Menuju konten utama

Soal Kelebihan Listrik 13 GW, CERA: Pemerintah Bisa Batalkan PLTU

Adhityani mengatakan, Indonesia memiliki pengalaman pembatalan proyek berbasis batu bara (PLTU) seperti di wilayah Jababeka, Jawa Barat dan Pulau Kalimantan.

Soal Kelebihan Listrik 13 GW, CERA: Pemerintah Bisa Batalkan PLTU
Pekerja berkomunikasi dengan operator alat berat pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar Extension 1x315MW di Desa Lontar, Tangerang, Banten, Jumat (29/3/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/ama.

tirto.id - Hasil studi Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, pembangunan PLTU berpotensi kelebihan 13 GW (gigawatt) pada 2028. Untuk itu, pembangunan pembangkit listrik yang dilakukan PLN ini perlu ditinjau ulang.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Nasional Centre for Energy Research Asia (CERA), Adhityani Putri mengatakan, pemerintah dapat melakukan pembatalan terhadap sejumlah proyek PLTU. Baik yang sudah berjalan, maupun yang masih dalam perencanaan.

Lagi pula, kata Adhityani, Indonesia memiliki pengalaman pembatalan proyek berbasis batu bara (PLTU) seperti di wilayah Jababeka, Jawa Barat dan Pulau Kalimantan.

Di samping itu, Adhityani mengatakan, tidak menutup kemungkinan bisa mencari pilihan energi yang lebih murah dan ramah lingkungan dibanding PLTU.

“Kalau sudah tanda-tangan perjanjian jual beli (PPA) enggak langsung sakral, bisa dibatalkan. Pemerintah punya pengalaman merevisi dan mencabut PPA. Mungkin aja ini bisa membuat oversupply,” ucap Adhityani dalam media briefing di Plaza Kuningan pada Rabu (24/4).

Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace, Adila Isfandiari menilai kehadiran PLTU di Indonesia sudah lama memberi keuntungan yang tak sedikit bagi industri batu bara. Apalagi saat ini PLTU di Indonesia didukung oleh persyaratan standar emisi yang kecil sehingga relatif memudahkan pembangunan banyak PLTU.

“Menurut saya industri batu bara sudah win sekali dibanding jenis energi lainnya. Untuk membangun PLTU, standar emisi di Indonesia kecil tidak seperti Cina yang tinggi,” ucap Adila.

Selain masalah kelebihan kapasitas, Koordinator Utama Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting mengatakan, langkah menutup PLTU yang sudah berjalan ini pernah diterapkan di Jerman atas alasan mengejar target emisi karbon.

Menurut Pius, penutupan PLTU dapat dilakukan dengan memberi kompensasi yang sepadan sehingga tak harus menunggu masa operasi PLTU berakhir. Sebab, pada umumnya membutuhkan waktu yang lama seperti 20-30 tahun.

“Saya pikir Indonesia bisa melakukan cara itu. PLTU ini tidak harus terus berlangsung. Bisa diakhiri sebelum masa operasinya berakhir,” ucap Pius.

Baca juga artikel terkait PLTU atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Alexander Haryanto