Menuju konten utama

Soal Puisi Sukmawati, Jimly: Tak Semua Kasus Bisa Dibawa ke Pidana

"Kalau semua didekati dengan hukum, apalagi hukumnya itu langsung hukum pidana ya penuh penjara kita," kata Jimly Asshiddiqie.

Soal Puisi Sukmawati, Jimly: Tak Semua Kasus Bisa Dibawa ke Pidana
Jimly Asshidiqie. FOTO/ANTARA.

tirto.id - Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menilai puisi Ibu Indonesia yang dibacakan Sukmawati Soekarnoputri hanya masalah kecil. Menurut Jimly, seharusnya perkara Sukmawati tidak perlu ditangani dengan pendekatan pidana.

"Di era begini semua digoreng. Jadi susah kita. Soal-soal sepele dibesar-besarin, yang besar disepelekan. Nah, kalau semua didekati dengan hukum, apalagi hukumnya itu langsung hukum pidana ya penuh penjara kita," kata Jimly di Menteng, Jakarta, Jumat (6/4/2018).

Jimly mengingatkan, perkara pidana tidak selamanya bisa menyelesaikan masalah. Ia mengingatkan, penyelesaian masalah dengan pidana justru bisa memperburuk keadaan seseorang. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mencontohkan ada sejumlah residivis justru mengulangi perbuatan lebih parah.

"Orang yang masuk penjara yang tobat cuma 30 persen. Tadi saya bilang 30 persen selebihnya itu masuk penjara itu dendam, tapi yang 40 persen masuk penjara makin kumat," kata Jimly.

"Jadi pendekatan penjara, pendekatan pidana itu harus dikurangi biar tidak timbul ketegangan, nah, tapi kan susah kita menghalangi orang berdemo untuk menuntut proses hukum karena ada kasus lain dimana mereka terkena kayak habib Rizieq dan yang lain. Jadi memang harus menyeluruh," tuturnya.

Jimly berpandangan, publik tidak boleh langsung menjustifikasi Sukmawati menoda agama. Meskipun Sukmawati mengaku menyadari telah menggunakan simbol Islam dalam puisinya, Jimly menilai isi puisi menggambarkan sikap batin seseorang. Ia pun menanyakan sikap publik saat ini yang merespon segala sesuatu menyinggung agama. Semua berkaitan dengan perspektif publik dalam melihat sebuah kejadian.

"Perspektifnya [opini puisi Sukma menista agama] kayak begitu mau diapain walaupun akhirnya dia menyesal kan? mungkin dia tidak menyadari saja," kata Jimly.

Jimly berpandangan permasalahan Sukmawati merupakan konsekuensi pasca Pilkada beberapa waktu yang lalu. Di masa lalu, muncul persepsi bahwa kaum Islam sebagai kelompok anti Pancasila sementara non-muslim dianggap Pancasilais. Hal itulah yang memunculkan kegaduhan di publik.

"Jadi perspektif yang sangat reduksionis atas pengertian Pancasila. Toleransi diidentikkan sebagai orang lain harus mengikuti perspektif kita. Orang lain enggak sama saya berarti orang itu tidak toleran sama saya tanpa rasa tanggung jawab buat moral kita untuk menghormati orang lain. Jadi itu sangat sepihak, nah, ini mempengaruhi cara berpikir orang seperti Sukmawati dan orang yang bereaksi marah," kata Jimly.

Jimly mengaku, ICMI tidak membahas masalah Sukmawati. Ia enggan mengomentari permasalahan pidana dalam kasus Sukma. Namun, Ketua DKPP ini memastikan kalau pidana tidak akan berhenti meskipun sudah dimaafkan. "Hukum pidana itu tidak ada kaitan dengan maaf-maafan. Maaf jalan sendiri tapi ya proses jalan sendiri," kata Jimly.

Jimly menilai, pendekatan hukum tidak bisa digunakan secara tunggal untuk menyelesaikan kasus Sukma. Ia berpandangan, pernyataan Ketua MUI Maaruf Amin maupun petinggi ormas lain yang meminta publik memaafkan Sukma tidak akan berpengaruh signifikan.

Ia beralasan, opini publik yang kuat disertai pandangan pemerintah tidak adil membuat publik mudah panas. Perlu ada perbaikan secara menyeluruh agar persepsi ini bisa berakhir, bukan dengan menghentikan perkara Sukma.

"Saya berharap semua pihak itu menyadari ada masalah yang jauh lebih serius dari sekadar urusan-urusan teknis hukum. polisi pun sebagai penegak kebenaran betul-betul memfungsikan dirinya sebagai pengayom masyarakat, menegakkan keadilan dan kebenaran. Bukan sekadar menegakkan peraturan dan kata-kata," kata Jimly.

Baca juga artikel terkait KASUS PENISTAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri