Menuju konten utama

Soal Masa Jabatan Pimpinan KPK, Pengamat: Politik Transaksional

Herdiansyah Hamzah mengaku tidak menemukan basis argumentasi MK dalam pertimbangan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK.

Soal Masa Jabatan Pimpinan KPK, Pengamat: Politik Transaksional
Proses pengambilan sumpah Anwar Usman dan Saldi Isra sebagai Ketua dan Wakil Ketua MK di Gedung MK, Jakarta, Senin (20/3/2023). (Tirto.id/Andrian Pratama Taher)

tirto.id - Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun, syarat akan relasi kekuasaan.

Ia mengatakan jika membaca putusan lima hakim MK itu, ada ruang tawar-menawar.

"Saya beri satu tahun perpanjangan masa jabatan gratis, tapi tentu harus ada imbal balik. Itu politik transaksionalnya," kata Herdiansyah saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (26/5/2023).

Dalam konteks lain, ia melihat putusan itu diduga dalam rangka mengamankan kepentingan pemilihan presiden pada 2024 mendatang.

Herdiansyah menilai citra KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, buruk. Sebab, kerap kali dikritik oleh publik karena penuh dengan kontroversi.

"Bisa saja jadi alat penggebuk terhadap lawan-lawan politik di pilpres nanti. Ini yang publik khawatirkan," ucap Herdiansyah.

Ia mengaku telah menduga sebelumnya bahwa MK mengabulkan permohonan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Pasalnya, kata dia, melihat situasi MK yang selama ini memang cenderung permisif terhadap perkara-perkara yang bertalian dengan kepentingan kekuasaan.

"Sekarang juga serupa, putusan MK ini tidak masuk akal menurut saya. Basis argumentasinya lemah dan seolah menyimpangi ketentuan pasal dalam UU KPK," tutur Herdiansyah.

Pertama, jelas dia, mengenai syarat batasan usia 50 tahun bagi calon pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 29 huruf e UU KPK. Herdiansyah menyoroti putusan MK yang menambahkan penambahan frase "atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK". Menurutnya, hal itu tidak lazim dalam seleksi lembaga-lembaga negara.

"Putusan MK ini seolah-olah hanya untuk mengakomodasi kepentingan subjektif pimpinan KPK yang hari ini tidak memenuhi syarat usia minimum," kata Herdiansyah.

Di sisi lain, Herdiansyah mengaku tidak menemukan basis argumentasi MK dalam ratio decidendi atau pertimbangan putusannya.

"Terlebih KPK ini lembaga penegak hukum, di mana semakin panjang masa jabatannya, semakin terbuka pula potensi abuse of power," ujar dia.

Oleh karena itu, ia menilai putusan MK ini pertanda MK tidak lagi on the track berjalan sesuai dengan kepentingan publik. Namun, seolah-olah menjadi menjadi tempat memuluskan agenda pribadi serta kepentingan kekuasaan.

Ia menambahkan semestinya putusan MK itu bersifat prospektif atau berlaku untuk di masa yang akan datang. Artinya, putusan MK itu berlaku untuk pimpinan KPK berikutnya, bukan yang sekarang.

"Cuma dugaan saya, pemerintah akan menafsirkan lain putusan MK itu. Bisa jadi mereka menafsirkan perpanjangan otomatis untuk pimpinan yang sekarang. Dan itu bisa jadi berhubungan dengan kepentingan untuk mengamankan pilpres 2024," pungkas Herdiansyah.

Baca juga artikel terkait PERPANJANGAN MASA JABATAN atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Reja Hidayat