelima, kata Bhima, bila tax amnesty jilid II jadi diterapkan, maka malah berpotensi menciptakan ketimpangan antara orang kaya dan miskin. Fakta bahwa selama pandemi COVID-19 sudah banyak kebijakan yang pro terhadap korporasi seperti penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen bertahap hingga 2022, sampai Diskon PPnbm untuk mobil. Sementara bagi masyarakat umum mau dinaikan pajak PPN-nya.

Baca juga artikel terkait TAX AMNESTY

tirto.id - Ekonomi
Sumber: Antara
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Abdul Aziz