Menuju konten utama

Soal Obat Corona: Kepentingan BIN & TNI Melangkahi Disiplin Sains

Beberapa pihak mempertanyakan keterlibatan TNI dan BIN dalam pengembangan 'obat Corona'. Ada potensi bahaya di dalamnya.

Soal Obat Corona: Kepentingan BIN & TNI Melangkahi Disiplin Sains
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito menyimak pertanyaan dari wartawan terkait perkembangan uji klinik obat kombinasi baru untuk COVID-19 di Jakarta, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.

tirto.id - TNI AD mengklaim kandidat obat COVID-19 yang mereka buat bersama Badan Intelijen Negara (BIN) dan Universitas Airlangga (Unair) telah melalui uji klinis fase tiga. Obat ini tinggal diregistrasikan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebelum siap diproduksi massal.

Kepala Staf Angkatan Darat sekaligus Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Jenderal Andika Perkasa mengatakan selain mengurus izin BPOM, secara paralel institusinya akan berkoordinasi dengan Kimia Farma, Lembaga Farmasi Polri, Lembaga Farmasi TNI-AD, dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk mempersiapkan produksi massal, salah satunya proposal anggaran yang akan diajukan ke pemerintah.

Peneliti militer dan keamanan dari ISEAS-Yusof Ishak Institute Made Supriatma mempertanyakan keterlibatan TNI AD dan BIN dalam produksi obat ini. Ia mengatakan proses tersebut bukan merupakan ranah militer dan intelijen.

"Saya kira ini enggak lebih daripada gimik," kata Made saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa (18/9/2020) siang. "Memanfaatkan budaya 'asal ada': asal ada yang dilakukan, asal ada yang dihasilkan, enggak peduli itu benar atau tidak, sehat atau tidak. Pokoknya masyarakat melihat sudah melakukan sesuatu."

Made menjelaskan kalau badan intelijen tak pernah punya kewenangan mengeksekusi sebuah kebijakan, apalagi membuat obat. Fungsi BIN hanya untuk mengumpulkan informasi dan memberikan analisisnya ke pembuat kebijakan. TNI AD pun demikian. Ia menyebut, terlalu jauh anggapan bahwa penanganan dan pembuatan obat COVID-19 adalah bagian dari security yang merupakan ranah kerja militer.

"Ini domain Kementerian Kesehatan. Kemkes harus dimaklumi jika bekerja lamban karena mereka berpikir sebagai orang medis: hati-hati. Tujuan pertama bagi orang medis bukan ketersedianya obat tapi efek sampingnya," katanya.

Dengan memanfaatkan 'budaya asal ada' tersebut, kata Made, efektivitas obat dan efek samping yang ditimbulkan jadi nomor sekian. "Itu tidak masuk ke dalam perhitungan mereka. Yang masuk ke dalam perhitungan mereka: kami sudah melakukan sesuatu."

Dampaknya tentu berbahaya. "Karena kita tidak tahu efek obat ini akan seperti apa. Kalau terjadi kecelakaan, siapa yang akan menanggung?"

Ia juga mengkritik Unair sebagai lembaga akademik yang justru memfasilitasi dan memberi kredensial bagi TNI dan BIN dalam membuat obat. Hal tersebut, kata dia, bikin rancu. Made khawatir kalau langkah Unair tersebut hanya cara agar mereka dapat bersaing dan menang dari kampus lain dari penanganan COVID-19.

"Karena yang ikut mengerjakan TNI dan BIN, saya khawatir akan ada potensi abuse of power ke lembaga-lembaga seperti Unair dan BPOM untuk berpikiran 'ah, sudahlah ikuti saja'."

Inferior

Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyebut dilibatkannya BIN dan TNI berakar dari inferioritas Unair, yang merupakan institusi sipil.

"Alih-alih mengendalikan, kekuasaan sipil justru terjebak pada inferioritas. Mereka [sipil] menghadapi superioritas [militer] dan mitos-mitos yang dibangun sekian lama tadi," kata Fahmi saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa sore.

Pada masa Orde Baru, peran militer selalu paling depan. Ini membuat mereka merasa memiliki segalanya melebihi orang lain. Pada masa reformasi hal ini coba diatasi dengan pelucutan dwi fungsi, tapi tampaknya belum berhasil. Mental minder dan inferioritas yang diidap oleh kekuatan sipil pasca reformasi menjadi salah satu masalah paling akut di Indonesia, kata Gubernur Lemhanas Agus Widjojo.

"Menurut saya, ini bukan sekadar preseden buruk," kata Fahmi. Ia melihat ada upaya untuk membangun citra TNI sebagai pahlawan yang bisa menyelesaikan semua masalah di masyarakat. Dan buruknya, kata dia, BIN dan Polri pun demikian.

"Apalagi BIN, sekarang ini kan didominasi TNI/Polri. Padahal dulu, sekitar 80 persen adalah sipil," katanya.

Dalam artikel di Jawapos, Rektor Unair Mohammad Nasih menjelaskan penelitian ini sudah dirancang sejak April 2020. Ia mengatakan "kerja sama dan bahu membahu" dalam pembuatan obat ini memang "keniscayaan." Kampus, sebagai "markas akademisi dan ahli," katanya, "tentu juga harus berperan secara aktif dan strategis dalam penanganan pandemi ini."

Ia lantas mengatakan temuan ini "dapat diklaim sebagai yang pertama di dunia" dan "hal tersebut tentu akan berdampak sangat nyata bagi pandangan dan pengakuan dunia terhadap Indonesia."

Satu bulan kemudian, Unair resmi menggandeng BIN. Sekretaris Utama BIN Komjen Pol Bambang Sunarwibowo mengatakan memang "perlu kerja sama semua pihak" agar pandemi bisa diselesaikan dengan cepat. Kadang, perlu menerabas kebiasaan birokratis karena cenderung akan lama. Kemudian, pada Juli, Kasad Andika Perkasa mengatakan "tidak perlu ada yang dikhawatirkan dalam pelaksanaan riset ini."

Di luar perkara keterlibatan BIN dan TNI, obat Corona ini juga dipermasalahkan sebagian ahli kesehatan karena tidak transparannya dokumentasi saat uji klinis.

Selain itu, kombinasi obat juga dipertanyakan. Obat ini adalah gabungan dari Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline, serta Hydrochloroquine dan Azithromyci. Jika digunakan satu per satu, menurut jurnal, obat ini tak efektif untuk menyembuhkan pasien COVID-19.

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino