Menuju konten utama
Pendapat Pakar Hukum:

Soal Kekeliruan UU Ciptaker, Pemerintah Harus Ajukan Revisi ke DPR

Bivitri Susanti menilai UU yang telah diteken tak bisa lagi diubah redaksionalnya dan harus diajukan revisi ke DPR untuk mengubahnya.

Soal Kekeliruan UU Ciptaker, Pemerintah Harus Ajukan Revisi ke DPR
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kanan) berpidato disaksikan Menko Polhukam Mahfud MD (kedua kiri) dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (11/11/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

tirto.id - Kekeliruan yang ada di Omnibus Law Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) tak dapat lagi diubah secara langsung oleh pemerintah setelah diteken Presiden Joko Widodo dan resmi diundangkan. Perubahan hanya bisa dilakukan dengan mengajukan revisi UU tersebut ke DPR.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti kepada reporter Tirto, Selasa (3/11/2020) bilang setelah sebuah UU resmi diundangkan, maka menjadi final mengikat sehingga tidak bisa lagi diubah redaksionalnya.

“Meskipun tidak ada peraturan yang mengatur bahwa tidak boleh mengubah redaksional setelah diundangkan. Tetapi secara moral itu tidak boleh [diubah] sudah jadi pertanggungjawaban yang menandatangani,” kata Susi.

Presiden dalam hal ini yang menandatangani tak dapat lagi melakukan perubahan redaksional terhadap UU tersebut. “Kalau pemerintah mengakui ada kesalahan itu harus diperbaiki dan perbaikan itu harus mengikuti tahap layaknya pembentukan UU. Mengajukan revisi [UU Ciptaker],” kata dia.

Dengan demikian, Presiden Jokowi harus menerima konsekuensi nantinya terhadap gugatan judicial review atas UU tersebut di Mahkamah Konstitusi. Dan menurut Susi kekeliruan itu jadi bukti yang terang benderang buat MK.

“Pemerintah mengakui adanya kesalahan, maka kalau ada uji formil dan materiil seharusnya MK mengabulkan permohonan itu. Apalagi sudah terang benderang prosedurnya sangat buruk,” kata Susi.

Pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti mengungkapkan hal yang sama. Ia bilang bahwa UU yang telah diundangkan tak bisa lagi diubah redaksionalnya dan harus diajukan revisi ke DPR untuk mengubahnya.

Pengundangan atau penomoran suatu UU bukan hanya soal administrasi, tetapi punya makna pengumuman ke publik melalui penempatan suatu UU ke Lembaran Negara. Hal ini menurutnya jadi fase yang sangat penting penting, sebab bila UU sudah diumumkan, tidak ada orang yang boleh mendaku dirinya tidak mengetahui UU itu.

“Jadi, terhadap kesalahan di Pasal 6 (hlm 6) dan Pasal 175 (hlm 757) itu, tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani,” kata Bivitri saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (3/11/2020).

Jika pemerintah kemudian menganggap kekeliruan itu hanya semata kekeliruan administrasi, maka hal itu akan mengkerdilkan makna proses legislasi.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan sejak UU tersebut masih dalam bentuk rancangan, pemerintah telah melakukan peninjauan dan menemukan sejumlah kekeliruan. Hal itu sudah disampaikan ke Sekretariat Jenderal DPR dan telah disepakati perbaikannya.

Kendati demikian, setelah disahkan pada 5 Oktober 2020 di DPR lalu diserahkan ke Presiden Jokowi, masih ditemukan kekeliruan meski telah diteken oleh presiden dan resmi diundangkan.

“Hari ini kami menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja,” kata Pratikno.

Dalam salinan resmi UU Ciptaker berisi 1.187 halaman yang dipublikasikan pemerintah, ditemukan sejumlah kesalahan penulisan. Di bagian awal misalnya pada Pasal 6, yang menginstruksikan terlaksana sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a. Sementara pada Pasal 5 tidak memiliki turunan ayat 1 huruf a yang dimaksud tidak ada.

Lalu pada Bagian Kelima Izin, Standar, Dispensasi, dan Konsesi Pasal 53 ayat (5) berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

Sementara ayat (3) berbunyi: Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan keputusan dan/atau tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

Semestinya pada ayat (4) yang berbunyi: Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)', Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz