Menuju konten utama

Soal Pemantau Asing di Pemilu 2019: Apa Urgensi dan Implikasinya?

Gerakan tagar #INAelectionobserverSOS menjadi kontroversi setelah ramai di media sosial.

Soal Pemantau Asing di Pemilu 2019: Apa Urgensi dan Implikasinya?
Komisi Pemilihan Umum (KPU). FOTO/Istimewa

tirto.id - Jagad media sosial, khususnya Twitter ramai dengan tanda pagar (tagar) #INAelectionobserverSOS sejak Minggu malam, 24 Maret 2019. Gerakan tagar ini berisi berbagai twit warganet yang meminta hadirnya lembaga internasional ikut memantau Pemilu 2019.

Keinginan mereka itu didasarkan atas kekhawatiran penyelenggara pemilu saat ini tidak independen, serta khawatir Pemilu 2019 berlangsung tidak adil dan tak jujur.

Namun, Lestari Nurhayati, seorang pemantau pemilu dari lembaga Asian Network for Free Elections (ANFREL) dalam unggahannya di Facebook tak sependapat dengan gerakan netizen itu. Sebab, ia menilai hal itu akan membuat dunia internasional, terutama PBB akan menganggap ada yang tidak beres dengan perhelatan pemilu di Indonesia.

“Implikasinya adalah PBB akan mendatangkan segala perangkatnya untuk ikut campur urusan negara Indonesia. Katanya kita tidak mau orang asing urus dan ikut campur negara Indonesia? Mengapa harus teriak untuk minta bantuan asing,” kata Lestari dalam akun Facebook miliknya.

Pemantau asing atau dari luar negeri memang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sesuai aturan yang berlaku, pemantau asing itu harus mengikuti proses administrasi dan verifikasi yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.

Ketentuan tentang pemantau pemilu terdapat pada Pasal 351 dan Pasal 360 UU No. 7/2017. Namun, ada juga pemantau pemilu yang memang sengaja diundang oleh KPU tanpa harus melewati proses tersebut.

Karena itu, Lestari mengatakan, tak perlu mendesak atau memaksakan negara untuk menghadirkan pemantau asing dalam gelaran pemilu serentak pada 17 April mendatang. Sebab, hal itu memang sudah diatur dalam undang-undang.

"Pihak yang ribut soal perlunya pemantau asing, tidak tahu bahwa setiap pemilu di Indonesia, pemantau asing selalu hadir dan diizinkan memantau Pemilu Indonesia. Tidak perlu berteriak-teriak seolah kondisi negara kita darurat,” kata dia.

Sebab, kehadiran pemantau asing yang tak sesuai aturan dikhawatirkan malah mendelegitimasi para pemantau lokal yang independen, yang saat ini sedang bekerja keras.

Lestari bahkan berkata, hadirnya pemantau asing yang tanpa aturan justru membuat Indonesia kehilangan harga dirinya, lantaran akan ada anggapan bahwa Indonesia tak bisa menyelenggarakan pesta demokrasi.

“Ada upaya menggadaikan bangsa ini kepada pihak asing. Seolah kita tidak mampu mengurus bangsa dan negara Indonesia secara mandiri. Bangsa Indonesia akan kehilangan harga dirinya,” kata Lestari.

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Sigit Pamungkas menilai anggapan kehadiran pemantau asing akan menjatuhkan harga diri bangsa tidak sepenuhnya tepat.

Mantan Komisioner KPU itu melihat kehadiran pemantau asing selama ini merupakan hal yang biasa dalam penyelenggaraan pemilu. Apalagi, kata Sigit, undang-undang telah mengaturnya dan dianggap sebuah hal yang wajar adanya pemantau asing.

“Pemantau pemilu, baik asing maupuun domestik bukan ancaman terhadap demokrasi. Mereka justru memperkuat legitimasi pemilu,” kata Sigit saat dihubungi reporter Tirto.

Menurut Sigit, pemantau pemilu dari Indonesia juga sering diundang untuk hadir memantau di negara-negara lain. Bahkan negara yang demokrasinya sudah bagus, seperti Amerika dan Korea Selatan juga mengundang pemantau dari luar negeri.

“Meskipun bukan dalam konteks pemantauan, penyelenggara pemilu di Indonesia sering diundang untuk hadir pada pemilu di negara-negara yang sudah mapan demokrasinya, seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan,” kata Sigit.

KPU Ragukan Kemampuan Pemantau Asing

Namun, KPU tak mau ambil pusing terkait kontroversi masalah pemantau asing tersebut.

Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menilai semakin banyak pemantau asing dan domestik justru menjadikan hal yang positif untuk memantau kecurangan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara.

Menurut Pramono, kehadiran pemantau asing dan domestik juga memberi legitimasi atas proses dan hasil-hasil pemilu. “Karena mereka bisa memberikan opini alternatif, selain yang diklaim secara sepihak oleh penyelenggara atau kontestan," ucap Pramono kepada reporter Tirto.

Akan tetapi, kata Pramono, tidak mudah menempatkan pemantau asing di Indonesia. Sebab, KPU harus mengatur dan menempatkan mereka agar bisa memantau jalannya pemilu di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang jumlahmya mencapai 809.500.

Pramono justru meragukan kemampuan pemantau asing untuk bisa memantau ratusan ribu TPS di seluruh Indonesia.

“Makanya, kalau saya lebih mengapresiasi kelompok-kelompok masyarakat sipil domestik yang selama ini sudah dan akan menempatkan pemantau dalam jumlah agak besar,” kata dia.

"[...] Tapi keberadaan pemantau domestik ini jauh lebih pantas didukung karena memberdayakan potensi lokal menjadi pemantau-pemantau independen dan sadar pentingnya pemilu jurdil,” kata Pramono menambahkan.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz